Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdamai
Tak ada satupun dari mereka yang berani membuka suara sesaat setelah kepergian Rumi. Sena dan Camelia terdiam di tempat masing-masing, seperti baru saja diserang badai. Pikiran mereka bergemuruh, penuh dengan perang batin yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Camelia masih tertunduk, jari-jarinya sibuk memilin ujung cardigan nya. Di seberangnya, Sena juga tertunduk. Wajahnya menegang, seakan sedang mengumpulkan keberanian yang entah tersembunyi di mana.
Sebab dalam situasi ini, bukan hanya soal perasaan Sena terhadap Camelia. Ada sosok lain yang ikut hadir di antara mereka, Gray dan juga Malika. Kenangan, rahasia, dan luka lama yang masih menggantung di antara kata-kata yang belum terucap.
“Maaf,” kata Sena akhirnya.
Camelia perlahan mengangkat wajahnya. Wajahnya datar, namun matanya menatap dalam ke arah pria di hadapannya, wajah teduh yang kini menunjukkan keseriusan tanpa topeng apa pun.
“Jujur, Mel... aku nggak tahu kalau mamaku bakal minta kamu jadi calon menantunya. Aku tahu ini terlihat lancang, tapi—”
“Tapi Anda juga menginginkannya, kan, Pak?” sela Camelia. “Ini memang tujuan Anda, bukan?”
Sena tercekat. Kelopak matanya mengedip cepat. Ia seperti ditodong oleh pertanyaan itu. Iya, Mel... tapi tidak secepat ini, batinnya.
“Kenapa Anda tidak datang sendiri dan meminta saya? Kenapa harus ibu Anda yang datang?” lanjut Camelia, suaranya terdengar tegas.
Deg!
Jantung Sena seperti berhenti berdetak. Kata-kata Camelia menamparnya dengan halus tapi dalam.
“Saat malam pertemuan itu... jujur saya terpukul,” lanjut Camelia. “Kenapa Gray harus Anda? Kenapa saya harus jatuh cinta pada sosok yang ternyata Anda, Pak?”
Deg!
Kini bukan hanya jantungnya yang terasa sakit, tapi seluruh tubuh Sena seperti ikut kehilangan daya.
“Mungkin saya terlalu egois. Tapi... apakah salah jika saya juga tertarik pada sikap keras kepala Anda? Pada cara Anda mencoba mendekati saya dengan hal-hal di luar ekspektasi saya?” ucap Camelia, kini matanya mulai berkaca-kaca. “Terlepas dari siapa Gray itu, saya juga mulai memikirkan semuanya tentang Anda. Memang sedikit picik, dan saya sendiri pun tidak tahu kenapa. Dan... kenapa Anda tiba-tiba menghilang? Memang berniat pergi, ya?”
Air mata menetes dari pelupuk mata Camelia. Suaranya bergetar. Hatinya terlalu penuh untuk bisa tetap tenang.
Selama kepergian Sena, atau lebih tepatnya Gray—Camelia terus bertanya pada dirinya sendiri. Tentang apa yang sesungguhnya ia rasakan. Dan ternyata, nama Sena tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
Sialan memang, pikirnya. Tapi ia tak bisa memungkiri, bahwa hatinya luluh oleh usaha laki-laki itu.
Sena, yang sejak tadi hanya diam seperti patung, kini mematung karena pengakuan itu. Ia tertegun, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Jadi, maksud kamu... kamu menerima pinangan Mama?” tanya Sena.
Camelia menunduk sejenak, lalu mengulurkan tangan, mengambil kotak merah muda yang sejak tadi tergeletak di meja. Ia membukanya perlahan. Sebuah kalung dengan liontin berlian kecil tampak berkilau di dalamnya. Tak besar, tapi begitu anggun dan penuh makna.
“Ini, pakaikan,” kata Camelia, menyodorkan kotak itu pada Sena.
“Huh? Mel? Kamu serius?” tanya Sena, bingung dan nyaris tak percaya.
