Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumbuhnya Benih Kebencian
Yasmeen tidak menunggu. Refleksnya, yang telah dipahat oleh puluhan tahun kehidupan tragis, menggerakkan kakinya. Ia berbalik dan berlari keluar. Umm Shalimah, dengan sigap memegang senter kecil yang diletakkan di samping ranjang, mengikuti di belakangnya.
“Panggil Khalī Tariq!” teriak Yasmeen tanpa menoleh. Umm Shalimah tidak perlu diperintah dua kali. Namun, baru Yasmeen melangkah ke koridor utama, ia bertemu Tariq yang berlari terengah-engah dari Sayap Timur.
“Sayyidah, saya dengar teriakan itu!” kata Tariq, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang jarang terlihat. Ia menarik pedangnya setengah dari sarung, insting pelindungnya melonjak.
“Letakkan pedangmu, Khalī. Itu bukan serangan militer. Itu bencana keluarga,” desis Yasmeen, suaranya dipenuhi perintah yang dingin. “Pergilah ke Sayap Barat, dan awasi Sayyid Zahir. Awasi setiap tindakannya, setiap perkataannya. Dan pastikan Dr. Hafiz mendapatkan semua yang dia butuhkan.”
Saat mereka mencapai Sayap Barat, yang biasanya sunyi dan diselimuti aroma dupa yang mewah, kini penuh dengan teriakan, lolongan, dan kekacauan. Bau tembaga samar, bau darah, menusuk indra penciuman Yasmeen.
Di tengah kerumunan kecil pelayan yang mengintip, Mehra berlutut di lantai marmer, jubah malamnya berantakan, menahan tubuh mungil putrinya yang batuk tanpa henti. Darah merah tua bercampur lendir di pangkuannya. Ruqayyah, balita berambut keriting yang biasanya ceria, kini pucat, matanya melotot kesakitan.
Di dekatnya, berdiri sosok yang membuat Yasmeen tertegun sejenak: Sayyid Zahir. Ayahnya. Pria yang di kehidupan lalu begitu Yasmeen hormati dan cintai. Kini, Zahir berdiri tegak seperti patung yang rapuh. Wajahnya tidak hanya cemas, wajahnya benar-benar putih, seolah seluruh darah telah meninggalkan pembuluh nadinya. Ia menatap darah di pangkuan Mehra seolah itu adalah kutukan yang baru saja dituliskan di batu nisan keluarganya.
“Minggir!” teriak Dr. Hafiz, mendorong Yasmeen dan Tariq, lalu bergegas meraih tasnya yang baru ia ambil. “Nyonya Mehra, jangan angkat kepalanya! Dia perlu memuntahkan racun itu!”
Mehra, histeris, tidak memperhatikan kehadiran siapa pun, termasuk Yasmeen.
“Ya Allah! Kenapa! Ya Allah, Ruqayyahku! Apa yang ia makan? Siapa yang meracuninya?!” ratap Mehra, suaranya pecah. Dalam kegilaan duka, matanya beralih ke Yasmeen yang berdiri tenang di ambang pintu.
Meskipun Mehra tidak mengucapkan satu kata pun, Yasmeen melihat tuduhan itu tersulut dalam api kebencian yang samar di mata ibu tiri itu. Tuduhan yang mengatakan: Ini karena ulahmu, Emirah yang dikutuk. Ini karena kau membuat kekacauan di istana ini.
Namun, yang menarik perhatian Yasmeen sepenuhnya bukanlah Mehra atau Zahir.
Itu adalah anak kecil yang berdiri di belakang Zahir, seolah menggunakan punggung ayahnya sebagai tameng. Zain. Lima tahun. Rambutnya hitam, matanya cerah dan sangat cerdik—sebuah miniatur Zahir, namun tanpa senyum manis yang sering dipakai ayahnya.
Zain tidak menangis seperti Ruqayyah. Dia tidak meraung histeris seperti ibunya. Dia juga tidak menunjukkan kepanikan kaku seperti Zahir.
Zain hanya menatap Yasmeen.
Itu adalah tatapan yang tidak seharusnya dimiliki oleh anak lima tahun. Itu adalah pandangan kesalahan, pandangan dingin yang menimbang-nimbang kerugian. Yasmeen melihat api kebencian, benih yang kelak akan tumbuh menjadi duri paling mematikan seperti dalam kehidupannya yang pertama.
Yasmeen ingat betapa keras ia mencoba di masa lalu untuk mencintai Zain, adik tirinya. Ia memberinya kasih sayang dan bimbingan, berusaha menjadikan Zain seorang penerus yang baik bagi Nayyirah, bahkan setelah Zain berulang kali menunjukkan ambisi yang tak sehat. Dan apa yang ia dapat? Pengkhianatan berdarah dingin.
Kini, bibit itu tumbuh, dipicu oleh ketakutan seorang anak melihat anggota keluarganya terluka, dan menyalurkan ketakutan itu kepada Yasmeen, orang asing yang baru saja merebut kekuasaan Ayahnya.
