NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wejangan Orang Tua

Tak punya pilihan lain, Riki memutuskan mengunduh salah satu aplikasi pinjaman online untuk mengembalikan semua uang yang telah ia terima dari Yura.

Tak peduli bunganya yang tinggi. Yang terpenting ia bisa membayar cicilan tiap bulannya agar semua kontak teleponnya tidak diteror penagih hutang online.

Tentu saja Nira tak mengetahui itu. Riki benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Syukurlah Riki betah bekerja di showroom mobil.

Riki sudah mengambil hari cutinya selama tiga hari untuk mengantar Arsa ke kampung halaman Nira.

Hari ini, Riki sudah bersiap, menggendong Arsa, dan berpamitan pada Nira. Riki menaiki bus karena membawa anak. Nira mengantarnya sampai terminal.

“Kamu mau nitip apa, Sayang? Nanti aku bawain,” ucap Riki sembari menunggu busnya tiba.

“Kacang mede aja. Yang dipanggang,” jawab Nira, menciumi pipi Arsa.

Perasaan Nira campur aduk. Mulai hari ini, ia tak bisa melihat Arsa secara langsung. Ingin rasanya ikut, tapi Nira harus kembali bekerja besok. Masa cutinya telah habis. Syukurlah Mbak Dewi masih mau menunggui Alvin untuk sementara waktu.

“Setelah aku dari sana, Mbak Dewi baru boleh berhenti kerja. Dia masih bisa menunggu ‘kan?”

Nira mengangguk. Suara penggilan ke semua penumpang bus tujuan kota Nira terdengar. Bus telah tiba dan penumpang diminta segera naik.

Riki dan Nira berdiri. Nira menciumi seluruh wajah Arsa,” Mama pasti akan selalu merindukanmu, Sayang. Yang baik ya sama Kakek dan Nenek.”

Riki tersenyum lembut, mengusap pucuk kepala Nira,” Nanti aku telepon kalau sudah sampai di sana ya.”

Nira mengangguk. Riki melangkah masuk, melambaikan tangan, begitupun Arsa yang tersenyum riang karena melihat mobil besar.

Nira balas melambaikan tangan, menahan air mata, dan tersenyum lirih. Ia masih di sana, memandangi bus yang perlahan mulai meninggalkan terminal. Dan saat bus tak terlihat lagi, air mata Nira jatuh.

Rasanya hampa. Separuh hatinya pergi. Bukan Riki. Melainkan Arsa, putra pertamanya. Dengan langkah gontai, Nira keluar dari terminal.

***

Perjalanan delapan jam penuh akhirnya berakhir. Riki telah tiba di kampung halaman Nira. Tomi menjemputnya di terminal.

“Arsa rewel nggak selama di bus, Rik?” Sinta menyambutnya, tersenyum hangat, mengambil alih Arsa dari gendongan Riki.

“Nggak terlalu kok, Bu. Rewel pas pertengahan perjalanan. Mungkin dia bosan duduk terus. Pas bus berhenti, istirahat, aku ngajak dia keluar. Dia mulai senyum lagi dan tidur. Semuanya aman kok, Bu,” jawab Riki, meletakkan tas besarnya di dekat kursi, lalu duduk di kursi.

“Ya sudah. Kamu istirahat dulu aja. Arsa biar sama Ibu dan Bapak.”

Riki mengangguk. Tubuhnya memang lelah. Ternyata tak mudah membawa anak kecil dalam perjalanan panjang. Riki berdiri, membawa tasnya, dan masuk ke dalam rumah.

Begitu sampai kamar Nira, Riki langsung merebahkan diri. Dalam sekejap saja, ia sudah tertidur.

Suara pintu diketuk membuat Riki mengerjapkan mata. Ia masih sangat mengantuk, tapi ketukan pintu itu tak berhenti. Riki melihat jam tangannya, lalu gegas duduk.

“Jam delapan? Gila. Aku tidur apa pingsan?” gumamnya, berdiri, melangkah ke pintu.

“Maaf ganggu, Rik. Tapi ini sudah malam dan kamu belum makan. Makan dulu gih. Nanti bisa istirahat lagi.” Sinta langsung berkata begitu Riki membuka pintu.

