Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan.
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya.
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya.
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 33
Senja merayap masuk, menyelinap melalui celah gorden dan membias di wajah Zio yang terlelap.
Kelelahan tampak jelas dari setiap tarikan napasnya yang dalam dan teratur.
Aprilia, yang sedari tadi gelisah, memanfaatkan momen itu untuk menghubungi Nenek Sari. Jantungnya berdebar tak sabar saat panggilan tersambung.
"Nek," sapanya lembut, berusaha menyembunyikan nada cemas yang sejak tadi menghantuinya.
"Iya, Nak. Nenek sudah memutuskan, nenek mau tinggal beberapa hari di kota," jawab Nenek Sari dari seberang sana.
"Syukurlah," Aprilia menghela napas lega. "Aku senang sekali mendengarnya, Nek. Besok pagi aku jemput ya?"
"Kamu sama Vernando kan yang jemput?" tanya Nenek Sari, nadanya penuh harap.
"Iya, Nek," jawab Aprilia, sebuah kebohongan kecil yang terpaksa ia ucapkan. Ada rasa bersalah yang mencubit hatinya, namun ia tepis demi menjaga rencana nya .
Setelah beberapa saat berbincang, mereka pun mengakhiri panggilan. Aprilia segera menekan nomor Mbok Ratmi.
"Mbok, kunci mobil yang dikasih Kakek Arthur ada di Mbok kan?" tanya Aprilia, suaranya sedikit berbisik.
"Iya, Non. Ada apa?" tanya Mbok Ratmi, nada suaranya sarat akan keheranan.
Aprilia memang tidak pernah mau menerima mobil pemberian Kakek Arthur. Ia lebih memilih naik taksi atau transportasi online ke mana-mana. Pertanyaan tiba-tiba ini tentu saja membuatnya merasa aneh.
"Aku mau pakai, Mbok. Tapi jangan bilang Vernando ya, nanti aku ceritain," pinta Aprilia, berusaha meyakinkan.
"Iya, Non," jawab Mbok Ratmi, meskipun rasa penasarannya semakin membuncah. Ia tahu, Aprilia pasti punya alasan tersendiri. Mungkin, gadis itu hanya belum sempat bercerita padanya.
Napas lega lolos dari bibir Aprilia begitu panggilan berakhir. Tekadnya membara, siap menghadapi Vernando dan mengungkap semua perlakuan buruk yang selama ini ia pendam.
Dalam hati, ia berharap Kakek Arthur akan mendukung keputusannya untuk berpisah dari pria itu.
"Mana Zio?"
Suara Yuka yang tiba-tiba menyapa membuatnya terlonjak kaget. "Astaga!" seru Aprilia sambil mengelus dadanya, mencoba menenangkan diri.
"Maaf, Pak. Zio sedang tidur, sepertinya kelelahan karena hari ini banyak sekali kegiatan di sekolahnya," jelas Aprilia.
Yuka mengangguk, lalu mengamati wajah Aprilia yang tampak semakin bersinar. "Kamu sudah tidak perawatan?" tanyanya, membuat Aprilia sedikit salah tingkah.
"Kemarin hari terakhir saya melakukan treatment, Pak. Ke depannya, saya mau merawat kulit menggunakan skincare saja, tapi sesekali saya akan sempatkan untuk melakukan perawatan di klinik," jawab Aprilia, menjelaskan rencananya.
Yuka hanya mengangguk-angguk, tampak puas dengan jawaban Aprilia.
"Terima kasih, Pak. Berkat Bapak, saya bisa perawatan dan mendapatkan kulit yang sehat sekarang," ucap Aprilia tulus, merasa berhutang budi pada atasannya itu.
"Sama-sama," jawab Yuka singkat, namun senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Mana Mbak Yuli?" tanya Yuka, mengalihkan pembicaraan.
"Oh, tadi Mbak Yuli izin pulang lebih dulu, Pak. Ada kerabatnya yang tiba-tiba jatuh sakit. Tapi Mbak Yuli sudah masak," jelas Aprilia.
"Apa saya boleh minta tolong?" tanya Yuka, menatap Aprilia dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aprilia, berusaha tetap tenang.
"Saya ingin kopi tanpa gula ya, antar ke kamar saya," pinta Yuka, membuat Aprilia terdiam sejenak.
"Baik, Pak," jawab Aprilia, berusaha menyembunyikan keraguannya.
Ia berbalik dan berjalan menuju dapur, namun hatinya diliputi perasaan tidak enak. Mengantarkan kopi ke kamar Yuka, entah mengapa jantung nya malah berdegup kencang.
TOKTOKTOK
"Masuk," suara Yuka terdengar dari dalam kamar.
Aprilia membuka pintu dan melangkah masuk. Pemandangan yang menyambutnya membuat jantungnya berdegup kencang.
Yuka duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan kimono yang memperlihatkan bahunya yang bidang. Aprilia segera memalingkan wajah, berusaha untuk tidak melihat hal-hal yang tidak seharusnya ia lihat.
