Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan
Sepulang dari kampus, Evan langsung membawa Alya ke tempat kerjanya sesuai rencananya semalam. Hari ini dia ingin mengajak Alya jalan-jalan sepulang kerja nanti. Mengajaknya makan di luar dan membelikan pakaian baru untuknya. Namun sebelum itu, tentu saja Evan harus menyelesaikan semua pekerjaannya.
Dengan dua piring di tangannya, Evan masuk ke ruang kerjanya. Dia membawakan makan siang untuknya dan juga Alya. Pria itu segera mendudukkan diri di samping sang istri. Mata Alya memandangi nasi goreng seafood yang tertata cantik di atas piring.
“Siapa yang buat, mas?’
“Aku, dong. Hari ini istriku sudah berpikir keras, menghadapi ujian. Makanya aku buatkan makanan spesial.”
“Makasih, mas. Pasti rasanya enak.”
“Pasti. Nasi goreng seafood ini masakan andalanku.”
Dengan tak sabar, Alya menyuapkan nasi goreng buatan suaminya. Ternyata benar apa yang dikatakan Evan. Rasa masakan suaminya itu memang lezat. Dia mengacungkan jempolnya, memberi pujian pada sang suami.
“Gimana?”
“Enak mas, beneran.”
“Abisin, ya.”
Evan mengusak puncak kepala istrinya. Dia pun mulai menikmati nasi goreng buatannya. Melihat wajah bahagia Alya, rasanya dia harus sering-sering membuatkan masakan untuk istrinya itu. Terlahir dari rahim ibu yang pintar memasak, ayah yang seorang chef, tentu saja sedikit banyak Evan mewarisi keahlian itu, seperti halnya Fariz dan Karina.
Karina juga pandai memasak. Lidah mertuanya selalu dimanjakan masakan lezat menantunya. Kalau saja Kaisar mengijinkannya membuka usaha sendiri, pasti kakak perempuannya itu akan memiliki restoran yang sama terkenalnya seperti ayah atau kakaknya. Tapi sayang, Kaisar tidak mau istrinya terlalu sibuk bekerja. Dia diperbolehkan membantu Antonio, karena jam kerjanya fleksibel.
“Mas kan bisa masak juga. Kenapa ngga buka resto juga?”
“Passionku bukan di situ. Aku tipikal orang yang senang bekerja di belakang meja. Kamu mau buka usaha sendiri?”
“Mau banget, mas. Tapi nanti aja selesai kuliah.”
“Iya, kuliah aja dulu. Sambil kita kumpulin modal.”
Hanya senyuman yang diberikan oleh Alya. Dia sama sekali tidak menyangka, pria yang menurutnya menyebalkan saat pertama bertemu, ternyata adalah suami yang bertanggung jawab dan selalu berusaha keras untuk membahagiakan istrinya. Hati Alya semakin terpincut melihat sikap manis Evan. Bahkan mungkin benih-benih cinta sudah mulai tumbuh di hatinya.
“Gimana ujiannya tadi?”
“Alhamdulillah lancar, mas. Oh iya, yang ngawas tadi, bang Ge.”
“Masa? Gimana gaya ngawasnya? Duduk diam aja, atau keliling kelas?”
“Keliling kelas. Dia sering berhenti di dekat mejaku. Cuma lihat aja, ngga bantu jawab.”
“Hahaha.. nanti yang lain protes kalau dia bantuin kamu. Tapi kamu bisa kan ngerjainnya?”
“Bisa, mas. Cuma ada tiga soal matematika yang aku nge-blank, ngga bisa jawab sama sekali. Untungnya soal pilihan ganda. Jadi aku jatuhin pulpen aja, huruf yang kena titik puplen, itu yang kupilih jawabannya.”
PLETAK
Sebuah sentilan mendarat di kening Alya. Wanita itu mengelus keningnya, seraya memajukan bibirnya. Menyesal rasanya menceritakan jurus pamungkasnya pada sang suami.
“Udah aku ajarin, masih aja pake cara kaya gitu.”
“Ya kan, aku ngga bisa. Siapa tahu aja pilihanku benar.”
Evan hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia kembali meneruskan makannya. Begitu juga Alya. Dengan wajah masam, dia menghabiskan nasi goreng buatan suaminya. Usai makan, Alya masih dalam mode ngambeknya. Evan yang mengetahui hal tersebut, segera mendekati sang istri.