“Pak...” Camelia menatapnya dengan mata berkaca. “Saya bisa saja berubah pikiran. Jadi, Anda mau tidak... saya jadi menantu Tante Rumi?”
Bibir Sena bergetar hebat. Matanya terasa panas. Butiran air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia berdiri perlahan dari duduknya, lalu mendekati Camelia.
Alih-alih langsung mengambil kalung itu, Sena meraih bahu Camelia dan memeluknya erat. Sebuah pelukan yang berisi rasa lega, bahagia, dan tak percaya. “Mel... terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya bergetar menahan isak.
Camelia ikut memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu. Entah kenapa, kegelisahan dan keresahan yang ia rasakan selama hampir seminggu terakhir perlahan menghilang. Ia tahu, dalam pelukan ini ada kejujuran.
Dan ketika ia mendengar suara isakan dari laki-laki yang kini memeluknya, ia tahu pasti, cinta Sena tulus.
Seseorang pernah berkata padanya, jika seorang pria menangis di hadapan wanita yang dicintainya, itu berarti wanita itu sangat berharga baginya.
Semoga pilihanku ini tidak salah, gumam Camelia dalam hati. Perlahan, ia pun membalas pelukan itu, tangannya naik mengusap punggung Sena yang bidang, dan kepalanya bersandar di bahu pria itu.
“Aku mencintaimu, Camelia.” ucap Sena akhirnya, lirih namun begitu dalam.
Camelia tersenyum kecil. Ia memejamkan matanya, membiarkan hatinya memeluk ucapan itu dengan tenang.
Pelukan ini terasa begitu nyaman. Nyaris membuatnya lupa kapan terakhir kali ia dipeluk dengan penuh cinta seperti ini. Tapi, apakah ia munafik?
Bukankah dulu ia merasa jengah pada Sena? Merasa tidak nyaman dengan kejutan-kejutan yang diberikan pria itu?
Namun, mana ada wanita yang tidak luluh jika ada seorang pria yang begitu bersungguh-sungguh memperjuangkan hatinya?
Apalagi jika perjuangan itu bukan main-main. Apalagi jika laki-laki itu bernama Sena, yang diam-diam adalah Gray. Sosok yang dulu membuatnya nyaman tanpa tahu siapa dia.
Dan Sena, sudah membuktikan bahwa cintanya tidak datang karena ada apanya, tapi karena apa adanya. Dan itulah yang akhirnya membuat hati Camelia yang semula beku, perlahan mencair.
Sena akhirnya meregangkan pelukannya. Ia menatap dalam manik hazel Camelia, seakan belum sepenuhnya percaya dengan kenyataan yang sedang ia jalani. Lalu, ia kembali memeluk gadis itu, lebih erat dari sebelumnya.
“Aku nggak mimpi kan, Mel? Sumpah... aku takut ini cuma mimpi,” bisiknya, nyaris gemetar.
“Nggak, Pak. Beneran ini,” jawab Camelia sambil tersenyum tipis.
Sena melepaskan pelukannya sekali lagi. Keningnya berkerut, tapi kini dengan ekspresi manja yang tak biasa terlihat darinya.
“Sayang, Mel... kok ‘Pak’ sih?” ucapnya penuh protes.
“Ck! Apa sih! Ngelunjak!” sungut Camelia, menatapnya dengan ekspresi geli yang ia sembunyikan setengah mati.
“Kok ngelunjak? Ini kan kamu udah nerima pinangan Mama. Jadi kamu calon istriku, dong. Nggak apa-apa kan kalau kita saling panggil ‘sayang’?” kata Sena sambil tersenyum senang.
Sudut bibir Camelia terangkat, ia mendecih pelan. “Terserah.”
Sena terkekeh mendengar jawaban setengah malu-malu itu. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera mengambil kalung dari kotak merah muda tadi, lalu memakaikannya perlahan di leher Camelia. Kalung berlian kecil itu menjadi simbol awal hubungan yang telah lama ia idam-idamkan.
