NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ternyata Direkturnya Tetangga Depan Rumahku

“Mas Arsya kerja di sini?” tanyaku pura-pura bodoh, meski dalam hati sebenarnya aku sudah setengah yakin. Soalnya dari tadi aku udah curiga, direktur yang dibicarakan Bu Siska dan Mbak Cici itu pasti dia. Dan benar aja, cuma dia yang masuk ke ruangan ini.

“Iya,” jawabnya singkat sambil mengangguk.

“Saya…” ucapnya lagi, tapi nadanya agak ragu.

“Pasti yang punya ruangan ini, ya?” tebakku sok santai, tapi nyaliku langsung ciut.

Astaga, bisa-bisa aku dipecat cuma gara-gara sok akrab sama atasan yang ternyata tetanggaku sendiri dan manggilnya mas pula.

“Saya minta maaf, Pak! Gak bermaksud lancang tadi manggilnya ‘Mas’,” ucapku buru-buru, takut kalau tiba-tiba dia tersinggung dan langsung berubah galak seperti yang digosipkan.

“Hmm… gak masalah,” jawabnya tenang, lalu berjalan santai menuju meja kerjanya.

Aku mengembuskan napas lega, tapi jantung masih deg-degan.

“Kalau gitu, saya pamit dulu, Pak!” kataku cepat-cepat sambil menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah tergesa.

Begitu pintu tertutup, aku langsung memegang dadaku.

“Ya Allah… kaget banget! Jadi direktur yang dibicarain orang-orang itu ternyata Mas Arsya?! Astaga, tetangga aku sendiri, loh! Dan orang yang sama di setiap momen aku lagi bermasalah dengan bang Rendra.” gumamku pelan.

Belum sempat napasku normal, salah satu sekretaris menghampiri. “Gimana, Mbak, hari pertamanya? Aman gak?”

“Aman…” jawabku pelan sambil tersenyum kikuk.

“Yakin?” Sekretaris itu mendekatkan wajahnya ke wajahku, seolah mau meneliti.

“Iya, aman kok,” sahutku lagi, makin gugup.

“Syukurlah…” ia menghela napas lega.

 “Setidaknya udah ada yang bisa gantiin kami bersihin ruangan bos. Soalnya gak ada satu pun cleaning service yang bertahan lama di sana.”

“Kenapa emangnya?” tanyaku polos.

Sebelum sempat dijawab, seorang sekretaris lain menyahut sambil menatapku dari ujung kepala sampai kaki.

“Paling juga besok kamu diusir. Lihat aja, dengan penampilan kamu yang kucel gitu, Pak Arsya pasti gak betah!”

“Vira! Gak boleh ngomong gitu,” tegur rekan kerjanya yang tadi, agak kesal.

“Lah, emang bener! Kamu aja gak tahu gimana orangnya Pak Arsya. Dia paling anti dideketin cewek. Hanya kita berdua yang bisa akrab sama dia. Aku ini anak teman papanya, sedangkan kamu kan udah lama kerja di sini, Risa dan kebetulan kamu sahabat lamanya juga!” ucap Vira sombong sambil melipat tangan di dada.

Aku cuma tersenyum kaku. Dalam hati, aku yakin para cleaning service sebelumnya kabur bukan cuma karena Pak Arsya, tapi juga karena mulut tajam Mbak Vira ini.

“Kalau gitu saya ke pantry dulu, ya, Mbak,” ucapku mencoba mengalihkan suasana.

“Tunggu!” seru Vira sambil melirikku dari ujung mata.

Aku menoleh. “Ada apa, Mbak?”

“Buatkan teh buat Pak Arsya. Dia gak suka yang manis, tapi juga gak mau hambar. Pokoknya tehnya harus pas banget! Paham?” perintahnya.

“Vira! Kenapa kamu nyuruh cleaning service baru bikin teh? Aturan kamu ajarin dulu takarannya,” sela Risa kesal.

“Ini tantangan dalam bekerja, Risa,” ucap Vira sambil tersenyum licik.

“Kalau dia gagal, ya udah, berarti dia gak cocok kerja di sini.”

Aku menelan ludah. Tantangan apaan coba? Bikin teh aja bisa jadi ujian hidup.

“Baik, Mbak,” jawabku akhirnya, berusaha tetap sopan.

Aku pun bergegas ke pantry. Begitu sampai, aku membuka lemari dan mencari teh celup.

