Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 - Lamaran
Sinar matahari menembus tirai kamar Senja yang sederhana. Gadis itu baru saja terbangun ketika ponselnya berdering dengan notifikasi pesan dari Samudra.
"Pagi, sayang. Kamu ada rencana hari Sabtu besok?"
Senja tersenyum membaca pesan itu sambil masih berbaring di tempat tidur. Jemarinya dengan cepat membalas. "Pagi, Mas. Nggak ada rencana kok. Kenapa?*
"Aku dapat undangan pernikahan teman SMP. Mau ikut? Tapi jangan bilang Luna."
Jantung Senja berdebar kencang. Samudra mengajaknya keluar? Ke acara pernikahan? Bukankah itu terlalu berisiko?
"Mas yakin? Bagaimana kalau ada yang kenal?" balas Senja cepat.
"Tenang. Ini teman lama dari luar kota. Mereka nggak kenal Luna. Lagipula, aku mau yang nemenin aku kamu, bukan dia."
"Kalau begitu, aku ikut. Aku senang bisa jalan sama Mas."
"Good. Sabtu pagi kita pergi. Pakai baju yang cantik ya. Aku mau semua orang lihat betapa beruntungnya aku.*
Pipi Senja memerah membaca pesan terakhir itu. Dia memeluk ponselnya dengan erat, hati dipenuhi kebahagiaan yang meluap-luap.
***
Hari Sabtu pagi, Senja sudah bersiap sejak jam enam. Dia mengenakan dress midi berwarna peach yang elegan dengan detail bordir di bagian dada, rambut dikuncir rendah dengan beberapa helai sengaja dibiarkan terurai membingkai wajahnya yang cantik. Makeup-nya natural hanya lip tint soft pink dan sedikit mascara yang membuat matanya terlihat lebih besar.
"Kamu cantik sekali," puji Samudra sambil membukakan pintu mobil untuk Senja seperti seorang gentleman.
"Terima kasih, Mas," jawab Senja sambil masuk ke dalam mobil dengan pipi yang merona.
Mereka berkendara menuju hotel berbintang lima di daerah K tempat resepsi pernikahan diadakan. Sepanjang perjalanan, Samudra sesekali melirik Senja yang duduk di sampingnya dengan senyum yang tidak bisa hilang dari wajah.
"Nervous?" tanya Samudra sambil memegang tangan Senja.
"Sedikit," jawab Senja jujur. "Ini pertama kalinya aku ikut Mas ke acara formal."
"Santai aja," kata Samudra sambil menggenggam tangan Senja lebih erat. "Kamu bersamaku. Tidak ada yang perlu ditakutkan."
Ketika sampai di hotel, Samudra dengan percaya diri menggandeng tangan Senja memasuki ballroom yang sudah dipenuhi tamu undangan. Dekorasi pernikahan yang mewah dengan tema white and gold membuat suasana terlihat sangat elegan.
"Samudra!" seru seorang pria yang langsung menghampiri. "Bro, lama banget nggak ketemu!"
"Dimas!" Samudra memeluk temannya itu dengan hangat. "Selamat ya. Akhirnya nikah juga."
"Thanks, Bro," Dimas melirik Senja yang berdiri di samping Samudra. "Ini... Luna?"
"Bukan," jawab Samudra dengan santai sambil merangkul pinggang Senja. "Ini Senja. Istriku."
Kata istriku membuat jantung Senja hampir copot. Dia menatap Samudra dengan mata yang sedikit membelalak, tapi pria itu hanya tersenyum tenang.
"Oh, maaf," Dimas terlihat sedikit bingung. "Aku pikir kamu nikah sama Luna."
"Long story," jawab Samudra dengan senyum tipis. "Nanti aku cerita. Sekarang kamu nikah dulu. Jangan bikin mempelai wanita nunggu."
Dimas tertawa dan kembali ke pelaminan. Senja menarik lengan Samudra dengan panik.
"Mas, kenapa Mas bilang aku istrimu?" bisiknya dengan suara pelan.
"Karena aku mau mereka kenal kamu sebagai istriku," jawab Samudra sambil menatap mata Senja dengan serius. "Aku tidak mau menyembunyikan hubungan kita lagi."
"Tapi..."
"Trust me," potong Samudra sambil mengecup kening Senja dengan lembut, tidak peduli ada tamu lain yang melihat. "Everything will be okay."
Sepanjang acara, Samudra memperkenalkan Senja sebagai istrinya pada semua teman-teman lamanya. Tidak ada yang mempertanyakan lebih lanjut karena memang mereka tidak kenal Luna. Senja yang awalnya nervous perlahan-lahan mulai enjoy dengan perannya.
"Istrimu cantik banget, Ren," puji seorang teman wanita Samudra. "Dan keliatan banget dia sayang sama kamu."
"Aku yang lebih sayang," jawab Samudra sambil menatap Senja dengan mata yang penuh cinta.
Acara berlangsung dengan meriah. Mereka makan bersama, foto-foto dengan mempelai, bahkan menari bersama ketika ada sesi dansa untuk para tamu. Samudra memegang pinggang Senja dengan lembut sementara Senja melingkarkan tangannya di leher pria itu.
