NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MENYELAM KE NERAKA LUMPUR

Waktu: Pertengahan April 2019. Pukul 11.20 WIB.

Lokasi: Lubuk Larangan, Sungai Musi.

Matahari sedang berada di puncak kekuasaannya di langit Palembang, membakar permukaan Sungai Musi hingga uap panas terlihat menari-nari di atas air cokelat yang tenang namun mematikan itu. Udara terasa berat, lembap, dan berbau lumpur basah yang bercampur dengan aroma amis ganggang sungai.

Namun, di atas perahu ketek reyot yang terombang-ambing pelan di tengah Lubuk Larangan, suasananya sedingin es.

Aditya Wiranagara berdiri di tepi perahu, mematung seperti patung futuristik yang salah mendarat di zaman yang salah.

Dia sudah selesai mengenakan perlengkapan tempurnya. Armor MK-IV "**Amphibious"** berwarna hitam matte membungkus tubuhnya dari leher sampai ujung kaki.

Fajar Baskara memegang tali pengaman berbahan nilon yang terikat di pinggang Aditya dengan wajah pucat pasi. Tangannya gemetar, buku-buku jarinya memutih karena mencengkeram tali itu terlalu kuat.

"Dit," bisik Fajar, suaranya hampir hilang ditelan angin sungai. "Yakin nggak mau pake pelampung bebek aja? Biar nggak terlalu tegang gitu lho. Sumpah, lo kayak mau perang lawan alien."

"Lucu," suara Aditya terdengar robotik, datar, dan tanpa emosi dari balik modulator suaranya. "Fokus, Jar. Jaga talinya. Kalau Gue narik dua kali, berarti Gue dapat barangnya. Kalau Gue tarik tiga kali, atau kalau talinya menegang tiba-tiba lalu kendor total... berarti Gue harus ditarik naik secepatnya. Paham?"

"Kalau talinya putus?" tanya Fajar ngeri.

Aditya menoleh sedikit. "Berarti Gue udah  jadi pakan ikan patin. Dan Lo harus jual jam tangan Gue buat ongkos pulang."

Aditya mengecek indikator Heads-Up Display (HUD) di visor helmnya.

Oksigen: 100%. Baterai: 100%. Integritas Armor: Optimal. Detak Jantung: 85 BPM.

Secara teknis, dia siap. Tapi secara mental? Dia hanya ingin pulang, mandi air hangat, dan tidur di kasur hotel yang empuk.

Dia mengabaikan suara itu. Dia adalah Senja Garda. Dia tidak punya kemewahan untuk merasa takut.

Aditya melangkah maju, tumit boot-nya menyentuh bibir perahu.

"Tunggu," sebuah suara serak dan berat menghentikan gerakannya tepat sebelum dia melompat.

Riani.

Wanita itu duduk bersila di ujung perahu yang lain, tampak santai seolah sedang piknik di taman, padahal mereka berada di atas sarang hantu. Dia sedang menghisap rokok lintingannya dalam-dalam.

"Kau terlalu percaya diri dengan mainan besimu, Nak," kata Riani, asap rokoknya meliuk abu-abu melawan arah angin, membentuk pola abstrak yang lenyap seketika.

Aditya menoleh, menepuk dadanya yang berbunyi ktang logam padat. "Ini titanium campur nikel, Mbak. Baja tank aja kalah keras. Apalagi gigitan buaya muara, tidak akan tembus. Karina merancangnya untuk bertahan di palung laut, apalagi cuma sungai."

Riani mendengus, membuang abu rokoknya ke dalam cangkang kerang di saku. Dia berdiri perlahan, gerakan tubuhnya luwes seperti kucing meski usianya tak lagi muda.

Dia berjalan mendekat, menembus batas personal Aditya, dan meletakkan tangannya yang kasar—tangan yang biasa menarik jala dan membelah ikan—tepat di tengah dada lapis baja Aditya.

"Aku tidak bicara soal gigitan buaya atau tekanan air," bisik Riani, suaranya rendah namun menusuk tajam ke telinga Aditya. "Besi ini cuma kulit. Kulit luar yang keras. Tapi di dalamnya? Isinya..."

