Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Demi melindungi kedua kakaknya, Lin Hua memutuskan untuk menghadiri jamuan teh yang diadakan di Paviliun Teratai miliknya oleh seorang tuan muda Wu, putra seorang pejabat tinggi tingkat tiga. Aroma intrik dan ambisi tercium kuat di balik undangan ini.
"Adik, entah kau berpenampilan sebagai pria atau wanita, kau selalu berhasil memukau banyak orang," ujar Liu Yuan, seraya menatap Lin Hua di dalam kereta kuda yang berderap menuju Paviliun Teratai. Suara roda kereta beradu dengan jalanan berbatu, menciptakan irama yang mengiringi percakapan mereka.
Lin Hua, dengan lihai menyamar sebagai pria, mengenakan pakaian pria yang pas di tubuhnya dan topeng abstrak yang menutupi separuh wajahnya ke bawah, menyembunyikan identitas aslinya. "Ya, begitulah aku. Sangat menarik, bukan?" jawab Lin Hua, dengan nada bicara yang dibuat-buat agar terdengar seperti pria.
Kedua kakaknya terkekeh pelan, namun dalam hati mereka mengakui kebenaran ucapan itu. Dengan tinggi badan Lin Hua yang semampai, tidak ada yang akan meragukan bahwa dia adalah seorang wanita. Bahkan dalam penyamarannya sebagai pria, auranya tetap terpancar, memancarkan ketampanan yang memikat.
"Tuan, kita sudah sampai," seru kusir, memecah keheningan sesaat.
Ketiga Wei bersaudara itu turun dari kereta kuda. Di hadapan mereka berdiri pintu masuk Paviliun Teratai yang megah, dihiasi lampion-lampion merah yang bergantungan dan aroma dupa yang memenuhi udara. Para tamu berdatangan, menciptakan suasana yang ramai dan penuh intrik. Lin Hua mengangguk kecil pada penjaga di pintu masuk, sebuah isyarat yang hanya dimengerti oleh mereka.
Bagaimana mungkin anggota Lotus tidak mengenali tuan mereka sendiri? Pria itu, dengan sigap, berlari masuk untuk memberitahu rekan-rekannya, mempersiapkan diri untuk mengikuti sandiwara yang telah dirancang oleh Lin Hua.
Ketiga Wei bersaudara itu langsung menuju ruang VIP, tempat tuan muda Wu mengadakan penjamuan teh. "Rasanya sangat aneh, seorang tuan muda menjamu tamunya di tempat seperti ini," bisik Liu Han, dengan nada curiga, kepada kedua adiknya. Matanya menyapu sekeliling, mencoba mencari petunjuk tentang maksud tersembunyi di balik undangan ini.
"Mungkin dia ingin menunjukkan bahwa dia berbeda dari bangsawan lainnya?" balas Lin Hua, dengan nada tenang, meskipun hatinya dipenuhi kewaspadaan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Ruang VIP itu didekorasi dengan mewah, dengan lukisan-lukisan kaligrafi yang menghiasi dinding dan aroma teh yang memenuhi ruangan. Tuan muda Wu, seorang pria muda dengan senyum palsu yang menempel di wajahnya, menyambut mereka dengan hangat.
"Selamat datang, Tuan Muda Wei. Saya merasa terhormat atas kehadiran Anda," ujarnya, dengan nada dibuat-buat. "Silakan duduk."
Mereka bertiga duduk di meja yang telah disiapkan, dikelilingi oleh para tamu undangan lainnya. Lin Hua mengamati sekeliling, mencoba mengidentifikasi potensi ancaman. Dia melihat beberapa wajah yang familiar, para pejabat dan pedagang kaya yang sering berurusan dengan Paviliun Teratai.
"Saya harap Anda menikmati teh yang saya sediakan," kata tuan muda Wu, seraya menuangkan teh ke cangkir mereka. "Ini adalah teh terbaik dari perkebunan keluarga saya."
Lin Hua mengangkat cangkirnya dan menyesap teh itu. Rasanya pahit dan aneh, tidak seperti teh yang pernah dia minum sebelumnya. Dia merasakan sesuatu yang aneh di dalam teh itu, sesuatu yang berbahaya.