“Gimana, Pak?” tanya Camelia menggoda.
“Sayang, Mel,” potong Sena cepat.
“Ih, apa sih. Nggak mau... panggil Mas aja,” gerutu Camelia dengan wajah merengut.
Sena terkekeh, lalu mengangguk. “Oke. Mas ya, Sayang... Jadi tadi kamu mau ngomong apa? Hm?”
Camelia mendengus kecil. “Mau nanya. Gimana rasanya berhasil dapetin crush yang ditaksir selama dua tahun?”
Sena menghela napas panjang, lalu tersenyum lebar. “Nggak bisa aku deskripsikan, Sayang. Bahkan detik ini rasanya kayak mimpi. Tapi aku nggak mimpi, kan?”
Camelia menggeleng sambil tersenyum.
“Aku bersyukur sama Tuhan. Doa-doaku selama ini akhirnya dijawab. Terima kasih udah menerima aku, menerima pinangan Mama. Mungkin kamu anggap aku nggak gentle, karena Mama yang datang dan ngomong ke kamu. Tapi sungguh, ini diluar kendaliku,” jelas Sena dengan sungguh-sungguh.
“Nggak apa-apa,” jawab Camelia. “Dengan datangnya Tante Rumi, aku malah makin yakin kalau kamu serius. Karena kamu udah libatkan orang tua. Buatku, itu bentuk penghargaan, dan kamu menunjukkan keseriusan. Itu poin utamanya.”
Sena mengangguk. Saat itu juga, rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan dalam perutnya. Ia pikir ia akan mendapat penolakan, namun ternyata kedatangannya justru membuka pintu masa depan.
“Mas, bantu aku untuk memulainya,” ucap Camelia lembut. “Aku cukup lama merasa sendiri dan takut untuk memulai sebuah hubungan. Yakinkan aku kalau hubungan ini akan membawa bahagia.”
“Pasti,” balas Sena, menggenggam tangan Camelia dengan hangat. “Aku janji. Aku akan meyakinkanmu kalau cintaku ini tulus. Aku benar-benar mencintaimu. Hm... lalu, dengan orang tuamu gimana? Apa aku harus nunggu mereka tahu dulu?” tanya Sena, hati-hati.
“Nggak usah. Nanti aku yang ngomong sendiri. Lagipula... mereka pasti setuju,” ujar Camelia yakin. “Karena dari awal, kamu memang tujuan mereka.”
“Hm, kenapa begitu?” tanya Sena penasaran.
“Untuk sekarang, aku belum mau cerita. Kapan-kapan aja, ya.”
Sena mengangguk memahami, lalu tiba-tiba Camelia bersuara lagi, kali ini dengan nada menggoda, “Omong-omong... Gray-ku ke mana, ya?”
“Sayang, aku Gray,” gerutu Sena, mencibir kecil. “Tapi jangan lihat aku sebagai Gray. Lihat aku sebagai Sena.”
Camelia terkekeh mendengarnya. Siapa sangka, Sena yang selama ini terlihat begitu dewasa dan karismatik di depan kelas sebagai dosen, ternyata memiliki sisi clingy yang manja dan hangat.
Akhirnya, cinta menemukan jalannya. Dua hati yang pernah terluka, pernah bersembunyi di balik kedok masing-masing, kini memilih untuk saling menggenggam dan berjalan bersama.
Cinta sejati bukan tentang seberapa lama kamu menunggu, tapi tentang siapa yang kamu temukan di akhir penantian. Dan ketika dua jiwa saling memeluk dalam luka yang sama, itulah awal dari rumah yang sesungguhnya.
......................
Malam itu, Camelia duduk terdiam di depan meja rias. Pandangannya tertuju pada pantulan dirinya di cermin. Kalung berlian mungil yang kini melingkar di lehernya tampak berkilau, menambah kesan anggun di balik tatapan kosong yang mengendap di matanya.
"Aku dan Sena?" gumamnya pelan.