Riani menekan telapak tangannya sedikit, seolah mencoba meraba jantung Aditya di balik lapisan logam tebal itu.

"...Isinya—tubuh dan jiwamu—itu lunak. Rapuh. Seperti kuning telur yang belum matang."

Aditya terdiam. Dia ingin membantah, ingin memamerkan data statistik kekuatan armornya, tapi ada sesuatu di mata Riani yang membuatnya bungkam. Mata itu hitam pekat, sedalam sungai yang akan dia masuki.

"Bapakmu dulu..." Riani menerawang, pandangannya beralih ke permukaan air yang bergolak pelan. "Dia bisa duduk bermeditasi di dasar lubuk ini selama satu jam tanpa tabung oksigen, tanpa baju besi, tanpa mainan canggih. Dia menguasai Napas Segara. Dia menyelaraskan detak jantungnya dengan arus sungai, sehingga sungai menganggapnya teman, bukan tamu asing yang harus dihancurkan."

Riani kembali menatap tajam ke arah visor kaca Aditya, seolah bisa menembus kegelapan kaca itu dan melihat mata ketakutan di baliknya.

"Kenapa kau tidak? Kau darah dagingnya. Kau mewarisi namanya. Kenapa kau datang membawa tabung udara dan bersembunyi di balik kaleng? Di mana 'Isi'-mu?"

Aditya menunduk. Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada tombak fisik mana pun.

Di balik helm canggihnya, wajah Aditya berubah sendu. Dia teringat ruang kerja ayahnya yang selalu terkunci rapat. Dia teringat tumpukan kitab kuno berdebu yang tidak sempat diajarkan padanya. Dia teringat malam-malam sepi di mana dia mencoba belajar sendiri, meraba-raba dalam gelap, mencoba memahami warisan yang terlalu besar untuk pundaknya.

"Ayah..." suara Aditya tercekat, terdengar kecil dan rapuh meski dimodulasi oleh mesin. "Ayah tidak sempat mengajariku."

Riani terdiam, alisnya yang tebal terangkat sedikit. Rokok di tangannya berhenti berasap.

"Dia meninggal kecelakaan sebelum saya siap," lanjut Aditya pelan, kejujuran yang menyakitkan mengalir keluar. "Saya baru tahu dia seorang Penjaga setelah dia dikubur. Semua yang saya tahu... semua jurus, semua mantra... saya pelajari sendiri dari buku-buku tua yang dia tinggalkan, dan dari eksperimen gagal di laboratorium adik saya."

Aditya mengepalkan tangannya yang bersarung tangan taktis hingga berbunyi krek.

"Saya tidak punya guru, Mbak. Saya tidak punya pembimbing. Saya cuma punya alat ini. Dan tekad keras kepala untuk tidak mati konyol."

Hening yang panjang menyelimuti perahu kecil itu. Hanya suara kecipak air yang menampar lambung perahu dan napas berat Fajar yang terdengar.

Ekspresi Riani perlahan melunak. Amarah di wajahnya berganti menjadi sesuatu yang mirip rasa iba yang pahit. Dia menghela napas panjang, membuang asap rokok terakhirnya ke udara.

"Ah, begitu rupanya," gumam Riani, menggelengkan kepala. "Pantas saja. Kau seperti anak kecil yang memegang pedang tajam tapi tidak tahu cara mengayunkannya. Kau berbahaya... bagi musuhmu, dan terutama bagi dirimu sendiri."

Riani menepuk bahu armor Aditya dua kali. Kali ini, tepukannya tidak kasar. Ada bobot simpati di sana.

"Dengarkan aku baik-baik, Wiranagara Muda. Wadahmu retak," kata Riani serius. "Kau punya Saka—energi spiritual—yang besar, warisan dari darah ibumu yang peka. Tapi Raga—fisik dan wadah batinmu—belum ditempa seperti bapakmu. Kau tidak seimbang."

Riani menunjuk ke air yang gelap.

"Jika kau menyelam ke bawah sana dengan wadah retak... tekanan energinya bukan meremukkan besimu. Dia akan meremukkan isinya. Energinya akan menembus armor, masuk ke pori-pori, dan menghancurkanmu dari dalam. Kau mengerti?"

