Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersama di Trotoar
Langit di atas lahan proyek tampak rendah, menyisakan kilau tipis di sela awan. Debu bangunan menggantung di udara setiap kali forklift meninggi. Suara palu dan instruksi kerja berbaur dengan denting logam. Di antara rangka besi dan papan reklame yang memajang rendering hotel berornamen naga dan atap melengkung warna merah dan emas. Sebuah kontainer kantor berdiri sebagai pusat aktivitas sementara. Pembangunan sudah berjalan sekitar delapan puluh persen, perkembangan yang bagus.
Eleanor melangkah masuk ke area itu dengan sepatu datar dan pakaian longgar, ia sengaja menyingkirkan heels. Kain blusnya bergeser setiap kali ia berjalan, bibirnya tampak masih pucat namun wajahnya mengatur ketegasan yang dipelajari setelah bertahun-tahun menanggung beban. Pekerja-pekerja menoleh singkat, menyapanya sopan lalu kembali ke tugas masing-masing.
Ia menatap sekeliling, mencatat detail lalu menandai di catatan kecilnya. Namun tubuhnya sedikit goyang seperti kehilangan topangan. Hampir seminggu ia beristirahat, namun belum sepenuhnya pulih. Eleanor berhenti sebentar, menarik napas panjang berusaha memulihkan semangat. Tenang Ele, ini proyek terakhirmu tahun ini.
“Madame Chen,” ujar salah satu staf, setengah berlari. “Mr. Nicholas sudah datang.”
Eleanor berhenti menulis. Matanya terangkat perlahan, Nicholas berdiri di ujung koridor terbuka.
Jas abu gelapnya kontras dengan debu proyek. Nicholas melangkah mendekat dengan langkah terukur. “Surat izin sakitmu cukup panjang. Aku hampir berpikir kau sengaja menghindar.”
Eleanor menunduk, berusaha merapikan berkas di tangannya. “Saya hanya butuh waktu untuk…”
“Untuk apa?” potongnya cepat sebelum ia sempat menyelesaikan ucapan. “Atau untuk siapa? William, mungkin?”
Eleanor menegakkan kepala, pandangan mereka bertemu. Ia menarik napas, menahan diri. “Tolong, jangan mulai lagi.”
Namun Nicholas sudah melangkah lebih dekat. Bau parfum mahalnya menembus debu di udara.
Tangan besarnya terulur, menahan pergelangan Eleanor. “Kau tidak terlihat sehat. Pulanglah!”
“Saya baik-baik saja.”
“Kau sedang tidak baik-baik saja, Lea.”
Eleanor menepis tangannya kasar, nada suaranya meninggi. “Kalau aku bilang tidak berarti tidak. Apa Anda tidak mengerti bahasa manusia?”
Seketika suasana hening, para pekerja menoleh ke sumber suara.
“Lepas...” suaranya hampir tidak terdengar.
Pria itu tidak menyerah, ia mencengkram tangan Eleanor lebih kuat. Eleanor mencoba melepaskan diri namun tiba-tiba dunia di sekitarnya mulai berputar, wajah para pekerja memudar dan napasnya terasa lebih pendek. Nicholas menatapnya lama, kemudian mendecak kesal. Tanpa menunggu lama ia membungkuk, mengangkat tubuh Eleanor dengan mudah. “Kau terlalu keras kepala.”
“Turunkan aku, Nicholas!”
Ia tak menjawab namun langkahnya bergerak cepat dan pasti. Beberapa staf hanya saling pandang, tak berani campur tangan. Eleanor berusaha menahan, tapi pandangannya sudah kabur ketika Nicholas membuka pintu mobil dan mendudukkannya di kursi penumpang.
Mobil melaju tanpa interupsi. Udara di dalamnya tebal oleh keheningan dan amarah yang belum diucapkan. Eleanor menatap keluar jendela, perutnya mulai berkontraksi pelan. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri.
“Berhenti, Nicholas!” katanya pelan, terlalu pusing untuk menaikkan suara.
“Tidak sekarang.”
“Berhenti, aku bilang!”
Ia tak menjawab.
Detik berikutnya terdengar suara tumpahan cairan terdengar di dashboard. Cairan asam dan panas itu terlanjur keluar tanpa bisa dicegah.
Nicholas menatap sekilas, lalu menginjak rem. “Shit!”
Eleanor menutup mulutnya, tapi terlambat. Ia muntah lagi mengenai lengan jas Nicholas. Wajahnya memucat, air mata mengalir tanpa suara.
Nicholas mematung, tangannya mengepal di setir. “Astaga, Eleanor…”
Ia menatap Nicholas dengan mata merah, lalu dengan sisa tenaga yang ada ia menunduk dan muntah lagi tepat di sepatu Nicholas. Kali ini bukan karena mual, tapi karena marah dan muak. Ia ingin pria itu merasakan betapa hancurnya dirinya sekarang.
