Anindya Selira, panggil saja Anin. Mahasiswa fakultas kedokteran yang sedang menempuh gelar dokter Sp.Dv, lebih mudahnya spesialis kulit.
Dengan kemurahan hatinya dia menolong seorang pria yang mengalami luka karena dikejar oleh penjahat. Dengan terpaksa membawa pria itu pulang ke rumahnya. Pria itu adalah Raksa Wirajaya, pengusaha sukses yang memiliki pengaruh besar.
Perbuatan baiknya justru membuat Anin terlibat pernikahan paksa dengan Raksa, karena mereka berdua kepergok oleh warga komplek sekitar rumah Anin.
Bagaimana hubungan pernikahan mereka berdua?
Akankah mereka memiliki perasaan cinta satu sama lain?
Atau mereka mengakhiri pernikahannya?
Yuk baca kisah mereka. Ada 2 couple lain yang akan menambah keseruan cerita mereka!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cchocomoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seribu Maaf Tidak Akan cukup
“Ardhan… aku tau yang kamu bicarakan dengan tuan Raksa bukanlah mengenai pekerjaan. Aku minta maaf, karena sudah menggantungkan hubungan ini. Setiap kali kamu membahas hubungan yang serius, aku memilih diam. Terkadang aku juga mengalihkan ke hal-hal yang lain. Aku minta maaf…”
Meira mengusap air mata yang sudah mengalir membasahi pipinya. Ia memiringkan tubuhnya, mencengkram kuat ujung selimut yang menutupi tubuhnya.
“Aku ada alasan yang hanya aku sendiri yang tau. Bahkan kak Larisa tidak tau mengenai ini, karena cukup sakit buat aku untuk mengatakan yang sebenarnya. Biarlah aku yang menyimpan rapat kenangan buruk itu.”
“Sepertinya hubungan ini nggak bisa lebih dari ini, apalagi yang lebih serius. Aku tidak cukup pantas untuk bersanding di sampingmu. Bukan hanya kamu, aku tidak bisa bersanding dengan siapapun.” Meira mulai terisak, bahkan kenangan buruk hari itu kembali terngiang di ingatannya.
“Dia… dia masih mengawasiku sampai saat ini. Itulah kenapa aku meminta hubungan kita disembunyikan. Saat kamu tau nanti, aku tau kamu akan sangat terluka. Dan aku belum siap melihatmu hancur karena aku yang menjadi penyebabnya.”
Selama ini Meira diawasi seseorang, bukan hanya diawasi, karena orang itu selalu berada di dekat Meira. Dan kenangan buruk itu terjadi karena orang yang sama. Orang yang selama ini Meira sangat benci. Bahkan ia ingin membunuh orang itu agar lenyap dari dunia ini.
Meira menghela nafasnya, ia harus menyiapkan dirinya jika nantinya Ardhan mengajaknya untuk bicara.
Mungkin Meira tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, tapi ia harus melepaskan Ardhan. Orang yang selalu mengisi hari-harinya.
“Aku bingung, sangat bingung. Rasanya aku ingin pergi jauh, ke tempat dimana orang tidak ada yang mengenaliku. Baik itu Ardhan ataupun dia. Aku tidak ingin ada diantara mereka berdua. Aku ingin bebas menjalani kehidupan ini tanpa ada rasa takut.” Meira meyakinkan dirinya agar bisa membuat keputusan yang tidak merugikan siapapun.
Meskipun begitu, yang paling dirugikan adalah Ardhan. Saat dimana ia mengatakan apa keputusannya.
Hancur? Terluka? Itu sudah pasti. Bukan prediksi lagi karena itu yang akan terjadi. Meira bisa melihat bagaimana Ardhan sangat mencintainya.
Dalam hati kecilnya yang paling dalam, Meira tidak bisa melakukan itu. Tapi ia juga tidak bisa menggantungkan Ardhan hanya karena hubungan yang tidak akan pernah lebih serius dari ini. Yang ada hubungan mereka akan segera kandas, cepat atau lambat.
Meira harus menyiapkan hatinya untuk hari itu. Sakit memang, tapi tidak ada pilihan lain. Meira tidak ingin membahayakan nyawa Ardhan hanya untuk keegoisannya.
“Seribu maaf pun tidak akan cukup buat kamu bisa maafin aku. Maaf… Ardhan,” lirihnya.
* * *
Anin membuka matanya saat cahaya matahari menerobos masuk kedalam kamarnya, dan mengenai wajahnya.
Tubuhnya terasa berat karena kepala Raksa ada pada dadanya. Dengan susah payah Anin mendorong tubuh Raksa agar menjauh darinya.
Namun, pelukan Raksa sangat erat. Untuk melepaskan tangan Raksa yang sangat sulit. Anin hanya bisa menghela nafas karena Raksa tidak mau melepaskannya.
“Aku tau kamu sudah bangun, jadi sekarang lepaskan pelukan kamu. Aku mau mandi, aku mau ke rumah sakit. Aku ada janji sama pasien.” Anin menyibakkan rambut Raksa kebelakang.
