Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian Bayang-Bayang
Al Fariz berjalan menyusuri jalanan kota yang porak-poranda. Di kiri kanannya, bangunan-bangunan runtuh berpadu dengan jeritan warga yang berlarian. Tapi yang paling mengerikan adalah bayangan-bayangan hitam yang merayap di sepanjang dinding, seperti asap hidup yang melahap segala sesuatu yang disentuhnya.
"Dia mendekat," bisik Al Fariz pada dirinya sendiri. Jubah compang-campingnya berpendar lebih terang, seolah memberi semangat.
Tiba-tiba, dari lorong sempit, muncul sekelompok prajurit Garamaya yang ternyata belum semua meninggalkan kota. Dipimpin oleh Kapten Rasheed, mereka menghadang jalan Al Fariz.
"Jangan harap bisa lewat, Sultan!" teriak Rasheed dengan pedang terhunus. "Kami punya perintah khusus untuk menahanmu di sini."
Al Fariz menghela napas. "Kau tidak mengerti, Rasheed. Jika kalian menahanku di sini, Bayang Hitam akan menghancurkan semuanya—termasuk kalian."
"Bohong!" hardik salah satu prajurit. "Kita hanya perlu menunggu sampai—"
Tapi kalimatnya terputus ketika bayangan hitam menyergap dari belakang, melahap prajurit itu dalam sekejap. Hanya jeritan pendek yang terdengar sebelum dia lenyap.
Para prajurit lainnya panik, tetapi Rasheed tetap berdiri tegak. "Ilusi! Ini tipuanmu!"
"Bukan ilusi," suara parau terdengar dari atas atap. Pengemis tua muncul, berdiri di puncak bangunan yang runtuh. "Dan kau, Rasheed, seharusnya lebih pintar. Apa kau pikir nadimu akan diselamatkan setelah membantu membangkitkan kegelapan ini?"
Rasheed terkesiap. "Apa maksudmu?"
"Oh, jangan berpura-pura," kata pengemis tua sambil melompat turun dengan lincah. "Kau tahu persis bahwa Dutamu membuat perjanjian dengan Bayang Hitam. Tapi seperti biasa, kalian dari Garamaya selalu meremehkan betapa rakusnya kekuatan gelap."
Sementara mereka berbicara, Al Fariz memperhatikan sesuatu yang aneh. Bayang-bayang itu tidak menyentuh daerah di sekitar pengemis tua—seolah ada benteng tak terlihat yang melindunginya.
"Kau..." Al Fariz menatap pengemis tua. "Kau bisa mengendalikan mereka?"
"Bukan mengendalikan, Nak. Hanya memahami." Pengemis tua mendekat, matanya berbinar bijaksana. "Dan sekarang, Rasheed, lebih baik kau dan sisa prajuritmu pergi. Aku yakin kau punya keluarga yang menunggumu di Garamaya."
Rasheed tampak ragu, tapi kemudian melihat ke arah tempat rekannya lenyap. "Kami pergi. Tapi ini bukan akhir."
Setelah mereka pergi, Al Fariz menatap pengemis tua. "Mengapa kau membantu mereka pergi? Mereka adalah musuh."
"Karena perang ini bukan melawan Garamaya," jawab pengemis tua. "Mereka hanya pion. Musuh sebenarnya jauh lebih tua dan lebih berbahaya."
Dari ujung jalan, sosok bayangan raksasa mulai terbentuk. Kali ini lebih jelas—seperti manusia dengan mahkota duri dan mata merah menyala.
"Al Fariz!" suaranya menggema, membuat tanah bergetar. "Kau membawa cahaya itu... cahaya yang dulu mengurungku!"
Al Fariz maju beberapa langkah. "Aku di sini untuk mengakhiri ini."
"Bodoh!" hardik Bayang Hitam. "Kau pikir dengan segel yang setengah retak bisa mengalahkanku?"
Tiba-tiba, dari balik puing-puing, Dayang Sari muncul dengan membawa sebuah peti kecil. "Paduka! Aku bawa ini dari ruang pusaka!"
Bayang Hitam menggeram melihat peti itu. "Jangan biarkan dia membukanya!"
Tapi sudah terlambat. Dayang Sari membuka peti, mengeluarkan sebuah kalung dengan batu biru yang bersinar.
"Kalung Pertobatan," bisik pengemis tua. "Terakhir kali dipakai oleh leluhurmu ketika pertama kali mengurung Bayang Hitam."
Al Fariz mengambil kalung itu. "Bagaimana cara kerjanya?"
"Kau harus memakainya dengan rela," jawab pengemis tua. "Tapi hati-hati—setiap dosa dan kesalahanmu akan menjadi beban yang harus kau tanggung."
Bayang Hitam mendekat dengan cepat. "Aku tidak akan membiarkanmu memakainya!"
Tapi pengemis tua mengangkat tangannya, membuat perisai energi yang menahan Bayang Hitam. "Cepat, Al Fariz! Aku tidak bisa menahannya lama!"
Al Fariz memandang kalung itu, lalu menatap Dayang Sari yang wajahnya dipenuhi harapan. "Apa yang harus kulakukan?"
"Pakailah," desak Dayang Sari. "Demi Nurendah."
Tapi ketika Al Fariz hendak memakai kalung itu, Bayang Hitam tiba-tiba tertawa. "Bodoh! Kalian semua tertipu!"
Dari balik bayangannya, muncul sosok lain—Panglima Barok, tapi dengan mata yang sama merahnya.
"Panglima?" Al Fariz terkejut.