“Asem banget tuh muka,” goda Evan.
“Jidatku masih sakit,” ketus Alya.
“Mana coba yang sakit?”
Tangan Evan terulur, kemudian mengusap kening yang tadi disentilnya. Dia mendekatkan wajahnya lalu mendaratkan ciuman di kening sang istri. Awalnya Alya masih cemberut, namun lama-lama senyumnya terbit juga. Apalagi Evan mulai jahil dengan menciumi kedua pipi hidung dan juga bibirnya.
“Mas iihh.. modus aja.”
“Lagian itu bibir manyun-manyun gitu. Kan bikin gemes. Kode minta dicium.”
“Udah sana kerja.”
Alya mendorong tubuh Evan agar menjauh darinya. Mau tak mau Evan berdiri, kemudian kembali ke belakang meja kerjanya. Alya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Tangannya mengambil ponsel, lalu memainkan game yang ada di dalamnya. Sementara Evan sudah tenggelam dalam pekerjaannya.
Setelah beberapa saat, Evan tak mendengar suara-suara dari istrinya. Dia mengangkat kepalanya. Nampak Alya sudah tertidur, ponsel di tangannya sudah jatuh ke sofa. Pria itu bangun dari duduknya, lalu menghampiri Alya. Diambilnya ponsel lalu menaruhnya ke atas meja. Kemudian dia membenarkan posisi sang istri. Mengganjal kepala Alya dengan bantal sofa.
☘️☘️☘️
“Al.. bangun sayang.. Alya..”
Evan menepuk-nepuk pelan pipi sang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Dan sudah waktunya untuk pulang. Mendengar suara memanggilnya, perlahan Alya membuka matanya. Evan nampak berjongkok di dekat sofa.
“Mas..”
“Bangun, sayang. Udah jam empat.”
“Aku ketiduran, ya.”
Alya segera bangun dari tidurnya, kemudian duduk sebenar, mencoba mengumpulkan nyawanya. Wanita itu mengusap-ngusap wajahnya, sambil menguap. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul empat lebih lima menit.
“Shalat dulu, sana. Abis itu kita pulang.”
“Iya, mas.”
Alya bangun, lalu menuju kamar mandi yang ada di ruangan tersebut. Ruang kerja Evan memang tidak seluas ruang kerja Fariz. Namun di dalamnya ada satu sofa panjang beserta meja dan kamar mandi. Selesai berwudhu, Alya langsung menggelar sajadah di belakang sofa. Dirinya tidak perlu mukena lagi, gamis, hijab dan kaos kaki yang dikenakannya sudah cukup untuk menutupi auratnya.
“Kita mau kemana sekarang?” tanya Alya selesai shalat.
“Kita jalan-jalan, beli baju, sama makan di luar.”
“Ok..”
Wajah Alya nampak sumringah. Dipikir-pikir ini adalah pertama kalinya dia dan Evan jalan berdua, melakukan hal yang biasa dilakukan pasangan kekasih. Sejak menikah, mereka langsung sibuk dengan pekerjaan.
“Kita kencan ya, mas.”
“Iya, dong. Kan kita belum pernah kencan. Maaf ya, baru sekarang aku ajak kamu kencan.”
“Ngga apa-apa, mas. Lebih baik terlambat dari pada ngga sama sekali.”
“Sudah siap?”
“Ayo, mas.”
Sambil memeluk pinggang istrinya, Evan keluar dari ruangannya. Di depan ruangan bos besar, mereka bertemu dengan Fariz. Pria itu hanya melayangkan senyuman saja melihat sang adik yang sepertinya sudah kepentok cinta Alya. Kini hanya tinggal dirinya yang harus menata hati. Mencari wanita lain untuk mengisi kekosongan hatinya.
Evan memakaikan helm ke kepala sang istri, baru kemudian naik ke atas tunggangannya dan memakai helmnya. Alya segera naik ke belakang Evan, lalu memeluk pinggang suaminya. Tahu sang istri sudah duduk dengan benar, Evan segera menjalankan kendaraannya.
