Hidupku begitu hancur saat malam yang tak diiginkan menimpaku. Sayangku pada keluarga baru, telah menghancurkan cinta pada pria yang telah merenggut semangat hidupku.
Hidup yang selama ini terjaga telah hancur dalam sekejap mata, hanya keserakahan pria yang kucintai. Namun pada kenyataanya dia tak memilihku, akibat cintanya sudah terkunci untuk orang lain.
Apakah hidupku akan hancur akibat malam yang tak diiginkan itu? Atau akan bahagia saat kenyataan telah terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali bekerja
Sungguh kesal sekali terhadap kelakuan majikan baru, tapi mau tak mau diri ini tetap harus bekerja, karena aku akan sangat membutuhkan uang untuk menyambung hidup dan membesarkan anak yang kukandung sekarang.
"Karin berangkat kerja dulu, bu. Ibu ngak pa-pa 'kan Karin tinggal. Makanan sudah siap semua jika ibu akan sarapan nanti," pamitku.
"Iya, nak. Ibu ngak pa-pa, nanti ibu akan ambil sendiri. Sekarang pergilah bekerja sebab nanti keburu siang dan bisa-bisa tuan muda Chris akan marah-marah nanti," tutur nasehat beliau.
"Iya, bu. Karin berangkat dulu," pamitku sambil mencium tangan punggung beliau.
"Iya, kamu hati-hati dijalan."
"Emm."
Setelah berpamitan pada ibu, kini secepatnya aku segera mengayuh sepeda, yang menjadi andalan kendaraanku satu-satunya. Untung saja jalanan adalah aspal yang halus, hingga akupun tak susah-susah untuk meluncur cepat sampai ke rumah majikan.
Dengan tergesa-gesa aku langsung saja masuk kerumah majikan dan langsung ingin menuju dapur untuk segera masak.
"Ya ampun, tuan Chris ini. Masak molor disembarangan tempat. Heeh, mungkin dia sudah tak tahan ngantuk kali," decak anehku saat melihat majikan tertidur pulas disofa ruang tamu.
Srees ... klonteng ... klonteng, suara spatulla telah sibuk mengoseng aneka sayur dan balado tempe. Kompor langsung kumatikan untuk segera mengerjakan memasak lainnya, yaitu mengoreng ayam dan merebus air untuk menyeduhkan kopi kesukaan majikan. Rasanya cukup lelah juga, hingga bulir-bulir keringatpun telah mengalir pelan membasahi keningku. Satu persatu lauk sudah siap dihidangkan, dengan secangkir kopi hitam campur susu telah bertengger dimeja makan, yang asapnya masih mengepul menandakan hangat.
"Huaaaah ... huaaah," Suara tuan Chris menguap dengan kerasnya.
"Kamu rupanya sudah datang? Aku kok ngak lihat kamu masuk tadi?" tanyanya yang kini sudah main comot makanan tanpa duduk lagi dimeja makan.
"Tuan 'kan tadi lagi tidur, ya mana tahu jika aku sudah datang," jawabku sambil sibuk mencuci alat-alat bekas memasak.
"Emm, benar juga!" jawabnya yang sibuk mengunyah makanan.
"Tuan kok bisa sembarangan tidur, sih? Pintu rumah ngak dikunci pulak. Apa ngak takut jika nanti ada orang masuk?" tanyaku heran.
"Aku semalam kerja lembur dan tadi pagi baru pulang kerja. Mata ngak tahan ngantuk sekali, hingga mau tak mau aku tepar disofa tadi," jelasnya.
"Ooh, begitu. Tapi lain kali hati-hati kalau pulang pagi lagi dan kalau bisa kunci rumah, jangan sembarangan saja pintu dibuka lebar gitu. Kalau nanti ada maling dan ingin mencelakai tuan Chris, gimana? 'Kan bahaya juga," keluhku padanya.
"Iya ... iya, mak bawel. Lain kali aku akan hati-hati ngak akan ceroboh lagi. Tapi biasanya aku memang begitu ngak pernah kunci rumah kecuali malam saja," terangnya santai sambil mencicipi makanan dan menyeruput kopi.
"Sekarang memang tak ada yang bahaya, tapi siapa tahu suatu saat nanti ada yang berniat jahat sama kamu, 'kan kita ngak tahu," imbuhku bertutur menasehati yang sudah beres mencuci.
"Heem, ok ... ok."
