Di malam pertama pernikahannya, Siti mendengar hal yang sangat membuatnya sangat terluka. Bagaimana tidak, jika pernikahan yang baru saja berlangsung merupakan karena taruhan suaminya dan sahabat-sahabatnya.
Hanya gara-gara hal sepele, orang satu kantor belum ada yang pernah melihat wajah Siti. Maka mereka pun mau melihat wajah sebenarnya Siti dibalik cadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Siti sudah menjelaskan kenapa dirinya pulang terlambat. Bukan hanya itu saja, dia mengakui kesalahannya yang telah mengabaikan pesan, telepon dan tidak mengabari Gio kalau dirinya harus kerja lembur. Jujur saja Siti sangat tidak enak hati melihat sikap diam Gio sepanjang perjalanan pulang.
Biasanya Gio selalu rame, menceritakan apa saja kepadanya. Sampai tidak terasa melewati jalanan yang selalu kusut. Malam sepi dan dingin ini semakin mencekam karena Gio yang belum mau bicara.
Gio memarkir sepeda motornya di pinggir jalan, sekalinya pria itu bicara membuat Siti sangat sakit hati atas tuduhan Gio.
"Setidaknya bilang padaku kalau kamu mau sama Teo, aku tidak akan mempersulit hubungan kalian. Aku tahu diri, kok, tidak pantas buat kamu yang baik, pintar dan cerdas."
Ada getaran dalam nada suara Gio saat berbicara, ada rasa kecewa dan sakit juga mengatakan itu tapi kalau itu yang diinginkan Siti. Dia harus menerima dan segera melepasnya. Mumpung hubungan yang ada di antara mereka belum terlalu jauh.
Mata Siti berkaca-kaca, dia diam seribu bahasa. Dia tidak seperti itu, bukan wanita yang mudah berpindah apalagi ada status sebagai seorang istri. Ada trauma yang pernah menakuti jiwanya dalam waktu yang sangat lama. Jadi dia bukan dari orang yang dikatakan Gio.
Hujan turun mengguyur, membasahi kedua insan yang berada di pinggir jalan dengan perasaan yang sama-sama terluka. Air mata Siti menetes kala harus beradu pandang dengan Gio. Mereka sama-sama melukai diri sendiri.
"Ayo, aku antar pulang!."
Mendengar kalimat itu rasa sakitnya semakin bertambah. Tidak merasakan lagi hawa dingin yang sejak tadi menusuk tulangnya. Dengan mata yang basah Siti menepis tangan Gio yang mengenai tangannya. Dia tidak mau pulang sendiri ke mana pun, kecuali bersama Gio.
"Cepatlah naik! Hujannya semakin deras!," teriak Gio sambil mengelap matanya yang kemasukan air hujan.
"Tinggalkan saja aku di sini!, pergilah!." Siti berbalik dan melangkah menjauhi Gio. Walau tidak memiliki tujuan tapi setidaknya dia merasa sedikit lega telah mencurahkan kesedihannya di tengah hujan yang semakin deras mengguyurnya.
Gio menatap punggung Siti yang semakin menjauh, dia pun berlari mengejarnya kemudian meminta maaf dari hatinya yang paling dalam. Siti juga mengucapkan maaf. Mereka berdua pulang berboncengan di bawah guyuran hujan.
Kata maaf yang diucapkan keduanya memang belum menyelesaikan masalah di antara mereka. Belum juga meredakan amarah, kecewa dan sakit yang sama-sama dirasakan. Mereka hanya sedang berusaha memaknai kata maaf itu sendiri untuk hubungan mereka supaya kembali membaik.
Sebuah keputusan cepat diambil oleh Gio, dia tidak pulang ke rumah Ayah melainkan pulang ke ruko. Meski tidak senyaman di kamar Siti tapi bisa dijadikan tempat istirahat oleh mereka. Siti pun tidak protes, termasuk Gio memberikan handuk dan t-shirt.
Siti mengguyur tubuh dinginnya dengan air dingin pula. Karena adanya cuma itu. Dia pun tidak protes, apalagi meminta air hangat untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. T-shirt Gio sudah menutupi tubuhnya tapi tidak semuanya, hanya sampai di atas lutut. Selebihnya terumbar begitu saja tapi tidak masalah karena suaminya ini yang akan melihat dirinya.
Pintu kamar mandi terbuka, pencahayaan ruko menjadi minim. Kemudian Siti berjalan mendekati Gio yang membelakanginya. Pria itu hanya memakai celana panjangnya saja tanpa t-shirt yang ternyata dipakai Siti.
"Kenapa terus membelakangiku?," tanya Siti sambil menerima gelas berisi teh hangat dibuat Gio.
