NovelToon NovelToon
MONOLOG

MONOLOG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:493
Nilai: 5
Nama Author: Ann Rhea

Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.

Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.

Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rindu Dalam Hati

"Lyly, kamu yakin kuat? Maksud saya... kamu gak akan kelelahan kalau tetap bekerja?" tanya Romeo dengan nada ragu. Ada kekhawatiran tulus di suaranya, takut jika sesuatu terjadi pada Lyodra dan janinnya.

Lyodra menoleh, bibirnya melengkung tipis. "Gak apa-apa, Pak. Aku bisa kok," jawabnya pelan namun mantap.

Meski begitu, di dalam hati, Lyodra kadang masih menaruh jarak. Perhatian Romeo sering ia salah artikan, teringat masa lalunya yang pernah menjadi berandalan sekolah. Sulit baginya menerima bahwa pria yang dulu kasar kini berubah jadi tegas namun lembut tutur kata. Kadang, ia bertanya-tanya, apakah ini benar-benar perubahan? Atau hanya sekadar pencitraan?

Namun, nyatanya Romeo telah berusaha menjadi pribadi yang berbeda. Ia ingin menebus masa lalunya, tak mau lagi dicap buruk. Meski kesalahan kecil masih ada, setidaknya ia meninggalkan dunia balap liar dan tawuran yang dulu begitu melekat padanya.

Bagi Lyodra, batas tetaplah batas. Hubungan mereka sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih, tidak kurang. Ia tak mau memberi celah pada gosip atau kesalahpahaman.

Tiba-tiba, Lyodra tertegun. Ada gerakan lembut di perutnya, meskipun kecil, hampir tak terasa, tapi nyata. Ia spontan menunduk, tangannya menyentuh perutnya, senyum terbit tanpa bisa ia tahan.

"Ada apa, Ly?" tanya Romeo, melihat perubahan ekspresinya.

Lyodra menggeleng pelan, matanya berbinar. "Bukan apa-apa, Pak. Ini... bayi aku nendang," ucapnya lirih, seolah berbagi momen paling indah dalam hidupnya.

Romeo terdiam sejenak, lalu ikut tersenyum. Ada rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan. "Baguslah... itu tanda dia sehat."

"Terima kasih, Pak," balas Lyodra, kembali fokus pada pekerjaannya. Kini langkahnya lebih ringan, seakan semangatnya diperbarui oleh kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.

Ponselnya bergetar di meja. Layarnya menyala, menampilkan wallpaper foto dirinya bersama Kenziro. Senyum Lyodra melembut.

Mama Berlin: Cantik, mau dimasakin apa sama Mama?

Jemarinya cepat membalas.

Lyodra: Aku lagi pengen tumis kangkung pakai saus tiram, Ma. Enak gak ya?

Mama Berlin: Oke sayang, ditunggu ya.

Lyodra menutup layar ponselnya, senyum itu masih bertahan. Untuk pertama kalinya setelah kehilangan Ken, ia merasa... tidak benar-benar sendiri.

Sejak saat itu, Lyodra mulai merasakan cinta yang tak pernah habis di hidupnya. Cinta yang hadir dalam bentuk lain, yaitu dari bayi yang ia kandung, dari orang-orang yang masih peduli padanya. Namun, hatinya tetap tak bisa sepenuhnya menerima. Ia masih menolak kenyataan, masih berharap Kenziro pulang, meski di lubuk hatinya ia tahu kemungkinan itu nyaris tak ada.

Hari ini, genap seratus hari ia hidup tanpa Kenziro. Seratus hari tanpa pelukannya, tanpa suaranya, tanpa tawa yang dulu memenuhi hari-harinya. Namun, cinta itu... masih bertahta di hatinya, tak tergantikan oleh siapa pun.

Sore ini, sepulang kerja, Lyodra berencana ke jembatan yang dulu sering mereka lewati bersama. Bukan untuk apa-apa, hanya ingin berdiri di sana, menatap air yang kini begitu tenang, berlawanan dengan hatinya yang masih bergejolak. Pencarian resmi telah dihentikan, tapi ia tetap menggantungkan doa di setiap malam.

Di depan kantor, ia berdiri menunggu jemputan. Sebuah mobil hitam berhenti di sampingnya, kaca jendelanya turun.

"Nunggu siapa, Ly?" suara Romeo terdengar ramah.

"Nunggu jemputan," jawabnya singkat.

Romeo mengangguk. "Oh, ya sudah. Saya duluan, ya. Atau mau bareng? Sekalian lewat."

