Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 33
Awalnya hanya senyap. Lalu suara laki-laki berat dan dingin terdengar di seberang sana.
“Kau pikir bisa hidup tenang bersama Zean? Nikmati saja malam-malam terakhirmu itu, Nara. Kami selalu mengawasimu.”
Seketika telepon terputus. Nara menutup mulutnya, tubuhnya bergetar hebat.
Zean yang sejak tadi memperhatikan segera bangkit. “Ada apa?” tanyanya cepat.
Nara tak mampu menjawab, hanya menyerahkan ponsel dengan wajah pucat. Zean menatap layar, mendengus pelan. “Nomor tidak dikenal…” gumamnya, namun sorot matanya berubah dingin.
Belum sempat ia berkata lagi, ponsel Nara kembali bergetar. Kali ini bukan panggilan lagi, melainkan pesan masuk. Dengan jantung berdebar ia membuka.
“Kami bisa lebih dari ini. Kau tidak akan lama, Nara.”
Wajahnya semakin pucat. Tangan yang memegang ponsel nyaris tak bertenaga hingga jatuh ke selimut.
Tanpa sadar, ia meraih lengan Zean, mencari pegangan. Pria itu menunduk sekilas, melihat ketakutan nyata di wajah istrinya. Untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang menusuk hatinya.
“Nara…” suaranya rendah, namun kali ini tidak sedingin biasanya. “Tenanglah. Selama aku ada di sini, mereka tidak akan menyentuhmu.”
Nara menatap Zean, ada rasa yang mengatakan jika dirinya ragu, seolah tak percaya sepenuhnya pada perkataan Zean. Tapi genggaman tangan Zean terasa hangat dan kuat, yang membuatnya sedikit mampu bernapas.
Sementara itu, di apartemennya, Lusi duduk anggun di sofa, menerima laporan dari anak buahnya.
“Dia ketakutan, Nyonya. Suaranya gemetar saat mendengar ancaman saya,” suara pria itu terdengar di seberang telepon.
Lusi tersenyum puas, bibirnya melengkung penuh kemenangan. “Bagus. Biarkan begitu. Biarkan perempuan itu menggigil setiap malam. Aku ingin dia merasakan neraka sebelum benar-benar dikubur.”
“Apakah kita bergerak sekarang?”
“Tidak,” jawab Lusi cepat, matanya berkilat. “Biar Zean merasa bisa menjaganya. Saat mereka mulai percaya keadaan aman, saat itulah kita buat dia hancur. Aku ingin waktu itu menjadi akhir bagi Nara.”
Tawa dinginnya menggema, penuh kebencian yang tak terbendung.
Malam itu, di kamar, Nara masih berusaha memejamkan mata dengan tubuh lelah. Tapi kali ini ia tertidur dengan kepala bersandar di bahu Zean tanpa ia sadari. Dan Zean, meskipun matanya tetap terbuka menatap langit-langit, ia tidak memindahkan Nara.
Di hatinya, ada sesuatu yang mulai berubah. Bukan cinta, melainkan rasa khawatirnya pada Nara.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, menerpa wajah Nara yang masih terlelap. Gadis itu baru terbangun ketika merasakan hangat di lengannya. Ia sedikit bergerak, menyadari bahwa sepanjang malam ternyata ia tertidur dengan kepala bersandar pada bahu Zean.
Sekejap, pipinya terasa panas. Ia buru-buru menegakkan tubuh, menyapu rambut berantakan yang menutupi wajah. Sementara Zean, yang duduk bersandar di ranjang dengan mata terpejam, membuka kelopak matanya perlahan.
Tatapan mereka bertemu sesaat. hening, penuh canggung.
“Maaf…” Nara buru-buru berkata, merasa salah karena tanpa sadar bersandar pada pria itu.
Zean tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sorot matanya sulit ditebak. Baru setelah beberapa detik, ia bergumam pelan, “Kau tidak perlu minta maaf.”
Nada suaranya tidak sedingin biasanya. Itu membuat Nara semakin bingung, seakan ia melihat sisi lain dari suaminya itu.
Hari itu berjalan seperti biasa. Namun, baik Nara maupun Zean tahu, ada sesuatu yang menggantung di antara mereka. Teror semalam masih segar di ingatan. Nomor tak dikenal itu, pesan ancaman singkat, semuanya masih membuat Nara merinding jika teringat.
Sore harinya ketika baru saja nara tiba dirumah saat pulang dari butik ia menerima sebuah paket datang melalui kurir resmi. Petugas keamanan rumah yang menerima terlebih dahulu, lalu menyerahkannya ke Melisa.
“Untuk Nyonya muda,” katanya sopan.
Nara menatap bingkisan itu dengan dahi berkerut. Ia yakin benar tidak pernah memesan apa pun. Rasa ragu langsung menyelusup, membuatnya menelan ludah perlahan.
Dengan hati-hati, ia membawa kotak berlapis kertas cokelat itu ke ruang tamu. Jemarinya gemetar kecil saat mulai merobek pita pengikatnya.
Saat itu, Zean baru saja pulang. Ia menghentikan langkahnya begitu melihat Nara duduk di sofa dengan sebuah paket misterius di pangkuannya. Sorot matanya langsung berubah tajam.
“Apa itu?” tanyanya singkat, suaranya berat.
“Entahlah…” Nara berbisik, matanya tetap tertuju pada kotak itu.
Melisa yang kebetulan ikut menyaksikan dari dekat, menatap penuh kecemasan. “Sayang, hati-hati… siapa tahu bukan barang baik.”
Ketegangan terasa kental. Ruang tamu yang biasanya hangat kini seolah dipenuhi hawa asing.
Dengan napas tertahan, Nara akhirnya membuka lapisan terakhir kertas cokelat itu. Semua mata tertuju pada kotak yang perlahan terbuka, sebuah momen yang terasa begitu panjang, seakan waktu ikut melambat.
Begitu terbuka, napas Nara tercekat. Di dalamnya hanya ada satu kotak kecil hitam, dan ketika ia buka…