"Aku tahu pasti kamu tidak ingin terlihat olehku, karena pakaian yang aku berikan tidak menutupi seutuhnya tubuhmu."
Tubuh Siti mulai menggigil, kedua tangannya memegangi gelas berisi teh. Ada hawa panas yang masuk ke dalam pori-pori telapak tangannya.
"Berbaliklah, Mas!. Aku mau kamu melihatku," pinta Siti dengan suara berat. Kedua kakinya sudah sangat lemas, tidak sanggup lagi menopang bobot tubuhnya.
Jelas saja permintaan Siti bagaikan angin surga, bagaikan oase di gurun pasir, bagai secercah cahaya dalam kegelapan, itu sudah sangat didambakannya. Dirinya bisa melihat langsung wajah yang tersembunyi di balik cadar.
Keberuntungan itu akhirnya datang juga kepadanya.
Dengan perasaan deg-degan bercampur bahagia, sedikit gugup, panik, perlahan tubuh Gio berbalik menghadap Siti. Bersamaan dengan itu Siti jatuh ambruk tepat di hadapannya sebelum matanya benar-benar melihat wajah Siti untuk pertama kalinya. Untung saja teh hangat dan pecahan gelasnya tidak mengenai Siti.
"Siti!," Gio masih bisa menangkap tubuh Siti dan mereka jatuh bersamaan di atas lantai. Siti pingsan, tubuhnya mengeluarkan hawa yang sangat panas.
Kepanikan melanda Gio karena di ruko tidak ada perlengkapan seperti di rumah untuk mengobati Siti. Tapi tidak mungkin juga membawa Siti yang sudah pingsan, bisa-bisa Ayah salah paham padanya.
Untuk sesaat Gio melupakan keinginannya pada wajah Siti, dia memang sudah melihatnya tapi tidak ada perasaan apapun selain takut wanita itu kenapa-kenapa. Gio menaruh tubuh Siti di atas sofa yang cukup hanya untuk satu orang.
"Sadarlah!, Siti!," sambil menggosok telapak tangan Siti guna menyalurkan hawa panas pada tubuhnya Siti yang terasa dingin.
Raga nyaris hampir sempurna milik istri tidak sanggup mengusir ketakutannya kehilangan Siti. Dia mengabaikan bidadari itu, lebih fokus untuk membuatnya segera sadar.
Sekarang berpindah pada telapak kaki Siti. Sama, secara bergantian Gio menggosok telapak kaki Siti. Tapi Siti belum menujukkan akan sadar dari pingsannya.
Tak ada salah satu pun cara yang berhasil dilakukan Gio untuk membuat Siti sadar dengan cepat. Dia menggunakan cara pamungkasnya, menaruh Siti yang tanpa benang sehelai pun di atas tubuhnya yang tidak memakai apapun.
Gio terdiam untuk sepersekian detik. Merasakan keseluruhan tubuh mereka yang menempel, skin to skin. Gelenyar aneh pada tubuhnya harus diredamnya supaya Siti nyaman berada di atas tubuhnya.
"Kamu tahu, aku sekarang memelukmu, " Gio memeluk Siti sangat erat. Kaki Siti pun ada dalam penguasaan Gio.
"Kamu ingat dengan cicak dan kucing yang sedang bercinta?. Seperti itu posisi kita saat ini walau kita tidak benar-benar menyatu. Cepatlah sadar! Kamu juga harus melihat dan merasakan keintiman kita. Jangan curang seperti ini, aku tersiksa seorang diri."
Gio mulai merasakan pergerakan pada dada Siti, gerakan perlahan ditunjukkan Siti dan mata yang tadi terpejam kini terbuka sudah. Menatap pria yang berada di bawahnya. Mata mereka saling memandang dengan deru napas yang memburu.
Di tengah kesadarannya yang mulai pulih, Siti dapat merasakan di bawah sana ada sebuah tongkat yang terus bergerak tak beraturan.
"Setelah cicak dan kucing kemarin, sekarang kita yang akan bercinta?." Tanya Siti menaruh tangan di dadanya Gio.
Gio tersenyum geli, ucapannya kemarin malam adalah doa yang terkabul di malam ini. Walau belum sampai memasuki goa Siti. Tapi hampir mendekati dan dia sudah merasakan kelicinannya.
"Kalau kamu mau."
Siti hamil anak Gio
saat kejadian malam kelam yg lalu,AQ yakin bahwa yg tidur dgn Teo bukanlah Siti melainkan Asih
tetap semangat berkarya kak 💪💪🙏🙏
semoga asih n teo dpt karma yg lebih kejam dari perbuatan nya pada siti