"Teh yang enak," ujarnya, dengan senyum tipis. "Tapi saya lebih suka teh yang lebih kuat."
Tuan muda Wu tertawa kecil. "Saya mengerti. Anda adalah orang yang kuat, Tuan Muda Wei. Saya yakin Anda akan menyukai kejutan yang telah saya siapkan untuk Anda."
Lin Hua merasakan firasat buruk. Dia tahu bahwa jamuan teh ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang terjadi, sesuatu yang berbahaya yang mengancam dirinya dan kedua kakaknya.
Lin Hua, Liu Yuan, dan Liu Han hanya tersenyum tipis, menyembunyikan kewaspadaan mereka di balik keramahan palsu. Awalnya, percakapan mengalir ringan, seperti riak air di permukaan kolam, tanpa ada perbincangan serius yang menyentuh inti persoalan. Namun, keheningan itu pecah ketika tuan muda Wu kembali bersuara, memecah suasana dengan pertanyaan yang mengarah pada tujuan sebenarnya.
"Tuan Muda Wei," ucap tuan muda Wu, dengan nada bicara yang dibuat-buat ramah, "sekarang Anda adalah salah satu keluarga yang cukup kaya di ibukota. Apakah Anda sudah memiliki seorang kekasih?" Pertanyaan itu dilontarkan langsung kepada Liu Han, seolah-olah dia adalah target utama dalam permainan ini.
Liu Han, yang merasa terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu, langsung menoleh dengan ekspresi bingung. "Keluarga kami hanyalah keluarga biasa-biasa saja," jawabnya, mencoba merendah. "Dan mengenai kekasih, aku belum memikirkannya. Ujian akademi akan segera dimulai, dan aku hanya akan fokus pada hal-hal yang penting." Nada bicaranya tegas, menunjukkan bahwa dia tidak tertarik dengan urusan asmara saat ini.
Tuan muda Wu terkekeh pelan, seolah-olah dia mengagumi ketegasan Liu Han. "Kau benar-benar pria yang jujur dan tangguh," pujinya, dengan senyum yang tidak sepenuhnya tulus.
Lin Hua, yang menyimak perbincangan keduanya dengan seksama, mulai mengerti alur permainan ini. Dia tahu bahwa keluarga Wei memiliki seorang putri, anak dari seorang selir. Meskipun statusnya rendah, nona muda Wei sangat disayangi oleh anak-anak dari istri sah keluarga Wei. Lin Hua menyadari bahwa tuan muda Wu sedang berusaha menjodohkan adiknya dengan Liu Han, dengan harapan dapat mempererat hubungan antara kedua keluarga.
"Tuan Muda Wei, adikku tertarik denganmu," ucap tuan muda Wu pada akhirnya, membuka kartu yang selama ini disembunyikannya. "Apakah kau bisa memberikan sedikit muka?" Nada bicaranya memohon, namun Lin Hua dapat merasakan tekanan yang tersirat di balik kata-kata itu.
Lin Hua mendengus lucu dalam hati. Tuan muda di hadapannya benar-benar seorang kakak yang sangat baik, rela melakukan apa saja demi kebahagiaan adiknya. Siapapun akan tertipu dengan kelicikannya, namun tidak dengan Lin Hua, yang dapat dengan mudah mendapatkan informasi tentang mereka. Dia tahu bahwa tuan muda Wu memiliki motif tersembunyi di balik perjodohan ini, dan dia tidak akan membiarkan kakaknya menjadi pion dalam permainannya.
"Apa alasan kami harus memberi Anda muka, tuan muda Wu?" tanya Lin Hua, dengan nada santai namun menusuk. Matanya menatap langsung ke arah tuan muda Wu, menantang pria itu untuk mengungkapkan niat sebenarnya. Suasana di ruangan itu tiba-tiba menjadi tegang, seperti tali busur yang siap dilepaskan.
Tuan Muda Wu tersenyum licik, "Tentu saja ada keuntungannya. Merupakan suatu kehormatan bagi kalian untuk menjalin ikatan pernikahan dengan keluarga pejabat. Selain itu, dengan dukungan yang kuat dari keluarga kami, kejayaan kalian di ibukota akan semakin terjamin."