Lyodra menggeleng pelan. "Tidak perlu, terima kasih."

Romeo tak memaksa. Ia hanya tersenyum tipis, lalu menutup kaca dan pergi. Tak lama kemudian, mobil jemputan Lyodra datang.

Di jembatan, Lyodra turun. Angin sore menyapa lembut, membawa aroma air sungai yang sunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melemparkan setangkai bunga ke permukaan air yang bergelombang kecil.

"Ken..." suaranya bergetar. "Dimanapun kamu berada... aku masih sayang sama kamu. Aku masih nunggu kamu pulang. Tapi kalau kamu memang sudah gak ada... selamanya kamu tetap hidup di hati aku, sayang."

Ia menelan air mata yang menggenang, namun suara hatinya tetap ia bisikkan pada langit.

"Tapi, apa kamu tahu? Kamu mau jadi papa." Ia tersenyum lirih, menyentuh perutnya. "Iya, Ken... aku hamil anak kamu. Tapi sayangnya... kamu pergi sebelum sempat melihat dia."

Tatapannya menembus cakrawala yang mulai berwarna jingga. "Sampai ketemu di titik terbaik menurut takdir, ya. Aku belajar ikhlas. Semoga kamu juga tenang di sana."

Sopirnya kemudian menghampiri, membukakan pintu, dan mengantarkannya pulang. Di rumah Berlin, sambutan hangat menyelimutinya. Bahunya dipijat lembut, dibuatkan makanan manis dan minuman hangat. Semua perhatian itu... seolah menambal sedikit demi sedikit lubang besar di hatinya.

Malamnya, Lyodra masuk ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, memandang barang-barang milik Kenziro yang masih tersimpan rapi. Setiap benda terasa seperti potongan jiwa pria itu yang tertinggal untuknya.

"Aku gak akan putus asa, Ken," bisiknya pada keheningan. "Aku akan kuat demi anak kita. Demi kamu tetap hidup di dunia ini... lewat versi lain dari kita."

Senyum tulus terbit di wajahnya. "Kalau dia cowok, aku kasih nama Raken Issa Alderick... nama gabungan kita. Kalau cewek... Aurora. Aurora Zyolin Alderick. Anak yang akan lahir dari cinta kita, Ken."

Ia menutup mata, membiarkan air mata bahagia dan rindu mengalir bersamaan. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan, Lyodra merasa meski Kenziro tak lagi di sisinya ia tidak benar-benar kehilangan segalanya.

--✿✿✿--

"Masalalu lo emang kenapa sih? Kayaknya sensi amat tiap dibahas," tanya Rania sambil membuka bungkus camilan, mengunyah santai.

Romeo hanya terdiam, duduk bersandar dengan wajah gusar. Ia mengusap wajahnya, lalu menatap langit-langit. "Gue capek, Ran. Udahlah, mending pijitin bahu gue sini."

Tanpa banyak bicara, Rania pun bergerak mendekat dan mulai memijat bahunya. Tapi bukannya rileks, Romeo malah meringis keras.

"AUU! Sakit, Rania! Mau lo patahin bahu gue, hah?!" serunya, spontan berdiri sambil memutar bahu yang terasa perih.

Rania malah tertawa terbahak-bahak. "Cengeng amat, baru segitu aja!"

Romeo mendengus kesal, lalu beranjak ke kamar mandi. Begitu shower menyala dan tubuhnya terkena air hangat, ia mulai sedikit tenang. Hingga tiba-tiba....

BRAK!

Pintu kamar mandinya terbuka lebar. Romeo langsung tersentak. "RANIA! APA-APAAN LO?!"

Rania berdiri di ambang pintu, menaik-turunkan alisnya jahil. "Haha." Lalu ia kabur begitu saja, meninggalkan pintu terbuka.

"Ini orang beneran masih gila atau udah sembuh sih?!" gerutu Romeo, cepat-cepat menyelesaikan mandinya.

Tak lama kemudian, ia keluar dengan rambut basah, menggosoknya dengan handuk. Tanpa basa-basi, ia langsung mencubit telinga Rania yang tengah duduk santai menonton drama.

"Aduh! Sakit bego!" protes Rania.

"Ngapain lo dobrak pintu pas gue mandi, hah?"