"Saya mengerti risikonya," jawab Aditya kaku. "Tapi saya harus mengambilnya. Bayangga tidak akan menunggu saya belajar meditasi."

Riani mengangguk pelan, mematikan rokoknya di dalam cangkang kerang. "Baiklah. Kalau itu pilihanmu. Turunlah. Biar sungai yang mengajarimu apa yang tidak sempat diajarkan bapakmu. Pelajaran dari alam biasanya lebih menyakitkan, tapi lebih cepat meresap."

Aditya melangkah mundur ke tepi perahu. Kata-kata Riani berdenging di telinganya. Wadah retak. Hancur dari dalam.

Dia mencoba mengusir keraguan itu dengan logika. Dia punya teknologi. Dia punya data.

"Karin, aktifkan Sonar," perintah Aditya.

"Sonar aktif, Mas. Grafik vital Mas agak aneh. Detak jantung naik ke 110. Mas takut?" suara Karin terdengar khawatir di telinga.

"Cuma hormat pada air," bohong Aditya. "Aku masuk."

Dia menjatuhkan diri ke belakang (back roll entry).

BYUUR!

Air hangat dan keruh langsung menelannya. Dunia bising di permukaan seketika hilang, terputus total. Digantikan oleh suara gemuruh gelembung udara dan detak jantungnya sendiri yang terdengar terlalu keras, berdentum-dentum di dalam helm seperti drum perang.

Aditya menyeimbangkan daya apungnya, lalu mulai menukik ke bawah, menuju kegelapan.

"Nyalakan lampu bahu."

Dua sinar LED putih menyala terang dari bahunya.

Cahaya itu menyinari partikel lumpur yang melayang di depan wajahnya, menciptakan efek "dinding putih".

Di balik dinding debu itu, dia melihat akar-akar pohon bakau raksasa yang menjuntai ke dasar sungai, meliuk-liuk seperti jari-jari hantu yang keriput dan panjang, siap mencengkeram apa saja yang lewat.

Tiba-tiba, dadanya terasa sesak.

Bukan karena kehabisan napas—indikator oksigen menunjukkan aliran udara lancar.

Sesak itu datang dari dalam. Jantungnya berdebar tidak beraturan, tersentak-sentak dalam ritme aritmia yang menyakitkan. Paru-parunya terasa berat, seolah ada tangan tak terlihat yang meremas organ dalamnya, menembus pelat baja armor titanium-nikel yang dia banggakan.

"Riani benar," batin Aditya panik, tangannya refleks mencengkeram dada armornya. "Tekanan airnya normal, cuma 1.5 bar. Tapi tekanan 'hawa'-nya... gila. Tubuhku bereaksi. Rasanya seperti berdiri di depan speaker konser raksasa yang bass-nya meretakkan tulang rusuk."

Armornya utuh. Tidak ada kebocoran. Tapi di dalamnya, Aditya merasa seperti sedang direbus perlahan. Keringat dingin bercucuran di dalam bodysuit-nya.

PING.

Suara sonar berbunyi nyaring di telinganya, memecah kepanikan internalnya. Ada objek bergerak. Besar. Cepat.

"Mas! Jam 6! Di belakangmu!" teriak Karin.

Aditya berputar di dalam air, menyiapkan pisau getarnya dengan gerakan patah-patah. Namun di layar sonarnya, dia melihat bentuk yang tidak wajar.

Itu bukan ikan. Itu bukan buaya.

Bentuknya cair, tapi padat. Seperti gumpalan air yang memisahkan diri dari air lainnya, membentuk siluet yang menyedihkan sekaligus mengerikan.

Dan Aditya sadar, teknologi canggihnya mungkin bisa melihatnya, tapi tubuhnya yang "belum selesai" ini mungkin tidak akan kuat menahan apa yang akan datang.

——————————————————

Ini gambar armornya:

1
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
Kustri
qu berharap kau menyelesaikan karyamu ini thor, wlu blm byk yg mampir, tetap semangat berkarya
Daniel Wijaya: Aamiin! Makasih banget doanya Kak 🥹 Justru karena ada pembaca setia kayak Kak Kustri, aku jadi makin semangat buat namatin cerita ini sampai akhir. Tenang aja, perjalanan Adit masih panjang! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!