Wajah Nicholas memucat, namun ia tidak lari atau menghindar. Ia membuka pintu mobil lalu berjalan cepat ke sisi yang lain dan membantu Eleanor keluar. “Kenapa kau tidak bilang akan muntah?”
Eleanor menahan perutnya, tangannya gemetar. “Apa kau amnesia? Aku sudah mengatakannya padamu tapi kau bersikap seolah tak punya telinga.” gumamnya tajam. Perutnya kembali diaduk, ia menunduk dan muntah lagi di trotoar.
Nicholas memijat leher Eleanor dengan satu tangan, dan satu tangan lainnya menahan rambutnya agar tidak mengenai wajahnya yang basah. Tapi begitu mencium bau asam itu, napasnya memberat. Ia ikut menunduk di trotoar lalu setelahnya suara muntahan terdengar bersahutan tanpa henti. Mereka berdua terdiam sejenak di antara bunyi napas berat, debu, dan sisa muntah di aspal.
Tubuh Eleanor terkulai, pucat, nyaris tanpa daya. Nicholas bangkit berdiri dengan jasnya yang berantakan, duduk di sisi Eleanor dan menopang tubuhnya. Rambut hitam perempuan itu menempel di pipi Nicholas, lembap oleh keringat dan sisa muntahan. Perempuan itu tidak bereaksi, hanya mengeluarkan suara ringisan samar di antara napas yang terputus.
Nicholas menggertakkan gigi.
“Lea, open your eyes please!” panggil Nicholas lembut dan sarat akan kekhawatiran. Tidak ada sedikit pun nada arogansi dalam suaranya. Ia menepuk pipi Eleanor perlahan, tapi perempuan itu tidak membuka mata.
Sial, menggunakan mobil ini sama saja dengan bunuh diri di jalan.
Ia menatap sekeliling, pengemudi di jalanan mulai memperhatikan mereka penuh arti. Nicholas mendongak, menatap balik dengan pandangan menusuk yang membuat siapa pun buru-buru memalingkan muka.
Ia mengeluarkan karet gelang dari pergelangan tangan Eleanor, lalu mengikat rambutnya ke belakang. Tangannya gemetar sedikit, hasilnya tidak rapi tapi cukup untuk membuat perempuan itu lebih manusiawi.
Hujan turun tipis-tipis, menimpa wajah mereka berdua. Ia menarik napas panjang, mengangkat tubuh Eleanor ke dalam gendongannya.
“Taxi!” teriaknya.
Mobil kuning berhenti di pinggir jalan. Nicholas membuka pintu, masuk tanpa banyak bicara, memangku Eleanor di pangkuannya. Begitu taksi melaju, Eleanor tiba-tiba tersentak mual. Nicholas melepas jasnya tanpa ekspresi lalu menampung muntahannya dengan telapak tangannya sendiri.
Sopir melirik dari kaca spion, ragu-ragu. “You're wife are pregrant, Sir?”
Nicholas terdiam, pandangannya menajam ke arah sopir, tapi suaranya tak keluar. “First trimester? Happens all the time,” lanjut sopir itu ramah, tidak tahu bahwa ucapannya membuat dada seseorang di kursi belakang berdegup tak beraturan.
Nicholas tidak menjawab, ia menelusuri wajah Eleanor yang kembali memucat di bahunya lalu menarik napas panjang. Masih sama seperti tujuh belas tahun lalu. Cantik, ah tidak… lebih cantik dan masih membuatnya gila. Nicholas menunduk, mengingat masa lalu membuat rahangnya mengetat. Seharusnya ia membenci wanita ini, tapi kenapa rasanya sangat sulit.
“Lebih cepat!” ujarnya datarn tanpa menoleh dari wajah Eleanor. Sopir taxi tidak menjawab, namun lajunya bergerak lebih cepat.
Ketika taksi berhenti di depan gedung penthouse-nya, Nicholas memberikan beberapa lembar uang besar ke kursi depan. “Ambil saja kembaliannya.”
Sopir itu menatap uangnya, lalu tersenyum tipis. “Thank you. Anda suami yang baik, Sir.”
Kata ‘Suami’ menggema dalam kepala Nicholas. Tiba-tiba saja ia merasa menemukan sisi kemanusiaannya kembali. Ia memeluk Eleanor lebih erat, membopongnya keluar dari taksi seolah ingin menyembunyikannya dari dunia.
Lift terbuka, pantulan logamnya memperlihatkan bayangan mereka berdua. Wajah Eleanor bersandar di dadanya, rambutnya masih lembap dan bibirnya yang pucat. Dan dalam pantulan itu, entah bagaimana Nicholas merasa sedang menatap ulang penikahan mereka. Ia menunduk, menyentuh dahi Eleanor dengan jarinya.
“Kau membuatku gila, Eleanor,” bisiknya pelan, napasnya nyaris tak terdengar. “Kau selalu membuatku seperti ini.”
Lift berdenting. Nicholas melangkah keluar, membawa Eleanor masuk ke dunia yang selama ini hanya dipenuhi sunyi dan bayangan dunianya sendiri.
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