Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Agigated
Raga Nuansa mungkin sudah tidak ada di depan matanya, tapi Angger masih ingat setiap detail yang tertinggal dari keberadaan perempuan itu di kamarnya. Malahan, ketika kini kamarnya sedang dibersihkan oleh asisten rumah tangga, Angger justru kembali mengingat bagaimana dia dan Nuansa melewati malam intim berdua. Setiap satu benda disentuh oleh sang asisten rumah tangga, kenangan yang berhubungan dengan benda tersebut langsung menguasai pikiran Angger. Dia hampir berpikir dirinya tidak waras.
Nuansa bukan perempuan pertama yang bercinta dengannya. Angger bukan perjaka polos yang belum pernah mereguk manis bibir wanita. Tapi kenapa bayang-bayang Nuansa susah sekali lenyap dari kepalanya?
Angger menjauh dari posisi terakhirnya di sisi kasur. Dia berjalan ke mini bar, mengambil gelas, meneguk air di dalamnya. Matanya masih sambil mengamati pekerjaan sang asisten rumah tangga, persis saat muncul sekilat cahaya memanggil dari celah antara kepala ranjang dan dinding. Angger memicing, menajamkan penglihatan. Vacuum cleaner di tangan asisten rumah tangga bergerak makin dekat ke titik di mana cahaya kecil tadi muncul.
Angger menaruh gelasnya buru-buru, mendekat ke kasur dan berkata dengan suara agak keras agar asisten rumah tangganya berhenti sebentar. Sang asisten rumah tangga mengikuti perintah dengan sigap, seperti biasa, meski tatapannya terlihat bingung.
“Minggir sebentar,” kata Angger seraya menarik pelan pergelangan tangan perempuan berusia akhir 20-an itu.
Setelahnya dia berjongkok. Disibakkannya selimut dan bed cover, lalu kasurnya sedikit diangkat. Tangannya merogoh celah yang tadi, menjumput benda kecil berkilauan yang tertinggal di sana. Sebuah gelang dengan helaian rantai yang sangat tipis, dihias bandul kecil berbentuk kupu-kupu warna biru muda, dibawa ke hadapannya. Dia berusaha mengingat siapa kiranya pemilik gelang tersebut mengingat beberapa teman sempat singgah di sana dalam sebulan terakhir.
“Sebelumnya waktu kamu beresin kamar saya, ada nemu barang-barang kayak gini nggak?” tanyanya pada Kiki, sang asisten rumah tangga.
Kiki menggeleng. “Habis vakum saya biasa cek semua sampai ke sela-sela, Mas. Tapi nggak pernah ketemu barang apa pun nyelip di sana.”
Jawaban Kiki meyakinkan Angger hanya ada satu kemungkinan siapa pemilik gelang itu—Nuansa. Entah bagaimana ceritanya, mereka sama-sama tidak sadar kalau gelang Nuansa jatuh di sana.
Angger berdiri, bawa gelang itu bersamanya. “Oke kalau gitu, lanjutin kerjaan kamu.”
Kiki hanya mengangguk dan lanjut menyedot debu. Raungan mesin kedengaran berisik, tapi tidak sampai ke telinga Angger karena dia mulai sibuk memikirkan hal lain. Dia bingung, bagaimana caranya mengembalikan gelang ini tanpa membuat Nuansa menuduhnya macam-macam.
Dari dulu Nuansa terlalu kompetitif dan berhati-hati. Takutnya kalau dia menghubungi Nuansa untuk mengembalikan gelang ini, Nuansa akan berpikir macam-macam tentang dirinya. Tapi kalau menunggu sampai Nuansa mencari dan menanyakan gelang ini kepadanya, sepertinya lebih masuk akal untuk berharap Elon Musk pindah kr Bekasi dan nongkrong di Kopi Nako tiap hari.
Pusing kepala Angger mikir solusi. Bukannya mendapat jawaban, adegan panasnya dengan Nuansa yang semalam malah terbayang-bayang makin jelas. Daripada stres karena hal itu, akhirnya Angger keluar dari kamar dan mengantongi gelang Nuansa. Nanti akan dia pikirkan bagaimana caranya. Sepertinya sekarang lebih penting untuk mencari udara segar agar pikirannya kembali jernih.
******
Di tempat lain, Nuansa baru tiba di rumah. Dia menginjakkan kaki dengan pikiran mengawang. Separuh fokusnya terganggu, masih coba menyangkal fakta bahwa dirinya dan Angger terhubung kembali dengan jalan tidak biasa. Padahal bisa melalui hubungan bisnis, bisa melalui hubungan kekerabatan semisal pria itu menikah sama salah satu sepupunya, bisa juga tidak sengaja bertemu di panti asuhan atau panti jompo saat sedang sama-sama mengikuti kegiatan amal. Tapi dari semua skenario yang ada, kenapa harus melalui one night stand yang membuatnya hilang muka?