“Abī” panggil Yasmeen, suaranya tenang. “Ruqayyah perlu dibawa ke Ruang Perawatan. Ia tidak boleh dibiarkan di sini.”
Zahir berbalik, seolah baru menyadari keberadaan Yasmeen. Kerutan ketakutan dan rasa bersalah terpahat di sudut matanya.
“Dia… dia baik-baik saja, Yasmeen,” kata Zahir, suaranya serak. Ia mencoba menggapai Mehra, tetapi Mehra menepis tangannya.
“TIDAK! Kau bilang dia hanya akan tidur! Kau bilang itu hanya obat tidur biasa! Kau bilang…” Mehra berteriak, kalimatnya terpotong oleh Dr. Hafiz yang menyuruhnya diam agar tidak mengganggu Ruqayyah.
Tariq segera bergerak maju dan menahan Mehra agar tidak melukai putrinya dalam kepanikannya.
Yasmeen mencondongkan tubuh ke Zahir. Dalam kericuhan itu, suara Yasmeen hanya bisa didengar oleh Ayahnya.
“Ayahanda telah kalah.”
Mata Zahir yang putus asa langsung melebar. “Aku tidak tahu! Aku bersumpah! Aku tidak bermaksud—”
“Kau tidak bermaksud membunuh putrimu, tentu saja. Kau bermaksud membuat putrimu yang lain, yaitu aku, terlihat seperti anak sakit yang tak mampu memerintah,” potong Yasmeen dengan tajam. Ia mengamati posisi Zahir. “Kotak itu kosong, Abī. Ramuannya pasti ada di sesuatu yang diabaikan. Sisa makanan. Air minum yang tidak saya sentuh. Tapi anak-anakmu tidak punya pembeda, Abī.”
Yasmeen yakin. Zahir telah meletakkan racun dosis kecil di makanan tertentu—mungkin di minuman herbal yang ia tahu Yasmeen akan tolak karena perintahnya kepada Umm Shalimah, tetapi ia butuh tempat di mana barang itu bisa ditemukan. Itu adalah intrik paling dasar. Tapi Ruqayyah, balita yang ingin tahu, pasti menemukannya di tempat yang ia kira aman.
“Aku... aku tidak…” Zahir merosot ke dinding. Topeng kemanusiaannya runtuh. Pria ini, yang berencana menjual aset keluarga dan membuat putrinya sakit kronis demi keuntungan, kini dihadapkan pada hasil kekejiannya sendiri.
“Ini semua salahmu!”
Yasmeen menoleh ke arah sumber suara. Itu adalah Zain. Anak itu melangkah maju, tangannya mengepal di samping paha. Mata lima tahun itu menyala-nyala.
“Sejak kau datang, Ruqayyah sakit! Kau membuat Ibu menangis! Kau menjauhi Ayah!” teriak Zain. Meski suaranya melengking karena usia, ia menyalurkan kemarahan ayahnya dan penderitaan ibunya, menyaringnya menjadi tuduhan yang murni. “Kenapa kau tidak mati saja!”
Semua orang, termasuk Hafiz dan Tariq yang sibuk membantu Ruqayyah, membeku. Mehra tersentak, dan untuk sesaat, ia tampak bangga pada putranya, sebelum menarik Zain agar diam.
Zahir, terhina dan putus asa, hanya bisa menunduk.
Yasmeen tidak berkedip. Kata-kata Zain, yang dilontarkan oleh kemarahan kekanak-kanakan, menggaungkan semua kebencian yang akan ia hadapi lima belas tahun dari sekarang, di tangan pemuda yang sama ini. Di kehidupan lalu, Zain meracuninya di tengah makan malam resmi, diselimuti oleh aura persahabatan yang palsu.
Ini dia. Inilah garis batasnya.
Jika ia menunjukkan belas kasihan, Zain akan melihatnya sebagai kelemahan. Jika ia mencoba mengasihi, Zain akan melihatnya sebagai upaya manipulasi. Yasmeen di kehidupan lalu sudah gagal menumbuhkan kasih sayang. Di kehidupan ini, ia tidak akan mengulangi kesalahan itu.
Yasmeen berjongkok perlahan, menyamakan pandangan dengan Zain. Ia tersenyum, tetapi senyum itu tidak menjangkau matanya.
“Jika aku mati, Zain,” bisik Yasmeen, suaranya sehalus pasir, tetapi sekeras besi, “Ayahmu tidak akan menjadi Emir. Dia akan diusir dari sini karena gagal melindungi putrinya. Kau dan ibumu akan kembali menjadi pelayan. Seluruh impian ibumu akan berakhir.”
Zain terkejut. Mehra menggigit bibirnya, tahu persis Yasmeen berbicara tentang kebenaran. Yasmeen berdiri, menarik dirinya menjauh, menjauhkan hatinya dari sisa-sisa harapan untuk keluarga yang utuh.