Camelia menarik napas panjang. Entah mengapa, status hubungannya dengan Sena masih membuatnya diliputi kebingungan. Apa aku sedang menutup mata dan hanya mencoba menjalani semuanya? tanyanya dalam hati.
Namun, ia tahu jawabannya. Ia sadar, selain rasa cintanya yang perlahan tumbuh, menerima pinangan Rumi juga berarti satu hal penting, ia bisa keluar dari rumah ini.
Ya, pergi dari rumah adalah salah satu tujuan Camelia menyetujui lamaran itu. Tapi dibalik semua alasan logis yang bisa ia susun, tetap saja alasan terbesarnya adalah Sena. Cintanya pada pria itu, pada sang dosen, lebih besar dari yang ia kira.
Ting!
Suara notifikasi ponsel memecah lamunan. Camelia meraihnya dari atas meja. Sebuah pesan masuk, untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu ini, dari Gray. Atau lebih tepatnya, Sena.
From: Gray - Sayang, lagi apa? Boleh aku telepon?
Camelia tersenyum tipis membaca pesan itu. “Sayang, ya?” gumamnya sambil terkekeh pelan. Rasanya sedikit kikuk, tapi ia membiarkannya. Terserah Sena saja.
Belum sempat ia membalas, panggilan masuk muncul dengan nama yang sama, Gray. Camelia pun menjawab.
“Halo,” ucapnya pelan.
“Halo... kok nggak balas? Sibuk? Apa aku ganggu?” suara Sena terdengar lembut dari seberang.
“Nggak kok, tadi habis skincare-an. Ada apa?” jawab Camelia ringan.
“Kok ‘ada apa’ sih? Bukannya jam segini kita biasanya teleponan? Kamu lupa, ya? Hm, sedihnya aku...” gerutu Sena dengan nada manja.
“Hm... jadi, aku harus anggap kamu Gray, ya?”
“Ah, nggak mau, Sayang. Sekarang kamu anggap aku Sena, dong. Calon suami kamu,” goda Sena dengan suara rendah yang terdengar puas. “Oh iya, Sayang, tadi aku telepon Mama. Aku kasih tahu kalau kamu udah terima lamaran beliau dan Mama tuh, sampai nangis. Bahagia banget katanya. Besok, dia mau ke sana bareng Papa,” lanjut Sena dengan penuh semangat.
Mendengar kabar itu, Camelia diam sejenak. Perasaan haru tiba-tiba menyesaki dadanya. Betapa berbeda hidupnya. Hingga kini, ia belum memberitahu kedua orang tuanya.
Beberapa waktu lalu ia sempat mengirim pesan, namun jawaban yang ia terima dari keduanya senada, masih berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Ironis. Sebuah keluarga, tapi jaraknya lebih dingin dari kutub utara.
“Maaf... bukannya nggak bolehin, tapi aku belum kasih kabar ke Mama Papa. Mereka masih di luar negeri,” ujar Camelia lirih.
“Ah, begitu ya... Nggak apa-apa, Sayang. Jadi, kamu sekarang sendirian?” tanya Sena lembut.
“Iya... bukannya tiap hari juga aku sendiri?”
“Sekarang kamu nggak sendiri lagi. Ada aku. Jangan sedih, ya. Besok aku jemput, kita ke kampus bareng.”
“Nggak! Nggak usah, jangan ngaco,” sergah Camelia cepat.
“Kok ngaco? Ya nggak dong. Kita kan pasangan, Sayang.”
“Mas, jangan cari perkara, ya,” potong Camelia tegas. “Aku nggak mau hubungan ini diketahui mahasiswa Avanya. Maaf, tapi aku mau backstreet... sampai aku lulus.”
“Hah?” Sena terdengar sedikit kecewa. “Terus... pernikahan kita nanti gimana?”
“Nanti kita bahas lagi, Mas. Agaknya terlalu cepat kalau bahas ini sekarang. Toh, kita juga baru sepakat untuk berkomitmen tadi sore, kan?”