"Maaf, Paduka," kata Panglima Barok dengan suara hampa. "Aku telah melayani Bayang Hitam selama bertahun-tahun. Sejak putriku diculik dan dijadikan sandera."
Pengemis tua mengutuk pelan. "Jadi ini sumber kebocoran informasi kita."
"Tepat," sahut Bayang Hitam. "Setiap rencanamu, setiap kelemahanmu—semua ku ketahui berkat pengkhianat ini."
Al Fariz merasa hancur. Panglima Barok adalah orang yang paling ia percaya. "Mengapa?"
"Karena aku manusia, Paduka! Seperti yang kau katakan tadi!" kata Panglima Barok dengan nada getir. "Dan manusia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan orang yang dicintainya."
Situasi berubah rumit. Al Fariz terjebak antara harus melawan Bayang Hitam dan menghadapi pengkhianatan orang kepercayaannya.
"Kau lihat, Al Fariz?" Bayang Hitam mendekat lagi. "Kita tidak begitu berbeda. Sama-sama punya kelemahan. Sama-sama bisa dimanipulasi."
Tapi kemudian Al Fariz tersenyum. "Kau salah. Ada satu perbedaan besar antara kita."
"Apa itu?" geram Bayang Hitam.
"Aku belajar dari kesalahanku. Sedangkan kau terus mengulangi kesalahan yang sama."
Dengan gerakan cepat, Al Fariz melemparkan kalung itu bukan ke Bayang Hitam, tapi ke arah Panglima Barok. "Ini untuk putrimu! Batu biru itu akan membebaskannya dari pengaruh Bayang Hitam!"
Bayang Hitam menjerit marah ketika kalung itu menyentuh Panglima Barok. Cahaya biru menyebar, membersihkan pengaruh gelap dari tubuh sang Panglima.
"Paduka..." Panglima Barok terisak, sadarnya kembali. "Maafkan aku..."
"Tidak waktu untuk maaf," kata Al Fariz. "Sekarang, bantu kami!"
Tapi Bayang Hitam sudah murka. "Cukup! Aku akan menghancurkan kalian semua!"
Dia mengerahkan semua kekuatannya. Bayangan-bayangan hitam berkumpul, membentuk tornado kegelapan yang siap melahap seluruh kota.
Pengemis tua melihat ke arah Al Fariz. "Sekarang, Nak! Semuanya tergantung padamu!"
Al Fariz menatap tornado kegelapan yang mendekat, lalu menatap jubah compang-campingnya yang berpendar-pendar. Ia akhirnya mengerti—kekuatan sejati bukan untuk melawan kegelapan, tapi untuk menerimanya sebagai bagian dari dirinya.
Dengan tangan terbuka, Al Fariz berjalan menuju tornado kegelapan itu. "Aku menerimamu! Sebagai bagian dari diriku, sebagai bagian dari Nurendah!"
Cahaya dari jubahnya meledak, menyinari seluruh kota. Bayang Hitam menjerit, tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Tidak mungkin! Kau seharusnya melawan..."
"Karena itulah kesalahanmu," kata Al Fariz dengan tenang. "Kau selalu mengira semua orang akan melawanmu. Tapi aku memilih untuk memahami."
Kegelapan mulai terserap ke dalam cahaya, bukan sebaliknya. Bayang Hitam perlahan menyusut, terhisap ke dalam jubah compang-camping Al Fariz.
"Tidak! Ini tidak mungkin!" teriaknya sebelum akhirnya lenyap sepenuhnya.
Ketika cahaya mereda, Al Fariz berdiri sendirian di tengah kota. Jubahnya tidak lagi compang-camping—kini berubah menjadi jubah putih bersih dengan pola emas yang indah.
Pengemis tua mendekat, senyum lebar di wajahnya. "Selamat, Al Fariz. Kau tidak hanya mengalahkan Bayang Hitam, tapi menyatukannya dengan cahaya dalam dirimu."
Tapi kemudian dari kejauhan, terdengar suara tepuk tangan. Seorang figur misterius berdiri di atap bangunan, wajahnya tersembunyi dalam bayangan.
"Pertunjukan yang bagus," kata suara itu. "Tapi permainan belum selesai."
Sebelum siapa pun bisa bereaksi, figur itu menghilang, meninggalkan segumpal awan hitam kecil yang terbang ke arah istana.
Al Fariz menatap ke arah istana, perasaan was-was menyergapnya. "Siapa itu?"
Pengemis tua mengerutkan kening. "Aku tidak tahu. Tapi kekuatan yang kurasakan... jauh lebih tua dan lebih berbahaya dari Bayang Hitam."
Panglima Barok mendekat dengan wajah penuh penyesalan. "Paduka, ada sesuatu yang harus kuakui. Selama ini, ada orang lain yang memanipulasi Bayang Hitam. Seseorang dari dalam istana kita sendiri."
Al Fariz menatap istananya yang megah, kini menyadari bahwa ancaman terbesar mungkin bukan datang dari luar, tapi dari dalam—dari orang yang paling tidak ia duga.
"Tampaknya," gumam Al Fariz, "pertempuran kita baru saja dimulai."
Dan di suatu tempat dalam istana, seseorang tersenyum, mengamati semuanya melalui bola kristal. "Bagus, Al Fariz. Lulus ujian pertama. Sekarang mari kita lihat apakah kau bisa bertahan dari ujian yang sebenarnya."
Bab ini ditutup dengan rasa penasaran—siapa dalang sebenarnya di balik semua ini? Dan bisakah Al Fariz mempercayai siapa pun lagi setelah pengkhianatan yang terjadi?