Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Dua
Arkan rasanya hampir gila.
Semua permasalahan ini membuatnya tak bisa tidur sama sekali. Ia akan terjaga sepanjang malam demi mencari jalan keluar. Kadang Arkan akan sengaja lembur dikantor untuk mengalihkan pikirannya.
Atau dia hanya akan sekedar menemani Elira tidur hingga pagi, menatap wajah cantik itu tanpa lelah sama sekali. Jika diperhatikan dengan baik, Arkan benar-benar terlihat sangat berantakan.
Bahkan wajahnya memucat dengan kantong mata menebal karena kurang istirahat.
Jika dipaksa tidurpun, dirinya akan selalu bermimpi tentang Arfan dan Emi yang tersenyum padanya.
Mimpi itu akan membuat Arkan menangis sepanjang malam bagai anak kecil.
Tuhan.. Kalau boleh Arkan mengadu, dia lelah sekali. Batinnya lelah dan tersiksa, rasanya sudah tak sanggup lagi. Tapi bayang-bayang wajah Elira yang tersenyum manis padanya akan selalu hadir dan menjadi alasan Arkan untuk bertahan.
Pria itu meletakkan sebuah bunga mawar hijau dimasing-masing pusara Arfan dan Emi. Ini sudah kesekian kalinya Arkan datang ke pemakaman mereka berdua hanya untuk menangkan diri.
"Kak, Bagaimana kabarmu disana? Apa kau bertemu ibu? Kalau iya katakan padanya, Aku rindu," lirihnya sendu.
Helaan nafas terdengar begitu berat. "Kak, aku lelah. Aku lelah sekali tapi aku tidak bisa menyerah disini. Aku hanya ... Aku hanya tak yakin bisa melewati semuanya tanpamu. Aku harus apa?"
Bisa ia rasakan bulir air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya. Arkan mendongakkan kepalanya demi menahan agar tak ada lagi air mata yang menetes.
Ya ampun.. Kenapa ia secengeng ini?
Awan hitam terlihat berkumpul menutupi sinar matahari. Dan Arkan hanya bisa tersenyum kecut.
Bahkan langit memahami hatinya.
Arkan kembali menunduk dan menatap kedua pusara itu. "Kak.. Apa tempatmu indah? Bolehkah aku kesana?"
Setelah itu hujan deras turun dengan lebatnya dan dalam sekejap membasahi tubuh Arkan. Setidaknya hujan deras ini bisa menutupi kesedihannya, ia bisa menangis sepuas yang dirinya mau tanpa takut orang lain melihat.
Namun sesuatu memayunginya, Arkan menoleh dan mendapati Ayana yang berdiri dengan memegang payung lainnya juga.
"Kak Ayana?"
"Ayo kesuatu tempat. Ada yang ingin kutunjukkan padamu."
Kening Arkan berkerut bingung. "Kemana?"
"Ikut saja. Kau akan tahu nanti," katanya sambil memberikan payung itu pada Arkan sementara dirinya sudah berjalan menuju mobil dengan payung lainnya.
***
"Kita mau kemana?"
"Perjalanan ini akan cukup memakan waktu, kau tidurlah sejenak. Wajahmu mengerikan," tukas Ayana santai, tangannya memutar radio hingga terdengar sebuah lagu merdu yang berjudul Song Request.
Arkan terhanyut dengan melodi yang lembut. Seandainya juga dia bisa meminta untuk diputarkan lagu yang bisa membuatnya menangis maka dengan senang hati ia akan meminta.
Kemudian tidak lama ia terlelap begitu saja. Tidak tidur selama berhari-hari benar-benar menguras seluruh tenaganya.
Ayana melirik Arkan sejenak dengan senyuman lembut. Kemudian ia kembali fokus menyetir untuk menyelesaikan misi dari Kakek Hans.
***
Arkan tersentak bangun ketika samar-samar sebuah suara tawa terdengar. Mencoba menjernihkan pandangannya dan melihat sekeliling.
Dia masih didalam mobil, tapi bedanya mobil ini sudah berhenti. Pria itu memperbaiki posisinya yang agak keram dan sedikit meringis ketika punggungnya terasa begitu ngilu.
Berapa lama ia tertidur?
Melirik jam tangannya dan menghela nafas lagi saat sadar ia tertidur 4 jam lebih.