“Katanya gak boleh manis, tapi juga gak hambar. Ya ampun, susah amat sih maunya orang kaya,” gumamku.

Akhirnya aku bikin teh dengan cara yang biasa kulakukan untuk diriku sendiri. Satu sendok teh gula, gak lebih. Airnya aku biarin agak panas biar aromanya keluar. Entah kenapa, setiap aku mencium aroma teh, rasanya tenang aja, seolah semua ribetnya hidup bisa reda sejenak.

Setelah teh selesai, aku menatap hasil karyaku sambil berdoa dalam hati.

“Semoga seleranya cocok. Kalau enggak, bisa-bisa hari pertama kerja jadi hari terakhir.”

Dengan hati-hati, aku membawa nampan berisi teh menuju ruang direktur. Mbak Risa membantu membukakan pintu.

“Terima kasih, Mbak,” ucapku pelan.

“Sama-sama. Semoga aman ya,” bisiknya sambil tersenyum simpati.

Begitu masuk, Pak Arsya langsung menatapku. Tatapannya dalam dan bikin aku nyaris salah napas.

“Pak, ini tehnya…” kataku sambil menaruh cangkir di mejanya.

Tanganku sedikit gemetar. Dalam kepalaku udah kebayang adegan drama Korea di mana bos galak tiba-tiba lempar cangkir gara-gara tehnya salah rasa.

“Kamu tahu risikonya kalau tehnya salah?” tanyanya datar.

“Tau Pak,” jawabku singkat, mencoba tampak berani padahal jantung udah marathon Senin Kamis.

Dia menatapku beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat cangkir itu. Aku menahan napas waktu dia meneguknya. Sekejap dia terdiam, lalu menatapku lagi. Tatapan itu bikin aku tambah tegang.

“Bagaimana kamu tahu takaran teh saya?” tanyanya.

Aku menatapnya bingung tapi lega. “Saya bikin sesuai takaran yang biasa saya buat buat diri saya sendiri, Pak. Mbak Vira sih sempat kasih tahu, tapi saya pikir saya sesuaikan sedikit biar lebih pas rasanya.”

Pak Arsya mengangguk pelan. “Bagus. Mulai sekarang, teh saya pakai takaran yang sama seperti ini.”

Aku hampir loncat saking senangnya. “Siap, Pak! Kalau begitu, saya keluar dulu, ya.”

Begitu keluar, aku langsung menatap ke langit-langit dan menarik napas lega. “Ya ampun, lulus ujian teh! Terima kasih, Tuhan…”

Tapi baru aja mau menuju pantry, ponselku bergetar. Nama yang muncul di layar bikin senyumku hilang seketika. Siapa lagi kalau bukan anomali dalam hidupku yaitu Bang Rendra.

Aku buru-buru menekan tombol ‘mute’, tapi nada deringnya sempat bikin satu dua orang nengok. Sial.

Belum jauh melangkah, aku akhirnya menyerah. Aku menuju pantry, lalu menekan tombol hijau.

“Halo..”Ucapku ketus.

“Aini, akhirnya kamu angkat juga telepon Abang. Abang kangen sama kamu dan Keenan,” suaranya berat dan lembut, tapi di telingaku kedengarannya nyebelin banget.

“Lalu?” jawabku singkat dan padat.

“Aini, ayo kita perbaiki hubungan kita,” katanya lagi, terdengar memohon.

Aku mendengus pelan. “Aku gak mau. Silakan nikmati suasana pengantin barumu sama gundikmu itu. Nikmati juga kamar dan ranjang yang dulu sering kita pakai bareng, sekarang sama dia!”

“Aini…” suaranya melemah.

“Cukup Bang! Aku tak mau mendengar apapun lagi dari kamu karena aku tau setiap kata yang kamu ucapkan itu hanya dusta belaka. Jadi kamu tunggu aja surat dari pengadilan. Aku udah ajukan perceraian kita,” ucapku tegas lalu langsung mematikan telepon.

Tanganku gemetar, bukan karena sedih, tapi karena marah dan kecewa. Baru aja hari ini aku bertekad mulai hidup baru, tapi lelaki itu lagi-lagi datang membawa luka lama.

Aku menghela napas panjang dan menatap pantulan wajahku di pintu kaca pantry.

“Mulai sekarang, hidupku bukan tentang dia lagi,” gumamku pelan.

“Aku harus kuat. Demi aku… dan demi Keenan.”

 

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!