Jalanan di kota Bandung sedikit mengalami kemacetan di sore hari. Apalagi menjelang jam pulang kantor. Setelah beberapa kali terhenti di lampu merah, akhirnya kendaraan roda dua milik Evan memasuki pelataran parkir sebuah mall. Dia terus melajukan kendaraannya memasuki area basement dan berhenti di tempat parkir motor.
Begitu memasuki gedung mall, Evan langsung menggandeng tangan sang istri. Dia mengajak Alya menuju departemen store yang ada di lantai tiga. Hari ini dia ingin membahagiakan sang istri. Uang bonus yang diterimanya dari Fariz karena sudah menyelesaikan SIM di restoran, dipakainya untuk membelikan barang-barang kebutuhan Alya.
“Lihat baju yang itu, kayanya bagus.”
“Harganya mahal, mas. Lihat nih, masa atasan aja tiga ratus ribu.”
“Tapi bagus. Pas buat kamu. Ambil aja.”
“Mas punya uang dari mana?”
“Bang Fariz kasih aku bonus. Aku udah beresin SIM di resto. Ambil aja, aku kerja kan buat kamu.”
“Cari yang lain aja, mas. Yang harganya lebih bersahabat.”
Alya menarik tangan suaminya. Dia tidak ingin membeli pakaian yang terlalu mahal, agar uangnya cukup untuk membeli kebutuhan lain. Kemudian langkahnya terhenti di depan sebuah manekin yang mengenakan tunik. Bahannya adem, warna dan modelnya juga bagus.
“Ini bagus, mas.”
“Iya, bagus. Kamu mau?”
“Boleh, mas. Eh lagi diskon nih, lumayan 30 persen, hihihi..”
“Kamu ternyata modis juga ya.”
“Modis apaan?”
“Modal diskon, hahaha..”
“Eh itu senjata andalan kaum hawa. Aku mau coba ini.”
Tangan Alya terulur mengambil gamis yang tergantung di dekat manekin. Dia mengambil tunik dengan warna hijau sage yang tengah viral, kemudian berjalan menuju kamar pas. Setelah mengenakan tunik yang dipilihnya, Alya meminta Evan masuk.
“Bagus ngga, mas?”
“Bagus, kamu cantik pakai apa aja.”
“Gombal.”
“Gombalin istri sendiri kan halal, Al. Atau kamu lebih senang digombalin mang Maman?”
“Iih.. kenapa mang Maman dibawa-bawa. Udah keluar lagi, mas. Aku mau ganti baju.”
“Aku di sini aja. Lagian aku juga udah lihat kamu polos.”
Wajah Alya langsung memerah mendengar ucapan suaminya. Dia mendorong punggung Evan hingga keluar dari kamar pas. Tak berapa lama kemudian wanita itu keluar. Diambilnya kantong belanjaan, lalu kembali berkeliling mencari pakaian lain.
“Coba kamu ambil beberapa, nyobanya sekalian biar ngga bolak-balik.”
“Mas emang mau beliin aku berapa baju?”
“Kamu maunya berapa?”
“Idih nantangin. Aku beli baju satu stel baju sama gamis. Eh iya mau beli kerudung juga.”
“Ayo.”
Mereka kembali berkeliling. Cukup lama juga Alya memilih pakaian yang akan dibelinya. Selain model dan warna, harga pakaian dan diskon juga menjadi pertimbangan. Akhirnya dia sudah mendapatkan apa yang akan dibelinya. Evan segera mengajak istrinya itu menuju kasir.
“Mas ngga mau beli baju? Kan sebentar lagi mas mulai ngajar.”
“Bajuku udah banyak. Aku tinggal ke rumah, di lemariku masih banyak kemeja yang belum aku pakai.”
“Beneran?”
“Iya. Udah, kamu ngga usah mikirin aku. Dari dulu aku udah kenyang belanja pakaian, sepatu, tas dan yang lain. Sekarang aku cuma mau beliin buat kamu aja.”
“So sweet.”
Dengan gemas Alya mencubit pipi suaminya. Evan menarik tangan Alya dan seolah-olah akan menggigitnya. Dengan cepat wanita itu menarik tangannya. Alya segera meletakkan tas belanjaan di meja kasir. Mata wanita itu terus melihat layar yang memperlihatkan harga pakaian yang dibelinya.
“Semuanya lima ratus dua puluh delapan ribu.”