“Biarkan aku memelukmu sebentar,” lirihnya.
“Tidak bisa! Aku sudah kesiangan, kamu tidak lupakan kalau kita masih ada tamu? Jangan biarkan mereka nunggu lama. Jadi lepaskan aku, atau malam ini dan seterusnya lebih baik kamu tidur di kamar sebelah. Mungkin aku yang pindah, bukan pindah kamar, aku akan pindah rumah sekalian, agar aku bisa bebas dari kamu!”
Raksa spontan langsung terbangun, menatap Anin dengan tatapan kaget dan juga sendu.
Bagaimana tidak, istrinya akan pergi dari rumahnya sendiri dan meninggalkannya. Jantung Raksa seolah akan keluar begitu mendengar Anin mengatakannya.
“Sayang? Tidak bisakah kamu jangan mengatakan akan pergi dari rumah? Ini rumah kamu, atas nama kamu. Jika pemiliknya pergi, siapa yang akan huni rumahnya, sayang!” Raksa mulai merengek, meraih tangan Anin, berusaha membujuknya agar tidak pergi dari rumah.
Tidak ada respon dari Anin, Raksa langsung memeluk Anin. Ia tidak akan membiarkan Anin pergi darinya.
Melihat Raksa seperti ini, dalam hati Anin, ia hanya bisa menahan dirinya agar tidak tertawa. Saat ini, Anin benar-benar ingin tertawa.
Mengerjai Raksa seperti ini membuat hatinya senang. Sepertinya ia tau kelemahan Raksa saat ini.
“Aku mohon jangan pergi,” lirih Raksa disertai isakan kecil.
Anin mendongakkan wajah Raksa agar menatapnya. Air matanya sudah mengalir membasahi pipinya.
“Raksa?”
“Jangan pergi!” Raksa meraih tangan Anin yang ingin menghapus air matanya.
Anin tersenyum kecil, menarik tangannya lalu mengusap air mata Raksa.
“Jika kamu tidak ingin aku pergi, kamu harus nurut apa yang aku katakan. Jika aku bilang iya, itu artinya diizinkan. Begitu sebaliknya, kalau tidak, artinya juga tidak. Aku bilang lepas, itu artinya kamu harus lepas. Sama halnya dengan yang lain. Kamu mengerti?” Raksa mengangguk.
“Tapi aku tidak yakin, kamu bisa melakukannya. Buktinya aku minta kamu untuk melepaskan aku, apa yang kamu lakukan? Dan itu buat aku kesal, jika terus seperti ini aku lebih memilih kehidupan kita yang dulu. Diantara kita, tidak ada yang ikut campur. Dan aku sudah terbiasa dengan itu.”
“Tidak! Tidak! Jangan katakan itu, please! Aku mohon, aku tidak bisa jika harus kembali seperti sebelumnya, setelah tau jika aku tidak mempunyai penyakit aneh itu!” ungkapnya bersamaan dengan air matanya yang kembali mengalir.
“Aku janji, sayang. Aku tidak akan buat kamu kesal.” Raksa membenamkan wajahnya di ceruk leher Anin.
“Oke, kali ini aku maafin. Tapi aku serius, jika kamu terus memaksaku, jangan salahkan aku jika benar-benar akan pergi.” Raksa mengangguk.
“Sekarang lepas. Aku mau mandi, bersiap ke rumah sakit. Jika kamu tidak keberatan antarkan aku.”
Raksa menatap Anin, wajahnya terlihat sumringah. “Kamu yakin? Tidak bohongkan?”
“Tidak, aku tidak bisa berbohong. Jadi, apa yang aku katakan, itu memang kebenarannya.”
“Baiklah, aku akan antar dan jemput hari ini. Tapi… apa aku boleh minta satu hal?” tanyanya dengan nada yang lirih hampir tidak terdengar.
“Katakan, tapi jangan aneh-aneh.”
“Kamu dengar?” Anin mengangguk, meskipun suaranya kecil, Anin masih bisa mendengarnya.
“Cepat katakan, aku mau pergi mandi.”
“Itu… apa aku boleh menciummu?” tanyanya.
Sudut bibir Anin terangkat, ia tersenyum kecil. Menarik tengkuk leher Raksa lalu menciumnya.
“Aku sudah melakukannya, sekarang apa aku bisa mandi?” Raksa mengangguk, tapi pandangannya kosong karena masih terkejut karena Anin langsung menciumnya.
Raksa menyentuh bibirnya, masih tidak menyangka jika Anin melakukannya. “Aku kira mimpi, nyatanya Anin memang menciumku. Ini kemajuan yang baik. Sepertinya jika aku terus nurut, mungkin aku bisa mendapatkan lebih dari ini.”
suamiku jg ada tapi ga nular tapi juga ga sembun sampe sekarang aneh segala obat udah hasil ya sama ,