Di belakangnya, Amy masih terus mengoceh. Makhluk bernama asli Amiruddin yang sudah menjadi asisten pribadinya sejak zaman kuliah itu masih terus menagih cerita lengkap di balik menghilangnya dirinya semalam. Amy tidak tahu saja kalau Nuansa tidak mau mengingat-ingat apa pun lagi. Kalau bisa dia ingin amnesia, lalu memulai hidup baru.
“Yey kalau nggak jawab pertanyaan eyke, bakal eyke aduin ke Papap sama Mamam ya. Eyke bantu bohong ke mereka soal yey semalam. Eyke bilang yey udah di rumah dan tidur nyenyak, padahal eyke sendiri lagi pusing nyariin yey ke mana-mana.”
Nuansa menutup telinga. Amy berisik sekali. Seperti petasan banting yang direnceng seratus biji. Tidak habis-habis suaranya meledak-ledak di telinga. Membuat panas dan pusing saja.
“Nuansay!” seru Amy saat Nuansa berlari meninggalkannya yang masih merepet.
Nuansa semakin cepat berlari, gagang pintu ditarik kuat-kuat dan dia langsung menerobos masuk. Tapi begitu hendak lanjut berlari, kakinya malah mendadak beku, seperti telah disihir oleh Elsa. Matanya terasa panas, tidak sanggup melihat tunangannya yang bangun dari sofa dan berjalan ke arahnya dengan tatapan khawatir.
Tidak ada amarah. Tidak ada menuntut penjelasan ke mana semalaman Nuansa pergi dan kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi. Jean malah mendekat dan bertanya apakah Nuansa baik-baik saja? Jean juga memeriksa keadaan fisik Nuansa, memastikan tunangannya tidak terluka.
Katanya umur hanyalah angka dan tidak bisa menunjukkan kedewasaan seseorang. Tapi hal itu tidak berlaku dengan Jean. Tidak terbayang kalau tunangan Nuansa adalah orang seumuran, apalagi datang dari kalangan yang sama, sudah pasti Nuansa kenyang makan curiga, kembung diguyur caci-maki, atau lebih parah malah kena gebuk setiap hari sampai kebal—seperti beberapa kenalannya.
Nuansa beruntung tidak terjebak di dalam toxic relationship bersama Jean. Dia beruntung dicintai dan disayang oleh sosok dewasa dan pengertian. Satu keberuntungan yang membuat air matanya tidak bisa lagi dibendung dan dia langsung menghambur ke pelukan tunangannya.
Nuansa sedih. Dia merasa bersalah. Di saat Jean tidak pernah marah atau menuntut apa pun, Nuansa malah melakukan kesalahan yang fatal. Tidur dengan pria lain, apa pun alasannya, di saat masih menjalin sebuah hubungan adalah sebuah kejahatan. Tidak ada pembelaan apa pun yang bisa Nuansa berikan. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sudah berkhianat terhadap Han Jean.
“Hei, kamu kenapa?” Jean mendorong pelan tubuh Nuansa, hendak memeriksa keadaannya. Tapi Nuansa enggan melepaskan lengannya dari pinggang Jean. Tangisnya makin menjadi. Dia terisak-isak tanpa mau jelasin apa pun.
“Nuan—eh, Mas Je.” Amy berhenti mendadak di ambang pintu. Bibirnya tidak jadi terbuka lebih jauh saat Jean memberi isyarat dengan menempelkan telunjuk ke bibir. Amy mengerti dia harus diam untuk saat ini, jadi dia menutup pintu dan berjalan lurus meninggalkan Nuansa dan Jean di ruang tamu.
Sementara itu, Jean masih berusaha, dia tidak menyerah untuk mencaritahu Nuansa sebenarnya kenapa. Tapi Nuansa masih tidak mau menjawab. Dia malah berkali-kali minta maaf.
Sampai akhirnya Jean mengalah, dia paham saat ini Nuansa hanya butuh ditenangkan dan tidak ingin didesak untuk memberikan penjelasan. Jadi Jean menepuk-nepuk punggung perempuan itu pelan.
“Mas nggak tahu kamu minta maaf buat apa, tapi Mas udah maafin.” Jean memeluk Nuansa makin erat. “Mas udah maafin kamu, Sayang. Mas maafin kamu.”
Mendengar itu, tangis Nuansa makin pecah.
Bersambung...
Hamil dulu tapi😁