"Terima kasih sudah mau ikut," bisik Samudra sambil mereka bergoyang pelan mengikuti irama musik slow.
"Sama-sama, Mas," bisik Senja. "Aku senang bisa begini sama Mas. Rasanya... seperti kita beneran suami istri."
"Kita akan jadi suami istri beneran," kata Samudra dengan serius. "Aku janji."
Senja menatap mata Samudra dengan tatapan yang penuh pertanyaan, tapi sebelum dia sempat bertanya, lagu sudah selesai dan mereka harus kembali ke meja.
Acara selesai sekitar pukul delapan malam. Samudra tidak langsung mengajak Senja pulang. Mereka berkendara menuju kawasan A yang relatif sepi di malam hari.
"Kita mau kemana, Mas?" tanya Senja dengan penasaran.
"Ada tempat yang mau aku tunjukkan," jawab Samudra sambil tersenyum misterius.
Mereka berhenti di area parkir yang menghadap langsung ke laut. Samudra turun dan membukakan pintu untuk Senja, kemudian menggandeng tangannya berjalan menuju tepi pantai yang sepi.
Bulan purnama bersinar terang di langit yang cerah, memantulkan cahaya keperakan di atas permukaan air laut yang tenang. Angin laut berhembus sejuk, membawa aroma asin yang khas. Suara ombak yang berdebur pelan menciptakan latar musik yang sempurna untuk momen romantis.
"Indah ya," kata Senja sambil menatap pemandangan laut di malam hari.
"Sangat indah," jawab Samudra sambil menatap Senja, bukan pemandangan. "Tapi tidak seindah kamu."
Senja tertawa kecil. "Mas jadi gombal sekali hari ini."
"Bukan gombal," kata Samudra sambil memutar tubuh Senja agar menghadap ke arahnya. "Itu fakta."
Mereka berdiri berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Tangan Samudra memegang kedua tangan Senja dengan lembut, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka.
"Senja," panggil Samudra dengan suara yang serius.
"Ya, Mas?"
"Hari ini aku memperkenalkan kamu sebagai istriku," kata Samudra sambil menatap mata Senja dengan intens. "Dan aku sadar, aku ingin itu jadi kenyataan. Aku ingin kamu beneran jadi istriku."
Jantung Senja berdebar sangat kencang. "Mas..."
Samudra berlutut di atas pasir pantai, masih memegang kedua tangan Senja. Posisi yang sangat familiar, posisi seorang pria yang akan melamar.
"Senja," katanya dengan suara yang bergetar, "maukah kamu jadi istri keduaku?"
Pertanyaan itu menggantung di udara malam, diiringi suara ombak yang terus berdebur. Senja merasakan dadanya sesak, air mata mengalir di pipinya. Dia sudah menduga akan ada pertanyaan ini, tapi ketika benar-benar terjadi, perasaannya jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan.
"Mas..." bisiknya dengan suara yang bergetar.
"Aku tahu ini bukan lamaran yang sempurna," lanjut Samudra dengan mata yang juga berkaca-kaca. "Aku tidak bisa menawarkan status istri pertama seperti yang seharusnya kamu dapatkan. Tapi aku janji, aku akan memperlakukan kamu dengan sebaik mungkin. Aku akan usahakan untuk ceraikan Luna secepatnya supaya kamu bisa jadi istri satu-satunya."
"Tapi Mas bilang di keluarga Mas tidak ada perceraian," kata Senja sambil menangis.
"Ada caranya," jawab Samudra. "Aku akan cari caranya. Yang penting sekarang, aku mau kamu jadi bagian resmi dari hidupku. Aku mau anak yang kita punya nanti punya status yang jelas. Aku mau kamu tidak perlu bersembunyi lagi."
Senja menatap wajah Samudra yang terlihat sangat tulus dan penuh harapan. Pria ini menawarkan status istri kedua, sesuatu yang mungkin dianggap tidak sempurna oleh banyak orang. Tapi bagi Senja, ini adalah kesempatan untuk bersama dengan pria yang dicintainya secara legal.
"Mas..." Senja terduduk di pasir berhadapan dengan Samudra yang masih berlutut. "Ini terlalu berat untuk aku putuskan sekarang."
"Aku mengerti," kata Samudra sambil mengusap air mata di pipi Senja dengan ibu jari. "Aku tidak minta kamu jawab sekarang. Pikirin dulu baik-baik. Aku akan menunggu jawaban kamu."
Mereka terdiam dalam posisi itu, Samudra berlutut dan Senja terduduk di hadapannya, tangan saling bertaut, dikelilingi oleh suara ombak dan cahaya bulan yang romantis namun dipenuhi dengan pertanyaan yang sangat berat.
"Tapi Senja," kata Samudra sambil menatap mata gadis itu dengan sangat serius, "aku mau kamu tahu satu hal."
"Apa, Mas?"
"Apapun keputusan kamu," bisik Samudra dengan suara yang penuh keyakinan, "aku tidak akan menyerah untuk menjadikan kamu istriku. Entah sebagai istri kedua atau suatu hari nanti sebagai istri satu-satunya, kamu adalah wanita yang akan aku nikahi.