Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Ayra
Dokter Farid memasuki halaman rumahnya. Rumah bergaya semi klasik, bercat dinding putih itu sudah riuh rendah dengan cahaya lampu.
Mobil CRV putih parkir sempurna di garasi rumah itu. Di sebelahnya, Honda Civic putih sudah terparkir sebelumnya. Artinya, istrinya sudah pulang.
Pintu rumah terbuka begitu dokter Farid keluar dari pintu mobilnya. Seorang anak kecil melongok ke arah garasi.
"Ayaaahh," seru Ayra. Dokter Farid merentangkan tangannya dan Ayra berlari ke arahnya memberi pelukan.
Satu kecupan manis mendarat di pipi chubby Ayra.
"Ibu sudah pulang?," tanya dr. Farid
"Sudah dari tadi. Kata ibu dari acara di luar ibu tidak balik kantor lagi makanya cepat pulang.
"Kak Ammar sudah pulang?," dr. Farid memegang tangan Ayra dan mulai berjalan masuk ke rumah.
"Belum. Katanya masih ada ehmm apa ya, Ayra lupa apa sebutannya. Kuliah begitu ayah. Ayra lupa namanya,"
"Oh ya. Kakakmu sedang sibuk berarti,"
Keduanya pun masuk ke dalam rumah.
**
Khatan menggalau seharian. Acha masih belum ingin bicara padanya. Malam ini pun dia tidak bisa tidur karena memikirkan Acha.
Apa jangan-jangan dia punya pacar baru tanpa sepengetahuan ku. Ah, tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi. (Khatan).
Acha adalah cinta pertamanya. Khatan mengejarnya sejak kelas satu dan baru jadian setelah pertengahan kelas dua hingga sekarang di tahun terakhir mereka di sekolah itu.
Khatan menghabiskan separuh malamnya dengan berguling-guling ke sana kemari.
**
Hana baru selesai melaksanakan sholat Tahajud. Subuh itu begitu tenang. Suasana kamarnya juga tenang. Sajadah yang menjadi saksi bisu raungan-raungan lemahnya juga tenang. Semua tenang. Doanya begitu khusyuk. Berkomat-kamit tanpa ada suara yang keluar. Hanya Allah dan Hana yang tahu apa yang menjadi permohonannya saat itu.
**
Pagi yang cerah untuk seorang Ayra yang hari ini sudah lengkap dengan seragam SD nya. Bibi membantunya untuk menghabiskan sarapan nasi gorengnya. Jika tidak, nasi goreng itu akan bernasib panjang di atas meja makan itu tanpa tersentuh.
"Bulan depan sudah delapan tahun. Ayra sudah harus belajar makan sendiri, tidak perlu lagi disuap Bibi," istri dr. Farid, Ratna Dewi berujar sambil memakan potongan buah segar.
"Kan Ayra maunya makan sendiri tapi Bibi maunya suapin," bantah Ayra dengan mulut penuh nasi goreng.
"Minum dulu," Bibi menyodorkan gelas karakter kuromi berwarna ungu pada Ayra.
"Yang penting Ayra latihan dulu pelan-pelan. Nanti kalau sudah terbiasa baru makan sendiri," dr. Farid berkata sambil mengunyah roti panggang.
Ratna mengerlingkan matanya saat mendengar suaminya berkata seperti itu.
"Manja, manjakan saja terus," Ratna kesal.
Dokter Farid hanya melirik sejenak ke Ratna lalu kembali menyantap roti panggangnya.
"Oh ya, apa kamu menelponnya kemarin?," dr. Farid mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Ada. Seperti biasa. Kata-katanya sangat hemat untuk dikeluarkan,"
"Yang penting telpon saja terus. Dia kan selalu berpikiran kamu itu tidak sayang, tidak peduli padanya. Dengan menelponnya tiap hari, ku harap dia bisa mengerti bahwa kita sebagai orang tua sangat menyayanginya," dr. Farid berubah melankolis.
"Sstt," Ratna memberi kode dengan mata. Lirikan matanya membuat dr. Farid paham dan memilih untuk tidak ada pembahasan lagi.
**
"Mana pelukannya," ujar dr. Farid ketika Ayra hendak berlalu masuk ke kelasnya. Ayra berpaling dan langsung memeluk dr. Farid.
"Jangan nakal ya, tunggu Bunda atau kakak Ammar jemput ya,"
"Baik, ayah,"
"Ayyraaa," panggilan teman sebangkunya membuat fokus Ayra langsung beralih. Dia langsung menghampiri temannya itu.
"Ayra," seru dr. Farid sambil melambaikan tangan. Ayra membalasnya.
"Ayra, ayahmu umur berapa sih?," tanya temannya begitu selesai melihat adegan lambai-melambai tadi.
"Ayah 57 tahun. Kenapa?,"
"Gak. Dulu aku pikir itu kakekmu,"
"Ihh kamu ini," Ayra langsung cemberut.
Ayra tidak semarah dulu karena sudah terbiasa dengan anggapan teman-temannya kalau ayahnya adalah kakeknya. Dulu, dia akan melempar benda apa saja ke arah temannya yang mengatakan itu. Hingga ayah dan ibunya harus berulang kali dipanggil ke sekolah. Tapi sekarang, Ayra sudah bisa menerima kenyataan. Palingan dia hanya cemberut sesaat.
psikologi mix religi💪