“Eh, iya, Bu,” angguk Riki kikuk.

“Ya sudah sana makan dulu. Kalau telat makan nanti sakit.”

“Iya, Bu. Eum, Arsa mana, Bu?”

“Arsa udah tidur. Biar dia tidur di kamar Ibu. Nggak papa ‘kan?”

Riki menggeleng, tak keberatan. Ia juga masih lelah. Jadi, ia biarkan Arsa tidur di kamar Sinta.

Riki kembali masuk ke dalam kamar, membersihkan diri, lalu keluar. Selesai makan, ia melangkah ke teras dengan membawa secangkir kopi hitam. Di sana, ada Mardi yang tengah duduk santai, menatap gelapnya malam.

“Bapak belum tidur?” Riki duduk di seberang Mardi.

Mardi menggeleng,” Belum ngantuk.”

“Bapak mau kopi juga? Aku bikinkan.”

“Nggak usah. Bapak udah ngopi dari pagi. Terlalu banyak ngopi, Ibumu bisa marah. Katanya Bapak mempercepat kematian kalau kebanyakan ngopi. Bapak sudah tua. Dan banyak lagi omelannya.” Mardi terkekeh.

Riki tersenyum,” Itu artinya Ibu sayang sama Bapak. Nggak mau Bapak sakit. Kalau wanita masih bisa ngomel, berarti ‘kan masih perhatian.”

“Ya tapi, panjang kali Ibumu ngasih ceramah. Bapak batasin ngopi bukan karena Bapak takut pada Ibumu. Bapak cuma capek dengerin ceramahnya.”

Riki mengangguk, mengambil cangkir, dan meneguk kopinya perlahan.

“Nira bagaimana kabarnya?”

Riki menepuk dahinya,” Ya Tuhan. Aku lupa ngabarin dia kalau kami sudah sampai.”

“Tadi udah dikabarin Ibu kok. Ibu bilang kalau kamu kecapekan. Begitu sampai, kamu langsung ketiduran,” ucap Mardi.

Riki mendesah lega,” Syukurlah. Aku beneran lupa tadi, Pak.”

“Nggak papa. Nira pasti mengerti.”

Riki memandang Mardi sejenak, menimbang, lalu akhirnya berkata,” Yang terpenting baginya adalah kabar Arsa, Pak. Bukan kabarku. Kabarku nggak akan penting baginya lagi.”

Mardi menoleh,” Maksudnya?”

Riki menghela napas panjang dan mengembuskannya, berat,” Nira minta cerai, Pak.”

Mardi tersentak.

“Aku nggak bisa buat dia bahagia. Ia lelah bersamaku, Pak. Aku juga nggak cukup baik jadi suaminya. Semua salahku. Aku sadar itu. Tapi, jujur aja, aku nggak bisa menceraikannya. Aku sayang sama dia. Cinta sama dia. Aku nggak mau kita berpisah.”

Mardi menatap Riki dalam,” Bapak tahu. Nira sudah cerita.”

Riki balas menatap Mardi,” Kapan?”

“Pas Bapak dan Ibu ke sana setelah Nira melahirkan.”

Riki menelan ludah,” Jadi, Nira menginginkannya sejak lama?”

Mardi mengangguk,” Riki, Bapak dan Ibu nggak mau ikut campur masalah rumah tangga kalian. Tapi, jika sampai yang namanya kata cerai terucap, itu artinya urusan kalian juga jadi urusan kami sebagai orang tua. Pernikahan nggak hanya menyatukan dua pasangan tapi juga keluarga. Dan kalau sampai bercerai, hubungan kedua keluarga juga ikut kena imbasnya.”

Mardi menatap langit malam,” Kami sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik. Kami tak menyalahkan siapapun karena apapun alasannya, kalian berdua lah yang menjalani, yang tahu apa penyebab hubungan kalian hancur. Bapak nggak bisa meminta Nira untuk mempertahankan ataupun menyetujui keinginannya untuk bercerai. Bapak cuma minta kamu dan dia bicara berdua dalam hati yang baik dan suasana yang dingin, nggak ada emosi. Kalian bicarakan apa yang perlu kalian bicarakan. Jika memang keputusan itu sudah jadi akhir, setidaknya kalian memutuskannya dengan baik-baik.”