Arkan turun dari mobil dan menatap bingung tempat yang kini ia datangi. Ini daerah pegunungan dimana terdapat beberapa vila yang pemiliknya adalah para konglomerat. Termasuk vila keluarganya juga berada disekitar sini tapi masih harus mengendarai mobil beberapa kilometer lagi
Lalu ini vila siapa?
"Oh.. Sudah bangun? Maaf tak kupindahkan, aku tak kuat mengangkatmu. Mau ku bangunkan tapi kau terlihat lelah," Kata Ayana santai sambil memakan buah apel.
"Ini dimana?" tanya Arkan bingung.
"Vila keluarga Elira."
"Kenapa membawaku kesini?" Arkan masih belum mengerti.
Gadis itu hanya tersenyum lalu memberi gesture agar ia mengikutinya. Meski bingung dan tak mengerti tapi Arkan tetap mengikutinya, matanya melihat sekeliling dalam Vila itu dengan awas. Banyak sekali pigura-pigura antik khas Eropa dari abad pertengahan. Sudah begitu hampir disetiap dinding Vila ada foto Elira disana.
Surga kecil bagi Arkan.
Langkahnya berhenti saat Ayana pun berhenti diambang pintu belakang Vila. Dimana terdapat taman bunga yang besar dan cantik sekali. Ada banyak bunga dari berbagai macam warna dan jenis. Jangan lupa ada terdapat beberapa bangku panjang untuk duduk dan menikmati pemandangan ini.
Namun matanya terpaku pada dua sosok yang duduk membelakangi mereka dan terlihat begitu familiar untuknya.
Apa sekarang ia sudah gila?
Arkan menatap Ayana meminta penjelasan namun gadis itu hanya tersenyum saja dan kembali menatap kedua sosok itu.
"Pak Arfan, Bu Emi. Aku punya tamu untuk kalian."
Kedua mata Arkan membulat syok mendengar nama kedua kakak yang ia ketahui sudah meninggal 3 bulan yang lalu.
"A-apa yang—"
Ucapannya terhenti ditenggorokan ketika pria berdimple itu berbalik dan tersenyum bersama Emi.
"Oh Arkan sudah bangun, ya," sapa Arfan sembari berjalan bersama Emi mendekati Arkan yang masih mematung didepan pintu bagai orang bodoh.
"Kak Arfan? Kak Emi?"
Emi terkekeh. "Kenapa wajahmu begitu? Seperti melihat hantu saja."
Arkan masih tak mempercayai matanya hingga ia kembali menatap Ayana untuk memberinya penjelasan.
"Pak Arfan yang akan menjelaskan semua padamu. Intinya mereka masih hidup, kok. Baiklah, Aku pergi, ya," katanya lalu pergi begitu saja setelah tersenyum sejenak pada Arfan dan Emi.
Arkan hanya diam, menatap tak percaya kedua kakaknya didepan.
"Akan kubuatkan minum. Kalian bicara lah," kata Emi lalu masuk kedalam rumah.
Tunggu.. Ada yang aneh dengan Emi? Kenapa perutnya nampak rata?
Dan ia baru sadar jika Arfan menggunakan tongkat untuk berjalan.
Baru saja Arkan ingin bertanya, Arfan sudah menariknya untuk duduk disalah satu bangku taman.
"Kak, apa yang terjadi sebenarnya? Bukankah kalian tewas terbakar? A-aku melihat jasad kalian."
Arfan hanya tersenyum dan menyuruh Arkan untuk duduk disampingnya.
"Ya.. Seharusnya kami memang tewas tapi ... "
FLASHBACK
Arfan merontak kuat, mencoba membuka pintu mobil yang macet akibat penyok. Demi apapun kepalanya pening luar biasa tapi ia harus bertahan untuk menyelamatkan Emi dan juga bayi mereka. Menoleh menatap sang istri yang tengah meringis kesakitan memegangi perutnya.
"TOLONG KAMI! SIAPA SAJA KUMOHON. SELAMATKAN ISTRIKU!" teriak Arfan frustasi.
Mereka benar-benar terjebak. Ditambah mereka tengah berada dijalan yang sepi. Jarang ada mobil yang akan lewat.
Ia menatap Emi dan mencoba memeluk wanita cantik itu meski kesusahan karena tubuhnya agak terjepit.
"Maaf, Maafkan aku tak bisa melindungimu. Aku mencintaimu Emi. Setidaknya kau harus hidup bersama bayi kita. Aku mohon bertahanlah," isaknya lalu kembali berteriak meminta pertolongan.
