Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Menuju perburuan : 1
Malam sudah turun sepenuhnya. Di luar, taman Istana Fangsu diterangi lentera batu, menebar cahaya kekuningan yang temaram menembus jendela ukir. Udara beraroma dupa cendana dan bunga plum kering.
Di dalam, suasana jauh lebih hangat dan sedikit berbahaya.
Chunhua masih tersenyum lembut, sementara Jing Zimo menatapnya dengan wajah memerah.
Dia berusaha melepaskan tangan Chunhua, tetapi lengan ramping itu melingkari lehernya sekuat kait besi.
Suara langkah yang familiar terdengar dari luar diikuti panggilan yang juga familiar.
"Yang Mulia."
"Jun’er sudah di sini? Masuklah," katanya tanpa berbalik. Ia masih menatap Jing Zimo dengan pandangan lembut dan melelehkan.
"Tapi... Mo’er seharusnya tidak keberatan jika Jun’er bergabung, kan?"
Raut Jing Zimo makin ngeri dan entah dari mana kekuatannya datang, dia berhasil melepaskan diri.
"Tidak tahu malu!" umpatnya, lalu berlari seperti dikejar hantu.
"Zi—" Feng Jun yang baru datang hanya sempat membuka mulut sebelum Jing Zimo melintas begitu cepat.
Ia menatap kepergian temannya dengan heran, sebelum mendengar Sang Putri dari ruang dalam—bening, lembut, namun membuat udara di sekitar terasa sedikit lebih hangat.
Bibirnya tanpa sadar melengkung, tersenyum lega.
Rasanya akhir-akhir ini dia sering mendengar Sang Putri tertawa... seperti dulu.
"Yang Mulia," sapanya dari balik layar sebelum memasuki ruang dalam.
Aroma lembut dupa cendana menyambutnya, berpadu dengan hangatnya dua baskom arang yang membakar perlahan. Cahaya lampu minyak menari di atas dinding berlapis tirai sutra tipis, memantulkan bayangan tubuh wanita yang tengah bersandar di atas meiren ta¹ berlapis kain merah.
Chunhua setengah berbaring, satu siku bertumpu pada bantal panjang. Gaun formalnya sudah dilepas, berganti dengan jubah tidur tipis berwarna pucat yang menampakkan garis bahunya.
Dia melihat wajah Sang Putri yang sedikit pucat dan tidak bisa menahan khawatir.
Feng Jun maju, menghampiri Chunhua dan setengah berlutut di depannya. "Yang Mulia terlihat lelah, bagaimana jika memanggil tabib untuk memeriksa?"
Tidak perlu," jawabnya pelan. Suaranya lembut dan sedikit acuh. "Putri ini baik-baik saja."
Feng Jun menunduk. Meski ingin membantah, dia tahu tidak ada satu pun kata yang bisa melawan keputusan Sang Putri.
"Ya," ujarnya lirih, sedikit enggan. "Apakah Yang Mulia memiliki perintah?"
"Duduklah," katanya.
"Terima kasih, Yang Mulia." Feng Jun berdiri perlahan dan duduk di kursi kecil di depan meiren ta. Cahaya lampu minyak di dekatnya memantulkan warna keemasan pada jubah berwarna abunya.
Chunhua menyandarkan tubuh, jari-jarinya yang ramping bermain di ujung untaian rambut hitam, memilinnya perlahan seperti tengah berpikir. "Sebenarnya hari ini saat berjalan-jalan, Putri ini melihat sesuatu yang luar biasa."
Nada suaranya ringan, tetapi sesuatu di matanya berkilat samar, seperti kecurigaan yang dingin.
"Bantu Putri ini menyelidikinya."
Raut Feng Jun berubah serius. "Tolong katakan, Yang Mulia."
"Kakakku, Pangeran Ning dan…" Chunhua berhenti sejenak, menatap cermin perunggu di seberang, pantulan wajahnya tampak begitu tenang hingga nyaris menakutkan.
“…Permaisuri.”
Ruangan itu seketika hening.
Di luar, angin malam berembus melalui kisi-kisi jendela, meniup tirai tipis hingga berdesir lembut.
Api di lampu minyak bergetar, lalu menetap kembali—menyisakan bayangan panjang yang bergoyang di dinding.
"Ya," Feng Jun menjawab akhirnya, suaranya serak dan berat. "Saya akan mengaturnya."
Chunhua menghela napas, sedikit lelah.
Dia hanya ingin pensiun dan mundur dari perebutan politik, tetapi kenapa rasanya sangat sulit?
Seolah, semakin dia mempersiapkan jalan mundur, semakin banyak masalah yang dia temukan.
"Jika bisa memilih," gumamnya pelan, "aku lebih suka mencabik musuhku langsung daripada bermain strategi seperti ini."
Feng Jun menunduk, menatap karpet di bawah kaki Sang Putri. Ia tahu bukan tempatnya untuk menanggapi.
Keheningan itu berlangsung beberapa saat sebelum Chunhua menegakkan punggungnya dan menatap Feng Jun.
"Oh iya," katanya, ringan, seolah baru teringat sesuatu. "Apakah Jun’er sudah menerima oleh-oleh dari Putri ini?"
"Saya sudah menerimanya," kata Feng Jun, menunduk hormat. "Saya mengucapkan terima kasih pada Yang Mulia."
"Tidak perlu berterima kasih," balas Chunhua lembut. "Saat Putri ini melihat kipas lipat itu, Putri ini langsung teringat padamu."
Feng Jun sempat terdiam. Senyum kecil terbit di bibirnya, dan wajahnya terasa sedikit panas.
Entah mengapa, perasaan hangat yang sudah lama hilang perlahan muncul kembali.
Dahulu, Yang Mulia juga seperti ini—hangat, penuh perhatian, tetapi sulit ditebak.
"Saya sangat menyukainya," ucapnya akhirnya.
Chunhua menatapnya sekilas, lalu berdiri dari meiren ta. Cahaya lampu minyak menyoroti siluetnya, lembut tapi berwibawa.
"Selain itu," katanya perlahan, "tentang perburuan musim gugur dua hari lagi…"
Ia berhenti sejenak, menatap rambut hitam Feng Jun. "Kamu akan pergi bersama Putri ini."
Meiren ta (sofa si cantik) : Bentuknya ramping, bersandaran rendah, digunakan untuk bersantai, membaca, atau menerima tamu dekat. Posisi duduknya bisa setengah berbaring dengan siku bersandar pada bantal panjang.
Semangat selalu!👏🙌