Karena tak ingin menganggu sarapan majikan, kini kerjaanku mencoba mengepel lantai rumahnya. Srett ... sreet, perlahan namun pasti tangan terus saja melakukan pekerjaan membersihkan lantai. Beberapa menit kemudian, kulihat tuan Chris telah menyudahi makannya, hingga kerjaan mengepel kusudahi sebentar, agar bisa membereskan sisa sarapan majikan.
Entah mengapa badan rasanya begitu letih sekali, hingga keringat dingin terus saja mengalir. Mungkinkah ini efek aku yang berbadan dua, hingga kerjaan ringan saja terasa berat sekali. Aku duduk sejenak meredakan rasa letih, sambil tangan mengipas-ngipas pelan badan agar menghilangkan rasa panas karena kelelahan.
"Kamu kenapa, Karin?" tanya tuan Chris tiba-tiba.
"Ngak pa-pa, tuan. Hanya ingin istirahat sejenak, mungkin aku hanya kelelahan saja," jawabku santai.
"Kamu kerja santai saja, toh aku tak memaksa untuk kamu bekerja keras juga. Yang penting siapkan makanan dan cuci pakainku saja. Oh ya, diatas ada beberapa pakaian kotor yang harus dicuci. Kamu bisa ambil dan cucikan sekarang, sebab ada pakaian yang penting bakal aku pakai nanti," perintahnya.
"Baik, tuan. Akan saya ambil sekarang," jawabku nurut.
"Emm."
Langkah kini melewari tuan Chris yang sedang berdiri sibuk memainkan ponselnya.
"Wah, ternyata walau orangnya suka nyebelin, kamar bersih dan rapi juga. Benar-benar pria yang bisa diandalkan jadi suami ini, hihihihih," tawa kecilku yang berangan melampau.
"Mana baju kotonya, ya?" tanyaku dalam hati sedang mencari-cari keranjang pakaian kotor.
"Mungkinkah ini keranjangnya? Kenapa ada dua begini? Aaah, aku bawa saja semuanya ke tempat pencucian. Mungkin dua keranjang ini memang kotor semua," ujarku pada diri sendiri saat mau mengambil keranjang.
Tangan sudah menteteng kepayahan membawa keranjang yang penuh oleh pakaian kotor. Sesampainya dimesin cuci, kini satu persatu pakaian itu langsung kemasukkan jadi satu.
"Astagfirullah, apa ini? Bukankah ini ... ini?" Kekagetanku saat membuka keranjang satunya lagi, yang ternyata berisikan penuh baju dalaman dan ****** ***** (S"mp*k).
"Apa aku harus mencuci ini? Tapi ... tapi, aku tak pernah melakukan ini. Gimana ini, dong? Kok aku rasanya jijik sekali untuk melakukan pencucian ini," guman hati yang kini ada rasa bergindik ngeri dan takut-takut atas rasa jijik.
Perlahan-lahan aku mencoba mengambil ****** ***** itu satu persatu, dengan tangan antara mau dan tidak mengambilnya. Mata sudah mengkerut kecut untuk bisa menutup, akibat rasa jijik akut itu datang mengebu saat terasa menghampiriku.
Plung, dengan kuat aku menceburkan barang itu dengan cara melemparnya kuat kedalam mesin cuci satunya.
"Iiiih ... iihhh ... breeem," Rasa jijikku saat terus mengambil satu persatu mengunakan ujung jari jempol dan telunjuk.
"Haaaah, apa ini? Wowowwo, apa ... apa ini?" terperangahnya diri ini ketika melihat celana itu tak sesuai kerakter sama yang punya yaitu cool dan arogan.
"Benarkah ini punya tuan Chris? Masak iya sih punya dia? Mmmmph, ha ... ha ... ha ... mmph!" gelak tawaku keras sebab tak menyangka atas warna pink dan gambar tom and jerry ****** ********.
"Ha ... ha ... ha, dasar tuan aneh, hahahah!" tawaku yang terus saja tak terkontrol dengan jari sudah menjumputnya tanpa rasa jijik lagi.
"Ada apa, Karin?" tanya majikan yang tiba-tiba datang, mungkin sudah kepo atas tawaku.
"Haaaaaaaaaa ... jangaaaan," teriak suara tuan Chris tiba-tiba, yang sudah bertengger berdiri tepat dibelakangku.
Sheet, dengan cekatan majikan berhasil menyaut barang miliknya.
"Apa-apa'an yang kamu lakukan ini? Dasar wanita mesum," ucapnya nyolot marah-marah padaku.
"Ha ... ha ... ha, siapa yang mesum? Aku apa kamu, hahahah!" gelak tawaku tanpa henti.