"Kenapa diam di situ?" tanya Yuka, membuyarkan lamunan Aprilia.
Dengan langkah ragu, Aprilia mendekati Yuka tanpa berani menatapnya. Ia menyodorkan cangkir kopi yang sejak tadi ia genggam erat.
"Apa saya membuatmu merasa tidak nyaman?" tanya Yuka, nadanya terdengar lembut namun menusuk.
Aprilia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Yuka menyadari bahwa penampilannya mungkin membuat Aprilia merasa risih.
"Maaf, saya mau mandi, tapi menunggu kamu mengantar kopi," ucap Yuka, menjelaskan alasannya.
"Iya, Pak," jawab Aprilia singkat, berusaha menutupi kegugupannya.
Pandangan Aprilia kembali tertuju pada sebuah foto yang terpajang di dinding yang sempat di lihat nya beberapa waktu lalu.
Seorang wanita cantik sedang menggendong bayi. Aprilia terpaku, mengamati wajah wanita itu dengan seksama. "Sangat cantik," gumamnya dalam hati.
"Dia Syafira, ibu Zio," ucap Yuka, memecah keheningan.
Aprilia tersentak dan langsung menunduk, merasa malu karena ketahuan mengamati foto itu.
"Beliau sangat cantik," ucap Aprilia, berusaha memuji.
"Dia memang sangat cantik," balas Yuka, suaranya bergetar. Matanya kembali berkaca-kaca, dihantui oleh penyesalan yang tak berujung.
"Maaf, Pak, kalau begitu saya keluar," ucap Aprilia, merasa tidak enak mengganggu Yuka.
Yuka tidak menjawab, pikirannya masih terpaku pada masa lalu. Sudah tiga tahun sejak kematian Syafira, namun Yuka tidak pernah bisa melupakan rasa bersalahnya.
"Kalau saja waktu itu aku tidak meninggalkanmu," bisik Yuka lirih, menatap foto Syafira dengan tatapan penuh penyesalan.
***
Vini datang ke kantor Vernando karena sejak siang, panggilannya tak dijawab dan pesannya tak berbalas.
"Kak Nando!" seru Vini begitu memasuki ruangan Vernando.
"Ada apa?" jawab Vernando ketus, tanpa menoleh.
"Apa Kak Nando sekarang mau mencampakkan aku?!" tanya Vini dengan nada meninggi.
"Turunkan nada bicaramu!" bentak Vernando, matanya memancarkan kemarahan.
"Setelah apa yang Kakak lakukan padaku, sekarang Kakak mau membuangku?!" tanya Vini lagi, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Apa yang kulakukan? Apa aku memaksamu tidur denganku? Apa aku memaksamu memberikan mahkotamu? Tidak, kan! Kita sama-sama mau!" balas Vernando dengan nada sinis.
Vini terkejut mendengar ucapan Vernando. Ia tak menyangka Vernando bisa setega itu.
"Aku tidak mau tahu, ceraikan Kak Lia dan nikahi aku!" tuntut Vini.
"Kau gila! Aku tidak akan menceraikan Aprilia!" jawab Vernando dengan nada membentak.
"Karena warisan atau karena kamu mulai mencintai Kak Lia?!" tanya Vini dengan emosi yang membara.
"Bukan urusanmu!" jawab Vernando, berusaha mengakhiri perdebatan.
"Aku hamil," ucap Vini, memecah keheningan.
Vernando terkejut dan menatap Vini dengan tatapan tak percaya. "Apa katamu?" tanyanya.
"Aku hamil. Aku sudah melakukan USG sebelum kita pulang," jawab Vini, air mata mulai membasahi pipinya.
Vernando tak menyangka akan kecolongan seperti ini. "Tidak mungkin! Aku selalu memaksamu meminum pil itu," ucap Vernando dengan nada tak percaya.
"Aku tidak meminumnya," jawab Vini, menantang tatapan Vernando.
"Apa kau sengaja? Ingin menggunakan anak ini untuk mengancamku? Dasar wanita licik!" tuduh Vernando, emosinya meluap.
"Ayo ke rumah sakit!" perintah Vernando sambil menyeret tangan Vini.
"Kak Nando sakit!" seru Vini sambil menepis tangan Vernando dengan kasar.
"Aku tidak mau menggugurkan anak ini!" tegas Vini, lalu berlari keluar ruangan Vernando. Ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi, berusaha menghindari Vernando karena takut dipaksa aborsi.
Vernando menggeram frustrasi saat kehilangan jejak Vini. Dengan kasar, ia meraih ponsel dari sakunya dan menghubungi seseorang yang saat ini sangat ia butuhkan.
"Aku akan kirimkan foto seorang wanita. Cari wanita itu untukku! Dapatkan dia hidup-hidup!" perintah Vernando tanpa basa-basi, lalu segera mematikan sambungan telepon dan mengirimkan foto Vini.
"Dasar wanita sialan! Aku tidak akan membiarkanmu dan anak haram itu menghancurkan masa depanku!" gerutunya dengan nada penuh amarah, pandangannya kosong dan penuh perhitungan.