Evan mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan kartu debit dari dalamnya. Selesai memproses transaksi, petugas kasir itu mengembalikan kartu pada sang empu. Dengan plastik belanjaan di tangannya, mereka keluar dari departemen store tersebut.
“Kamu mau beli apa lagi? Sepatu?”
“Ngga, ah. Aku mau beli bedak sama pelembab, udah abis.”
“Ayo.”
Keduanya segera menuju eskalator untuk turun ke lantai dua. Tempat menjual kosmetik berada di lantai tersebut. Alya langsung memilih bedak dan pelembab yang biasa dipakainya. Evan memaksa istrinya itu untuk membeli yang lainnya. Dia meminta krim malam, lipstick, pensil alis, foundation, mascara, eye shadow dan blush on pada sang pramuniaga.
“Mas, buat apa?”
“Beli aja. Kali aja kamu butuh buat dandan. Biar tambah cantik.”
“Aku ngga bisa dandan,” bisik Alya.
“Kan bisa belajar di utun eh utub.”
“Ini mau semuanya?” tanya sang pramuniaga.
“Eh ngga. Aku ambil krim malam, lipstick, pensil alis, mascara sama foundation aja.”
“Blush on sama eye shadownya sekalian,” ujar Evan.
Alya menggelengkan kepalanya cepat. Evan pun tidak memaksa lagi. Sang pramuniaga menyiapkan mascara yang dipilih oleh Alya. Khusus untuk lipstick, dia mengambil dua warna.
“Udah mas, aku ngga akan beli apa-apa lagi. Udah adzan, ayo kita shalat dulu.”
Alya langsung mendahului Evan yang hendak membuka mulutnya. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya saja. Mereka kembali menaiki eskalator, mushola di mall ini berada di lantai lima.
Setelah menunaikan shalat maghrib, Alya hendak langsung mengajak Evan meninggalkan mall. Dia ingin makan di warung tenda saja, bukan di tempat makan yang ada di mall. Namun sebuah suara menahannya.
“Al..”
“Nana.. lo sama siapa?”
“Sama bang Ge. Lo sama bang Evan, ya?”
“Iya.”
“Eh Nana. Sama siapa ke sini?” tanya Evan begitu keluar dari mushola.
“Sama bang Ge. Emang ngga ketemu di dalem?”
“Ge?”
Refleks kepala Evan langsung melihat ke dalam mushola. Dia melihat sahabatnya itu baru saja menolehkan kepalanya seusai tasyahud akhir. Pria itu terbengong melihat Gelar yang mau menunaikan shalat. Biasanya sahabatnya itu sering menolak ajakannya untuk shalat. Kemudian Evan melihat pada Nana. Sepertinya gadis itu membawa perubahan baik pada Gelar.
“Eh di sini juga, lo,” tegur Gelar sekeluarnya dari mushola.
“Abis nganter Alya belanja. Lo tumben…”
“Ssssttt…”
Gelar langsung memotong ucapan Evan. Dia tahu apa yang akan dikatakan sahabatnya itu. Bisa malu kalau Nana sampai tahu kalau dirinya tidak pernah menunaikan kewajibannya sebagai muslim sebelum bertemu dengan gadis itu.
“Lo mau kemana lagi?” tanya Gelar.
“Mau makan. Kamu mau makan di mana, Al?”
Belum sempat Alya menjawab pertanyaan suaminya, terdengar ponsel Gelar berdering. Pria itu menjauh sebentar dari Evan dan yang lainnya untuk menjawab panggilan dari Edward. Tak lama dia kembali ke tempatnya.
“Si Ed juga lagi di sini. Dia ngajakin ketemuan.”
“Di mana?”
“Coffee Bun.”
“Ya udah, ayo..”
Sebenarnya Alya ingin langsung mengajak Evan pergi, tapi dia tidak enak menolak ajakan Gelar. Apalagi Evan sudah menyetujuinya. Mau tidak mau, wanita itu mengikuti langkah suaminya menuju kedai kopi tempat mereka bertemu dengan Edward.
Tangan Edward segera terangkat melihat kedatangan dua sahabatnya. Langkah Alya terhenti sejenak melihat wanita yang bersama Edward.
☘️☘️☘️
**Nah loh siapa tuh yang lagi sama Edward?
Cung, yang suka berburu diskon?🙋**
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/