Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Daisy bangun dengan kepala berat. Berputar-putar seperti habis menaiki permainan ontang-anting yang ada di wahana hiburan Dufan.
Lima menit lagi.
Daisy memejamkan mata dan coba tidur sebentar lagi. Yang ada malah kepalanya tambah pusing. Ia beranjak bangun untuk mencari kotak obat.
Tangan Daisy meraih gagang pintu kamar. Tangannya bahkan sudah seperti jelly. Ia melangkah keluar, sementara sebelah tangannya berpegangan pada dinding. Kepalanya seperti hendak copot. Seluruh ruangan terasa seperti dijungkir-balikkan. Sekarang kakinya yang berubah jadi jelly. Tak kuat berdiri. Sejurus kemudian ia terjatuh dan tak sadarkan diri.
*
Tahu-tahu, Daisy terbangun di sebuah ruangan serbaputih. Hanya ada seorang dokter perempuan yang sedang memeriksa selang infus. Hidungnya mengendus bau familier dari ruangan ini.
"Rumah sakit ya, ini?"
Dokter perempuan itu tersenyum melihat pasiennya sadar. "Kamu tahu kenapa bisa berada di sini?"
Daisy menggeleng.
"Kecapekan."
Daisy tak paham. Ia beranjak bangun untuk mencari ponselnya. Namun, dokter itu menahan tubuhnya agar tetap berada di tempat. Sekilas mata Daisy menangkap label nama dokter itu dan membaca: Ajeng Ratnasari.
"Sehari berapa jam tidurmu?"
"Hmm." Daisy mengingat-ingat. "Tiga atau empat jam. Kayaknya kurang."
Dokter Ajeng mengamati Daisy yang di matanya seperti anak kecil yang membandel. "Pekerjaan memang penting. Tapi kesehatan jauh lebih penting. Usahakan tidur yang cukup. Banyakin minum air putih. Dan, ini yang penting. Atur pola makan."
Daisy nyengir malu. Jelas ia tak bisa membantah apa yang dikatakan oleh dokter, karena memang benar adanya. Oh, haruskah ia memilih salah satu dari pekerjaannya? Illustrator di Enbuk atau webtun?
"Istirahat dan jangan mikirin pekerjaan dulu."
"Mana bisa, Dok. Deadline numpuk," rengek Daisy.
"Jangan bandel," tegur Dokter Ajeng lembut. "Aku dokter yang menanganimu, jadi dengarkan aku. Itu pun kalau kamu ingin cepat keluar dari sini."
"Dok..."
Dokter Ajeng tersenyum jenaka sembari mengedikkan sebelah bahu.
Pintu kamar rawat Daisy terbuka, tahu-tahu ujung bibir Daisy menyungging senyum tipis.
Dokter Ajeng lantas pamitan dan mengesiap kaget saat berbalik ke belakang. Tubuhnya memaku di tempat seketika melihat seseorang yang telah lama tak ditemuinya, kini berdiri hadir di depannya. Jantungnya nyaris meledak.
Begitu pula dengan Singgih yang tak pernah menyangka bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya. Akhirnya ia menemukan orang yang dicarinya setelah sekian lama.
Dengan langkah kaku, tergesa, Ajeng pergi dari ruangan itu. Ia mempercepat langkah menuju ke tangga darurat untuk menghindar. Namun, yang ada malah ia yang dikejar Singgih hingga menahan langkahnya. Sebelah tangannya berpegangan pada susuran tangga dengan erat. Seakan dirinya takut jatuh.
"Kamu sudah di Indonesia?"
Ajeng membuang pandang. Tak ingin bertatap muka dengan Singgih. Tangannya yang berpegangan di susuran tangga merambat gemetar.
"Kamu benar-benar jadi dokter. Seperti yang kamu cita-citakan dulu."
"Oo―aku masih ada pasien."
Ajeng jalan melewati Singgih, tapi siku lengannya ditahan Singgih. Ia tak dapat menutupi ketegangan di dalam dirinya.
"Aku minta nomor hapemu."
"No―nomor hapeku? Hapeku... ketinggalan. Nomornya... juga lupa."
Singgih tak percaya saat melihat salah satu kantong jubah putih Ajeng tampak menggelembung. Dalam sekali gerakan cepat ia merogoh kantongan jubah itu, yang tentunya membuat Ajeng mengesiap kaget. Singgih berhasil menemukan ponsel milik Ajeng.
"Dua belas tahun lalu kamu berbohong di pengadilan." Singgih menekan nomor ponselnya ke ponsel Ajeng.
Ajeng meneguk air liur kaku.
"―dan sekarang pun kamu masih tetap berbohong." Singgih menyerahkan ponsel Ajeng. Matanya menatap dingin kawan lamanya.
Tubuh Ajeng benar-benar tidak bisa digerakkan.
*
Daisy melepas punggung Singgih yang beranjak keluar dari ruangan. Dokter itu tak hanya memiliki nama yang sama dengan mantan pacar Singgih; jelas Singgih mengenali dokter itu; bahkan mengejarnya keluar.
Tangan Daisy yang bebas dari selang infus menumpu di kedua mata. Napasnya berembus lelah bercampur putus asa.
Tanpa sadar ia malah membandingkan Sofie dengan Ajeng. Sofie bisa masuk dunia hiburan dikarenakan wajahnya yang komersial. Nah, Ajeng pun juga bisa tampil menjadi salah satu dokter di program Doctor Oz. Cantik dan tentunya disukai.