"Haaaist, dasar wanita gila. Ngak sopan banget sih ngambil punya orang, ngak malu apa yang padahal kamu itu perempuan?" tuduhnya.
"Mmmphh, siapa juga yang ngambil. Aku 'tuh tadi mau mencucinya saja," jelasku menahan tawa dengan mengantupkan bibir kuat, agar tak mengeluarkan lagi gelak tawaku itu.
"Haaaiccch, aku nyuruh nyuci baju, bukan nyuci barang pelindung pusaka," Kekesalannya yang masih marah-marah dengan memonyongkan bibir.
"Pelindung pusaka apaan? Maksudnya?" tanyaku polos.
"Hiiiiih, kamu itu memang polos atau pura-pura ngak tahu? Dasar wanita aneh," hinanya lagi.
"Aku beneran ngak tahu, tuan. Apa yang kamu maksud itu," jelasku sudah berhenti tertawa.
"Sudah ... sudah, dijelaskan juga pasti nanti kamu akan bertambah mesum dan tertawa menghina kayak tadi juga," ujarnya masih tak senang atas tindakanku.
"Heeeh, mana yang baiknya buat tuan. Tak dijelaskan juga ngak pa-pa, jika itu mengandung unsur mesum. Maafkan aku tadi yang telah lancang mau mencuci barang pribadi tuan," ucapku mengalah sebab tak enak hati.
"Heh, sudah terlanjur juga kamu melihatnya. Mau diapain lagi. Kamu juga sih main ambil comot saja, 'kan aku bilang cuci baju bukan barang-barang pribadi ini," ucapnya yang masih ada nada kesal, sambil menunjukkan benda warna pink itu.
Aku yang melihat itu lagi-lagi tak kuasa ingin terus tertawa lagi, tapi sekuat tenaga harus manahannya sebab tak ingin tuan Chris bertambah marah.
"Barang pribadiku tak pernah ada orang lain yang mencucinya, kecuali ya aku sendiri, paham! Jadi lain kali jangan sekali-kali untuk mencucinya lagi, ok!" jelasnya memberi peringatan.
"Iya, tuan!" jawabku setuju.
"Oh ya, tuan. Aku penasaran banget nih, kenapa harus berwarna pink sih itu ... tuh! Apa ngak malu? Bukankah itu warna kesukaan cewek?" tanyaku lancang.
"Haaaiiiich, anak ini! Mau tahu saja," ucapnya yang tak suka seperti ingin menabok diriku, tapi tertahan melayang diudara tangannya itu.
"Heheheh, maafkan 'lah diriku, ok tuan!" ujarku memberikan jari membentuk kata peace.
"Memang salah apa dengan warna itu, selagi yang memakai nyaman-nyaman saja?" tanya dalam kejelasan.
"Benar juga sih, ngak salah. Tapi, aneh saja," jawabku masih penasaran akut.
"Aku tuh suka sama gambarnya yang ada tom and jerry ini, sebab kartun ini adalah kesukaanku. Memang malu sih kelihatannya, tapi aku menyukainya. Tapi bukankah warna pink itu melambangkan kelembutan dan penuh kasih sayang kayak persis sama kepribadianku ini, jadi aku rasa fine-fine saja memakainya," jelas majikan dalam kesombongan.
"Ooh, begitu. Ya sudah 'lah, lagian itu hak tuan untuk memakainya," jawabku santai.
"Awas saja kalau sampai rahasia ini bocor, maka tiada ampun lagi bagimu, paham! Kalau sampai tersebar, selain kupecat kerja wajah kamu yang mesum itu akan kubejek-bejek jadi rempeyek," ancamnya.
"Silahkan saja. Kalau tuan berbuat jahat padaku, maka senjata itu malah akan jadi boomerang buat kamu, untukku semakin mempermalukan tuan, paham. Kamu itu seorang idola, pasti mudah untuk membuat kamu terkenal dengan rasa malu itu," balik ancamku.
"Aaah, haiiast. kamu ... kamu ini, aaaah?" Kekesalannya menjambak rambutnya sendiri, yang seperti ingin memberiku pelajaran tapi tertahan tak bisa melakukan.
"Apa ... apa, wlueeek!" balik songongku menghinanya dengan memeletkan lidah.
Entah mengapa hari-hariku yang suram akibat masalah pelik dalam kehidupanku, kini terasa berwarna setelah kehadiran tuan Chris yang selalu saja membuatku tertawa, walau kadang-kadang harus diiringi oleh rasa kesal dan gondok tak suka dalam hati.