Riki menggeleng,” Aku nggak mau menceraikan dia, Pak. Terlepas dari segala perbuatanku yang menyakitinya, aku nggak bisa berpisah dengannya. Aku sangat mencintainya.”

“Kamu sudah bilang itu pada Nira?”

Riki mengangguk.

“Dan apa jawaban Nira?”

“Dia nggak berkata apa-apa. Tapi, sikapnya acuh dan dingin. Dia seperti nggak menganggapku ada.”

Mardi mengangguk,” Semua orang yang menikah berharap hubungan pernikahannya membahagiakan. Nggak ada yang ingin sakit hati setelah nikah. Tapi, dalam menjalaninya, terkadang ada saja ego yang nggak mau mengalah. Merasa dirinya paling berhak menentukan arah, padahal saat menikah, harus keduanya yang saling menentukan arah agar jalan yang mereka tempuh tetap lurus dan satu tujuan. Nggak bisa salah satu saja yang menentukan arah. Kalau salah arah, yang satunya pasti akan menyalahkan. Dan akhirnya pertengkaran terjadi. Lalu jalannya mulai berbeda. Tak lagi sama. Tak lagi satu tujuan.”

“Terus apa yang harus kulakukan, Pak?”

Mardi tersenyum lembut,” Sentuhlah dia dengan kasih sayang. Bukan sentuhan fisik. Melainkan sentuh hatinya. Wanita itu sering berubah suasana hatinya. Itupun jika masih ada cinta untukmu di hatinya.”

Riki mengangguk,” Aku sedang berusaha, Pak.”

“Bagus. Awal kalian menikah memang buruk. Kalian menikah karena terlanjur ada bayi di rahim Nira. Tapi, Bapak berharap, pernikahan kalian langgeng. Masalah pasti ada, Rik. Tapi Bapak percaya kalian pasti bisa menyelesaikannya tanpa perlu berpisah.” Mardi menepuk bahu Riki.

Riki tersenyum,” Terima kasih, Pak.”

Untuk beberapa saat, Mardi memberi wejangan pada Riki. Sebagai seorang pria, tak ada salahnya mengalah. Jangan meninggikan ego. Jangan merasa ingin dihormati jika sikapnya tak bisa dijaga dan hanya bisa menyakiti.

Dua jam mengobrol, Riki pamit. Ia akan menghubungi Nira, jika belum tidur. Mardi mengangguk. Mardi masih duduk di sana. Menatap langit malam dan jalanan kampung yang sepi.

“Masuk, Pak. Sudah malam.”

Sinta datang mendekat, merapatkan jaketnya. Suasana malam ini terasa dingin—sudah memasuki musim kemarau, dimana matahari bersinar terik di siang hari dan angin malam berhembus cukup kencang.

“Sebentar, Bu.”

“Di luar dingin, Pak. Nanti bisa masuk angin.” Sinta memaksa.

Mardi tersenyum, menatap Sinta,” Riki sudah cerita, Bu. Dia bilang Nira sudah mengatakan keinginannya untuk bercerai.”

Sinta menghela napas, mengangguk,” Apa pernikahan mereka benar-benar sudah hancur, Pak? Maksudku, aku nggak pingin Nira jadi seorang janda. Apalagi pernikahan mereka baru mau jalan dua tahun.”

“Masih bisa diperbaiki. Riki akan berusaha mempertahankannya. Tapi, jika Nira tetap pada keputusannya, kita bisa apa. Kita doakan saja yang terbaik.”

Sinta mengangguk,” Sangat disayangkan kalau mereka benar-benar berpisah. Mereka menikah terburu-buru dan sekarang juga buru-buru ingin berpisah.”

Mardi tersenyum lirih,” Pernikahan yang dibangun tanpa pondasi yang kuat memang akan selalu rentan terkena angin. Pondasi mereka jelas salah. Tapi, jika rumah mereka hancur, kita semua juga ikut merasakannya.”

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!