Daisy lalu beranjak duduk dengan bersandar di punggung brankar. Kenapa ia harus menyukai... jika pada akhirnya lelaki yang disukainya tak pernah membalas cintanya. Kenapa ia harus jatuh cinta pada lelaki yang masih memiliki cinta yang lain?
Ia tahu... ia bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Dan, saat ia jatuh cinta, ia rela membagi seluruh dunianya hanya untuk orang yang dicintainya.
Pintu kamarnya terbuka. Singgih kembali setelah temu kangen dengan sang mantan pacar.
"Dia yang namanya Ajeng?" kalimat tanya itu langsung meluncur dari mulut Daisy.
Singgih mendekati brankar Daisy. Mengamati lekat Daisy yang sinis tanpa sebab padanya.
"Udah tuker-tukeran nomor telepon? Mau reunian di mana? Bakalan nostalgia nih."
Singgih mengambil duduk di bangku kecil samping brankar. "Aku belum menghubungi orang tuamu."
"Nggak usah. Nanti mereka khawatir. Terus aku dipaksa pulang ke rumah. Disuruh ambil liburan. Dan, parahnya mereka akan menyuruhku berhenti dari pekerjaanku. Hmm, tapi aku masih bisa menggambar. Oke. Sudah kuputuskan. Aku akan memilih salah satu." Daisy bertekad bulat dengan pilihannya.
Singgih masih mengamati Daisy lekat. Beberapa saat lalu ia terkejut sampai kehilangan seluruh kata-kata dalam bahasa Indonesia ketika bertemu Ajeng. Namun, hanya mendengar kecerewetan Daisy mampu menggetarkan ujung bibirnya. Artinya gadis itu telah normal. Normal dalam artian yang bagus, tentunya.
"Baguslah kalau sudah punya keputusan." Singgih turut senang.
"Aku memikirkannya sepanjang malam." Daisy sengaja mendramatisasi keputusannya.
Daisy melihat ulasan senyum di wajah Singgih yang seakan menyiratkan lelaki itu sedang senang. Sesenang itukah bertemu kembali dengan... dokter itu?
"Gimana tadi ketemu dokter Ajeng?"
Perlahan ulasan senyum di wajah Singgih memudar. Ia mengabaikan tanya Daisy yang ingin tahu tentang pertemuannya dengan Ajeng. Bertemu dengan kawan lama tentunya sangat senang, sayangnya ia tidak berada dalam situasi itu.
"Cantik. Yaa, wajar aja sih kamu ngerebut dia."
"Aku nggak pernah ngerebut siapa pun."
"Nggak ada asap kalau nggak ada api."
Anggukan kecil Singgih membenarkan ucapan Daisy. "Ajeng... dia primadonanya saat itu. Banyak cowok yang mengejarnya, tapi nggak ada satu pun yang diterimanya."
Daisy tetap menyimak meski dengan mulut membeo lirih. "Aku juga primadona... di keluargaku."
Ujung bibir Singgih kembali mengulas senyum tipis mendengar sang tuan putri membeo lucu. Ia kemudian melanjutkan, "Karena dia terus-terusan menolak cowok yang nembak dia, akhirnya dia dicap sombong. Suatu hari dia minta tolong agar aku membantunya. Berpura-pura jadi pacarnya."
"Kenapa harus Mas Singgih?" sewot Daisy. "Bisa aja akal-akalannya!"
"Aku juga pernah tanya, kenapa harus aku? Kenapa nggak Rolan yang saat itu menyukai Ajeng? Ajeng malah bilang, kalau aku nggak seharusnya berteman sama Rolan."
"Kenapa?" Daisy menegakkan posisi duduknya. Matanya memancar penasaran.
"Saat itu aku nggak tahu maksudnya. Dan, sekarang aku tahu maksudnya."
"Pernah menyesal... sesuatu yang nggak seharusnya Mas Singgih lakukan? Misalnya."
"Setiap orang pasti memiliki penyesalan. Tapi penyesalan nggak akan membawa kita kembali ke masa lalu."
"Masa lalu?" Daisy membeo lirih. "Tentang kasusnya Mas Singgih?"
Singgih hanya mengangguk membenarkan.
"Berharap seandainya Mas Singgih nggak berada di lokasi kejadian?"
"Walaupun terulang kembali, aku akan tetap berada di sana."
"Mau jatuh ke lubang yang sama lagi?"
"Karena aku memang harus berada di sana."
Melihat Singgih yang bersikukuh, Daisy seperti biasanya menyimpulkan sepihak. "Ada yang Mas Singgih lindungi... saat itu?"
Diamnya Singgih seakan menjawab pertanyaan Daisy.
"Aku nggak tahu siapa yang Mas Singgih lindungi. Tapi aku berharap Mas Singgih melindungi orang yang memang pantas Mas Singgih lindungi."
"Aku nggak pernah menyesal melindunginya. Tapi mungkin setelahnya aku menyesal." Singgih diam sejenak, "―kenapa dia harus berbohong?
"Siapa dia?" Daisy melotot menantang. "Berani-beraninya bikin orangku menderita begini. Katakan padaku. Siapa dan tinggal di mana dia sekarang? Kita harus bikin perhitungan. Dia harus merasakan penderitaan Mas Singgih selama dua belas tahun ini. Ingat, karma itu berlaku!"
Singgih tersenyum mendengar celotehan yang justru di telinganya terdengar seperti sebuah dukungan untuknya. Bahkan jantungnya mendegup kencang hanya karena melihat wajah Daisy Cattleya. Ia tak ingin menampik bahwa ia telah jatuh hati pada sang tuan putri.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