Arfan semakin panik ketika api mulai terlihat dari cap mobilnya. Mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka paksa pintu mobil. Tidak memperdulikan fakta bahwa kaki kanannya patah.
Karena bagi Arfan keselamatan Emi dan calon buah hatinya lebih penting dibandingkan nyawanya sendiri.
Ia hampir menyerah. Sedikit lagi Arfan akan menyerah jika saja tidak datang beberapa orang berpakaian jas lengkap serba hitam yang dengan bantuan mereka bisa membuka pintu mobil itu.
Beberapa orang bergegas mengeluarkan Arfan dari dalam mobil tersebut.
"Istriku. Selamatkan istriku dulu!! Dia sedang hamil!" pekiknya.
"Tenang tuan. Istri anda sudah aman," katanya lalu dengan cepat menarik Arfan menjauh dari tempat tersebut.
kemudian beberapa orang meletakkan jasad dua orang lainnya yang entah siapa didalam mobil itu.
"SEMUANYA MENJAUH! MOBILNYA AKAN MELEDAK!" teriak pria itu yang tengah sibuk menarik Arfan menjauh.
Benar saja. Hanya hitungan detik mobil Arfan meledak dengan dasyatnya kemudian terbakar hebat sekali.
Setelah itu dirinya tak sadarkan diri.
***
Arfan membuka kedua matanya tiba-tiba dan menoleh kiri kanan panik.
Ia mencari Emi.
"Emi?! Emilia!" teriaknya.
Ayana yang baru saja masuk kedalam ruang rawat itu kaget dengan teriakan Arfan.
"Istriku dimana? Bagaimana keadaannya? Lalu bayiku? Katakan padaku! Katakan!"
"Istrimu ada diruangan sebelah. Sebaiknya kau bertemu dengannya saja."
Dengan bantuan Ayana, Arfan berjalan tertatih-tatih menuju kamar sebelah. Saat pintu dibuka, ia mendapati Emi yang tengah berdiri menghadap kaca jendela rumah sakit dengan pakaian khas rumah sakit.
"Sayang, Kau baik? Apa kau terluka? Katakan sesuatu..aku—"
Arfan tercekat ketika Emi berbalik sembari memegangi perutnya yang rata. Wajah wanita cantik itu begitu penuh luka dan kesedihan.
"Arfan, Ma-maafkan aku. Bayi kita.. Aku.. Maafkan aku... Maafkan aku.. Maafkan aku," Emi jatuh terduduk dilantai rumah sakit dan menangis sesenggukan sembari memegang perutnya.
Hari itu rasanya seluruh hal indah yang Arfan bayangkan hancur begitu saja. Ia berjalan tertatih-tatih mendekati sang istri, lalu ikut berlutut dihadapannya dan memeluk tubuh itu erat sekali.
"Tidak apa. Jangan menangis. Bukan salahmu. Jangan menangis. kumohon," ucapan demi ucapan Arfan keluarkan untuk menguatkan meski kenyataannya ia pun tengah menangisi nasib calon bayinya yang malang.
"Maafkan aku.. .maafkan aku. Jangan tinggalkan aku. Maafkan aku." Hanya itu yang Emi ucapkan berulang-ulang tanpa henti. Hingga Arfan bisa merasakan hatinya hancur berkali-kali lipat.
Ia gagal.
Dirinya gagal lagi melindungi mereka yang ia cintai.
Dulu ia gagal melindungi Arkan.
Sekarang ia gagal melindungi istri dan calon anaknya.
Arfan marah sekali pada dirinya yang tak berguna. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan rasa marahnya.
"Ja-jangan tinggalkan aku.. Maafkan aku.. maafkan aku."
Ah.. Sakit sekali.
Pria berdimple itu melepas pelukan mereka, menangkup wajah tirus Emi yang pucat. Mengecup kening sang istri lembut sekali. Lalu menempelkan kening mereka.
"Aku takkan pernah meninggalkanmu. Apapun yang terjadi. Aku akan selalu mencintaimu, Sayangku. Jadi berhentilah menangis karena air matamu melukaiku begitu dalam dan itu menyakitkan untukku..
Emi mengangguk meski ia masih terisak, mencoba berhenti menangis tapi rasa kehilangan yang begitu besar membuat sulit sekali untuk tidak menangis.
Karena jujur saja.. Kehilangan bayi mereka menghancurkan jiwa Emi hingga ke dasar yang paling dalam.
Padahal mereka bahagia. Kenapa Tuhan merenggut kebahagiaan mereka dengan kejamnya?