Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 33
Chapter 33
Masa kini
POV – Kairav Arumbay
Aku tahu ini waktu yang tidak tepat untuk memberitahu hal ini. Tapi ini lebih baik dilakukan sekarang. Karena kalau Islana sampai dan melihat Ibu dan adik tirinya, ini akan menjadi drama.
“Kenapa kamu melakukan ini?” suaranya tidak mempercayai apa yang baru aku katakan.
Aku tahu bagaimana sejarah keluarganya. Betapa menyakitkannya ketika Ibunya pergi meninggalkan mereka. Islana dan adiknya Tiyana adalah orang yang paling ‘sakit’ hati dalam pernikahan Ibunya yang kedua.
Aku tidak bisa memberikan apapun padanya saat itu. Dia masih terlalu muda dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. “Apa kamu mau mendengar alasanku?”
Matanya tidak sanggup melihatku. Memilih untuk menatap ke bawah. Aku mengangkat wajahnya. “Tolong liat aku sayang.”
Butuh waktu lama untuknya melihatku. Tapi aku tetap menunggunya. Islana bagiku seperti sebuah ‘guci’ berusia ratusan tahun. Berharga dan harus di perhatikan serta di jaga baik-baik. Tapi aku tidak pernah melihatnya seperti objek. Dia belahan jiwaku.
Aku bahkan tidak percaya kalau aku akan menemukannya dalam diri seorang Islana.
Islana mengontrol dirinya beberapa saat sebelum berbicara. “Semoga ada alasan tepat kamu bawa mereka.”
“Satu alasan saja sebenarnya. Keberadaan mereka di sana cuman membuat semuanya tambah rumit,” kataku.
“Mereka kembali juga akan membuat semuanya kacau, Kai. Aku nggak mau melihat mereka lagi!”
“Oke, aku tau. Aku nggak memaksa kamu ketemu mereka setelah ini. Tapi Oza bakal buat mereka jadi tawanan kalau kamu nggak menepati apapun kemauan mereka. Yang ujungnya kamu akan terus stress karena walaupun kamu benci Ibu dan adik kamu, tapi kamu nggak tega mereka ‘dibunuh’.”
Islana tidak berani menjawab kalau apa yang aku katakan benar. Dia hanya mengigit bibirnya, kebiasaan saat dia gundah dan bimbang dengan keputusannya sendiri.
Aku menariknya dan membuatnya duduk di pangkuanku. Setidaknya sekarang kita sudah bisa bernapas dengan lega karena sudah berjalan menjauhi Barabay dengan jarak yang aman.
Aku bermain-main dengan rambutnya. Seperti biasa rambutnya tetap begitu cantik meskipun dia sudah melewati kengerian dalam penculikan itu. Tidak ada satupun yang mengurangi kecantikannya. Meskipun wajahnya sangat memperlihatkan kelelahan luar biasa.
“Maaf, istriku. Maaf, karena kamu mengalami ini semua. Entah kenapa semua hal buruk terjadi saat aku nggak ada di samping kamu,” jelasku. “kamu pasti takut di sana, maaf aku nggak bisa lebih cepat datang.”
Islana menggeleng. “Aku nggak nyalahin kamu. Kamu jelas-jelas punya masalah lain.”
“Bukan cuman itu, kami juga di tangkap polisi,” ucapku terkekeh kecil.
Islana menaruh tangannya di dadaku. “Ditangkap? Ada yang berani menangkap kamu?”
Aku ingat wajah para polisi yang ketakutan itu. “Di kilometer tujuh sembilan, kasir di toko pengisian bensin menelepon mereka.”
Islana menahan senyumnya.
Aku menyentuh pinggulnya. “Kamu kayanya seneng aku di tangkap.”
Dia benar-benar merasa ini hal konyol. “Ehm…bisa di bilang ini berita paling mengagetkan hari ini.”
Aku tertawa untuk pertama kalinya dalam dua hari ini. Tawaku menggema dan sepertinya Hamdan tahu ini saatnya untuk menutup pembatas kaca mobil.
Tidak lama pembatas kaca mobil itu di naikkan, aku menarik tubuh Islana dan membawa wajahnya ke hadapanku. Aku menarik napas panjang sambil menghirup aroma khas istriku.
Mataku tertutup. “Kamu bisa-bisanya mandi di sana.”
“Itu karena aku menghindari Oza. Cuman itu satu-satunya waktu aku bisa sendirian.” Dia jelas-jelas malas membicarakan hal itu.
Namun semua itu membuat aku takut untuk bertanya pertanyaan berikutnya. Tapi aku tetap harus menanyakannya. Daripada aku mengetahuinya di kemudian hari. Itu akan lebih buruk.
“Apa dia menyentuh kamu?”
Ketika aku membuka mata, Islana sedang melihatku dengan cemas. “Kenapa?”
“Dia…dia nggak melakukan lebih dari menyentuh tanganku dan…”
“Dan apa?” tanyaku tidak sabaran.
“Aku nggak sengaja duduk di pangkuannya karena kami sedang adu mulut.”
Mendengar itu saja membuat keinginanku kembali dan ‘membunuh’ Oza muncul seketika. “Lalu?”
“Lalu?” tanya Islana.
“Iya, lalu apa dia melakukan sesuatu?”
Islana memandang ke arah kiri dan kanan kami dengan gusar. “Apa aku bisa tanya sesuatu?”
Aku mengangguk.
“Apa semua laki-laki bakal bereaksi sama kalau bersentuhan dengan perempuan? Aku nggak punya pengalaman sama sekali soal ini.” Wajah memerah dan malu saat mengatakannya.
Sialan!!!
Oza keparat!
“Dia tertarik sama kamu,” ucapku singkat sambil berusaha mengontrol nada suaraku. “wanita memang punya efek, entah mereka sadar atau nggak. Tapi aku sangat yakin dia tertarik sama kamu kalau dia punya reaksi seperti itu. Apa itu saat kamu di pangkuan dia?”
Dia mengangguk lagi. Bermain dengan jari-jarinya.
Di situ aku menyadari sesuatu.
Cincin yang tidak seharusnya ada di tangannya.
Seharusnya hanya ada satu cincin di jarinya.
Tapi ini ada dua.
Cincin itu tepat ada di sebelah cincinku!
“Apa ini?!”
Islana yang sadar apa yang aku tanya, langsung membawa tangannya ke belakang.
Dia menggelengkan kepalanya dengan ketakutan luar biasa.
Sekarang gilirian dia yang harus menjelaskan sesuatu.
Apa yang sebenarnya aku tidak tahu??!!