Rania hanya tersenyum jail, seolah puas dengan ulahnya. Sebenarnya, ini caranya mengusir bosan. Awalnya ia kira bakal suntuk dikurung di rumah. Tapi nyatanya? Ia malah betah, gak harus ketemu orang, gak harus merasa ada di mata dunia. Cukup duduk, ngemil, tidur, main game, dan sesekali… mengganggu Romeo. Dalam diam, itu jadi satu-satunya hiburan yang bikin hari-harinya terasa hidup.

"Maybe… cinta?" Romeo akhirnya membuka suara, menatap Rania lurus-lurus. Ada kosong di matanya yang berusaha ia tutupi, tapi terselip kerinduan seolah dunia di dalam dirinya sudah lama sunyi dan ia butuh sesuatu untuk membuatnya berdetak lagi.

Rania terdiam sebentar, lalu meledak tertawa. "Cinta? Masih percaya cinta? Buat apa, Rom?" Ia menggeleng tak habis pikir. "Kesepian banget lo sampe mau dicintai? Sama gue, yang notabene setengah gila? Lo ngaco, woi!" Tangannya refleks menoyor kepala Romeo.

Romeo sontak melotot. "Hei! Excuse me! Berani-beraninya lo noyor gue?"

"Gitu dong!" Rania nyengir lebar. "Pake ‘lo–gue’ biar akrab, bukan ‘kamu’ mulu. Gue tau lo itu gimana. Sesekali lah ajakin gue nostalgia zaman lo muda. Jangan murung terus, Rom. Serius mulu tuh capek. Hidup tuh butuh have fun!"

Kata-katanya entah kenapa menembus pertahanan Romeo. Ia mengangkat alis, tersenyum tipis. "Let’s ride with me… in the night?"

"Motoran?" Rania mengulang, matanya berbinar penuh antusias. "Ayo, gas, cabut!" serunya, langsung menarik kaos Romeo sampai pria itu oleng.

Romeo tertawa, kali ini tulus, jarang ia begitu. Ia bersiap, mengambil kunci motor. "Gue yang bawa, lo diem, oke? Gue mau unjuk skill malam ini."

"Siap, Bos!" Rania menyambar helm dan menyerahkannya.

Romeo memasang helm, menaikkan standar motor, dan melirik Rania. Ada sesuatu di tatapan itu seolah malam ini, setidaknya untuk beberapa jam, ia bisa lupa semua beban dunia. "Buruan naik. Gue jago, tau!"

Rania hanya tertawa sambil melompat ke jok belakang. "Kita liat nanti, Rom. Jangan sampe gue kecewa!"

Romeo terdiam. Ia tak yakin dengan dirinya sendiri. Namun saat melihat Rania turun, memasang helm sembarangan sampai rambutnya menutupi mata, ia tak bisa menahan tawa tipis. Wanita ini… ceria, polos dalam caranya sendiri. Hanya saja tersesat arah.

"Naik, coy! Atau mau gue pangku sekalian? Kebanyakan mikir lo!" seru Rania sambil menarik lengannya. Lalu, tanpa malu, ia memeluk Romeo dari samping, mencoba mengangkat tubuh pria itu. Helmnya sendiri sampai geser ke depan. "Duh, berat bener! Jalan kek! Apa sih yang lo pikirin? Hidup dibawa enjoy! Pesaing bisnis lo, si Kev, udah modar. Ayolah, c’mon!"

Romeo akhirnya menyerah, duduk di jok belakang. Tangannya refleks memegang bahu Rania, masih belum sepenuhnya percaya.

Begitu motor dinyalakan, Rania sempat salah oper kopling, membuat motor tersendat. Romeo menghela napas panjang. "Ini beneran aman?"

"Amanlah!" Rania nyengir lebar. Begitu keluar gerbang, seolah berubah total, gas ditarik dalam, motor melesat kencang di jalanan sepi.

"GILA LO!" teriak Romeo, hampir kehilangan keseimbangan.

Rania hanya tertawa keras, suaranya pecah oleh angin malam. "ASIK KAN? GUE JUGA DULU SUKA BALAPAN LIAR, TAU! ZAMAN SEKOLAH, GUE PEMBERANI!"

Romeo diam… tapi di balik teriakannya, ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Sudah lama ia tak merasa hidup seperti ini takut, tapi juga bebas. "Dia kayaknya bisa gue ajak berpetualang di bumi."

1
douwataxx
Seru banget nih cerita, aku gk bisa berhenti baca! 💥
Ann Rhea: makasihh, stay terus yaa
total 1 replies
menhera Chan
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Ann Rhea: wahh selamat menemani waktu luangmu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!