Kau akan menjadi musuhku, Zain. Aku akan memastikan kau tidak akan pernah punya kekuatan untuk membunuhku, tetapi aku tidak akan menghabiskan energiku untuk mencoba mencintaimu lagi.
Ia memberi isyarat kepada Tariq, yang masih menahan Mehra, untuk menjaga jarak Zahir dari Ruqayyah yang sedang dirawat.
“Khalī Tariq, jaga ketat Zahir. Katakan kepadanya bahwa setiap gerakan di luar koridornya malam ini akan dianggap sebagai upaya melarikan diri dari Emirat. Kita akan bicarakan ini saat Ruqayyah stabil.”
Yasmeen melangkah mundur. Ia telah melihat kegilaan Zahir dan ia telah melihat kelahiran seorang musuh. Ia telah memenangkan pertempuran kecil malam ini, tetapi dengan kerugian tak terduga—racun yang dilepaskan di Nayyirah adalah racun yang menguji kemanusiaannya sendiri.
---
Keesokan Harinya.
Ruqayyah, berkat penanganan cepat Dr. Hafiz, telah stabil, meski masih sangat lemah. Seluruh istana berada di bawah ketegangan, dan bisik-bisik tentang ‘kutukan’ yang menimpa Sayyid Zahir telah menyebar lebih cepat daripada berita kematian Emir lama. Intrik Zahir telah berubah menjadi senjata bunuh diri yang memalukan.
Di Ruang Penerimaan Tamu yang kecil, yang digunakan untuk audiensi informal, Yasmeen duduk, punggungnya tegak. Umm Shalimah menemaninya, sementara Tariq berdiri seperti penjaga kuil di samping pintu.
Zahir dipanggil masuk. Ia tidak mengenakan pakaiannya yang biasanya mewah. Jubahnya kusam, rambutnya sedikit acak-acakan. Rasa bersalah, takut, dan kesedihan nyata tentang Ruqayyah bercampur, memberinya penampilan aura kemanusiaan yang runtuh.
“Dia akan baik-baik saja,” kata Yasmeen, tidak menawarkan belas kasihan, hanya fakta medis yang didengar dari Hafiz.
Zahir menatap Yasmeen dengan tatapan kosong, seolah mencoba memahami bagaimana seorang anak sepuluh tahun bisa memiliki kekejaman dan wawasan yang melebihi kebijaksanaannya sendiri.
“Kau sengaja menjebakku, Yasmeen,” Zahir menuduh, suaranya rendah.
“Aku hanya memastikan diriku aman, Abī. Itu adalah tugas yang gagal kau penuhi untukku,” jawab Yasmeen, ekspresinya sedingin marmer. “Dr. Hafiz sudah melaporkan semua koleksi racun di Ruang Farmasi, termasuk kotak Gaharu yang hilang. Kau tahu, di bawah hukum Emirat, mencuri racun, terlepas dari niatnya, dianggap perbuatan jahat yang berujung pada pengkhianatan jika dilakukan oleh anggota keluarga istana.”
Zahir berlutut, kehabisan kata-kata, putus asa. Ia tahu ia kalah. Semua rencana intrik, penjualan aset Nayyirah kepada Permaisuri, upayanya menyingkirkan Yasmeen, semua itu telah hancur oleh kebodohannya sendiri.
“Yasmeen, jangan lakukan ini. Jangan hancurkan aku. Demi Ibu... Demi Mehra, yang sangat mencintaimu,” Zahir mencoba manuver emosional terakhirnya.
Yasmeen hanya menatapnya. Mehra mencintaiku? Tidak. Mehra hanya ingin Zain mendapatkan bagianku.
“Kita akan menunda keputusan ini, Abī,” kata Yasmeen. “Pertama, kita akan menunggu kedatangan Mehra dan Zain. Mereka juga bagian dari rumah ini. Dan kedua…”
Tepat pada saat itu, seorang Wazir masuk dengan tergesa-gesa, ekspresinya memancarkan ketegangan yang lebih besar daripada insiden Ruqayyah semalam.
Wazir itu membungkuk, wajahnya menegang.
“Sayyidah! Utusan dari Kota Agung… Utusan itu… telah tiba di gerbang istana,” kata Wazir itu, terengah-engah.
Zahir, yang sedang merangkak kembali berdiri, tiba-tiba tegak. Harapan membuncah di matanya—penyelamatnya telah tiba!
Yasmeen tahu siapa yang datang. Ini adalah Utusan Permaisuri Hazarah.
Mereka datang untuknya. Dan Zahir, dalam kekalahan internalnya, kini siap memanfaatkan otoritas Kekaisaran sebagai penyelamat.
“Siapa yang datang?” tanya Yasmeen, mempertahankan nada suaranya tetap datar.
“Itu adalah Al-Sharif Al-Mustafa, Utusan Permaisuri Hazarah sendiri. Dia membawa rombongan besar dan ingin bertemu dengan Anda, Yang Mulia, segera.”