"Ya udah, maaf ya, Sayang. Tapi sepulangnya bisa kan ikut aku?"
"Kemana?" timpal Camelia cepat.
"Rahasia. Pokoknya ikut aja, oke?" balas Sena, dengan nada tak memberi ruang untuk penolakan.
Sebenarnya, ada rasa malu yang mengendap di dada Camelia. Seharusnya ini menjadi kabar menggembirakan untuk kedua orang tuanya, tentang Sena, tentang semua perhatian ini. Tapi entah kenapa, ia belum sanggup menceritakan apa pun. Mungkin karena malas menjelaskan, atau mungkin karena ia sendiri belum yakin bagaimana semua ini akan berakhir.
Panggilan telepon itu pun tak lama berakhir. Camelia menghela napas sambil menatap langit-langit kamarnya. Hening. Ia lalu mematikan lampu dan merebahkan tubuhnya perlahan. Besok ada kelas pagi, dan pikirannya sudah cukup penuh untuk hari ini.
......................
*Kilas balik.
Sena menatap layar ponselnya beberapa detik, ragu-ragu sebelum akhirnya menekan nama kontak bertuliskan ‘Mama.’ Suara nada sambung terdengar beberapa kali sebelum sambungan akhirnya terangkat.
“Halo, Sena?” Suara Rumi terdengar hangat dari seberang, membuat hati Sena sedikit menghangat.
“Iya, Ma,” jawabnya, mencoba menahan senyum yang dari tadi mengambang di wajahnya. “Ada yang pengin Sena kabarin langsung ke Mama.”
Suara di seberang menjadi lebih serius. “Ada apa, Nak? Kamu baik-baik aja, kan?”
Sena menarik napas pelan. “Ma… Camelia bilang iya.”
Sesaat, hanya keheningan yang terdengar dari ujung sambungan. Rumi seperti menahan napas, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Iya…?” gumamnya lirih. “Maksud kamu… dia nerima pinangan Mama?”
“Iya, Ma,” jawab Sena, suaranya nyaris terdengar lega. “Camelia siap menerima permintaan Mama. Dia bilang dia percaya, dan… dia bersedia.”
Tiba-tiba, suara isak terdengar dari seberang. Rumi menangis. Bukan tangis sedih, tapi tangis syukur yang tertahan terlalu lama. “Ya Tuhan… Sena… Mama nggak nyangka… Mama kira cuma mimpi, Nak…”
Sena terdiam, membiarkan ibunya meluapkan rasa. Ia tahu betul seberapa besar keinginan ibunya terhadap Camelia. Bukan karena status atau paras, tapi karena kesan baik sejak pertemuan pertama mereka.
“Mama tuh… dari awal liat Camelia, Mama udah ngerasa, dia anak yang nggak banyak neko-neko. Lembut, sopan, dan punya prinsip. Mama berdoa tiap malam, minta supaya kalau emang dia jodoh kamu, Tuhan buka jalannya. Tapi Mama nggak berani maksa dia, karena takut dia punya pilihan lain…” Suara Rumi masih bergetar, sesekali tersendat di tengah tangis yang belum sepenuhnya reda.
Sena mengulas senyum tipis, suaranya tenang, “Justru karena doa Mama, semuanya jadi lebih mudah, Ma. Sena tahu dia belum bicara ke keluarganya. Tapi dia bilang, dia siap melangkah, asal kita jaga baik-baik kepercayaan itu.”
Terdengar suara helaan napas panjang dari Rumi. “Terima kasih, ya Tuhan…” bisiknya penuh haru. “Nak… kamu bahagia, kan?”
“Iya, Ma. Aku bahagia,” jawab Sena mantap.
Di ujung sambungan, isak tangis Rumi masih tersisa, tapi kini disertai tawa kecil yang tulus. Bahagia yang selama ini ia simpan diam-diam, akhirnya dijawab semesta lewat suara anak lelakinya sendiri.