Dendam Ratih Dan Cinta Sang Pangeran Ular

Di keraton Seta.

Ratih yang tertidur tertutup selimut di ranjang empat tiang, dirinya tersadar tubuhnya tanpa busana.

Tangan mengucek-ngucek matanya menyesuaikan matahari yang masuk, kepalanya menoleh ke belakang. Sang suami tidur miring menghadapnya.

Wajah tampan, dengan rahang yang tegas, kulit yang halus, dan hidung yang mancung.

Ratih memiringkan ke samping menghadap sang suami, dirinya tersenyum menatap wajah tampan Naga Seta yang sedang tertidur lelap.

"Tampan sekali...Kenapa aku baru sadar dia setampan ini." Ratih tersenyum menatap wajah sang suami, dirinya ingin menyentuh wajah itu.

Tapi keraguan menyelimuti hatinya, karena dirinya amat takut jika membangunkan Naga Seta.

"Dia tampan sekali...tapi sayang dia bukan dari bangsa manusia," ucap Ratih dengan tangan menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Entah kenapa hatiku ingin sekali keluar dari alam ini----Tapi seolah ada rasa berat meninggalkan kamu Kakanda," ucap Ratih dengan lirih.

Ratih mau bangun tapi mengingat peraturan yang di buat sang suami jika dirinya harus tertidur di sampingnya----sampai Naga Seta juga bangun.

"Kanda kenapa kamu buat peraturan yang menyulitkanku," ucap Ratih mengubah posisi menjadi telentang, matanya menatap langit-langit kamar.

Ratih hidup serba mewah di keraton Naga Seta----ada harapan dirinya bisa menjadi manusia jika belum mengandung anak dari Naga Seta.

Itu semua dari Mbah Suti yang saat ini masih di keraton Seta, di alam siluman Mbah Suti sudah dua hari tapi kalo di alam manusia.

Mbah Suti sudah pergi seminggu lebih, dirinya hanya menghela napas.

Ratih tersentak kaget saat tangan kekar Naga Seta meraih pinggangnya yang ramping, lalu membawanya ke pelukannya.

Naga Seta juga menciumi punggung Ratih, dan lehernya dengan mata masih terpejam.

"Kanda?" panggil Ratih dengan tercekat.

Naga Seta terus memeluk dan mencium tubuh permaisurinya, seolah raja Siluman ular ini terobsesi pada Ratih.

Ratih hanya menghela napas, saat Naga Seta terus mendekapnya di pagi dengan matahari yang tertutup oleh awan ini.

Mata Naga Seta terbuka melihat Ratih yang tengah telentang, dan matanya menatap langit-langit kamar.

"Sugeng enjang," ucap Naga Seta.

"Sugeng enjang ugi," jawab Ratih.

Keduanya menggunakan bahasa Jawa kuno, Ratih mengerti ini karena dirinya termasuk gadis Tradisional.

Naga Seta bangun lalu memeluk Ratih ke dalam pelukannya, dirinya terus mencium leher dan bahu Ratih. Ratih tak bisa menolak saat tangan Naga Seta menggerayangi nakal ke arena tubuhnya.

"Kanda ini sudah pagi, apa Kanda tak mau mendengar jawaban Patih Chandra Welang," kata Ratih.

Ratih posisi di dekapan Naga Seta yang juga tertidur di sebelahnya, tubuh langsing Ratih di peluk oleh badan atletis Naga Seta yang juga amat kekar.

Tangan kekarnya menyelipkan rambut Ratih yang lurus panjang, di belakang telinganya.

"Jujur saja, aku ingin kita memiliki anak."

Deg.

Ucapan Naga Seta membuat Ratih terdiam, lalu menatap sang suami.

Pikirannya berusaha menolak dengan logika, jika jangan sampai memiliki anak dari siluman---Jika memiliki anak dari siluman maka untuk keluar dan menjadi manusia kembali akan sangat sulit.

"Kanda...maafkan Dinda. Saat ini Kanda mau menaklukan Desa sebelah dengan mengirimkan Sapta Weling sebagai pemimpin di wilayah tersebut."

"Lalu? Apa yang salah?" tanya Naga Seta.

"Tidak Kanda, kita tak bisa memiliki anak sekarang."

Ratih mencoba mengundur dan memberikan alasan, karena dirinya tak bisa mengandung anak ular dan menjadi siluman selamanya.

Naga Seta menghela napas kecewa.

"Dinda...Aku mau memiliki anak, sekaligus pewaris...untuk urusan kekuasan kamu tak perlu pikirkan," kata Naga Seta.

Ratih memejamkan matanya----meski pikirannya menolak tapi hatinya sangat ingin memiliki anak dari Naga Seta.

"Kenapa ini? Hatiku ingin sekali bersama Kakang Naga Seta tapi kenapa pikiranku selalu menyangkalnya," batin Ratih yang kepalanya menyandar di dada bidang Naga Seta.

Ratih merasa nyaman saat kepalanya di sandarkan----di dada bidang Naga Seta. Ratih menghela napas lelah, telapak tangannya menggenggam telapak tangan Naga seta seperti di satukan.

Telapak tangan itu di bawa oleh Naga Seta, dan mencium punggung tangan Ratih yang lembut.

"Kanda, ayo kita ke ruang Singgasana, dan apa keluh kesah Patih Chandra Welang."

"Kenapa terburu-buru dinda?" tanya Naga Seta mengernyitkan keningnya.

"Kanda Prabu...Aku merasa jika terjadi masalah, entah masalah apa? tapi yang kita ketahui masalah antara desa Cempaka dan Sungai Seta sudah aman."

Naga Seta mencium puncak kepala Ratih dan tersenyum, tubuhnya masih mendekap Ratih dalam pelukannya. Ratih tersenyum lantaran semalam adalah malam yang luar biasa, ada kepuasan tersendiri saat dirinya melakukan pelepasan.

Sungguh baru kali ini ada pria yang berhasil memuaskannya, meski dari bangsa siluman.

Naga Seta dengan rambut panjangnya, dengan tubuh atletis dan tangan yang kekar seolah tak mau melepaskan Ratih---seolah ada obsesi tersendiri pada gadis manusia ini.

"Ratih kamu pasti akan hamil, dengan kamu hamil maka kamu tak akan bisa menjadi manusia kembali----dan selamanya hidup menjadi Ratu Siluman ular," batin Naga Seta yang memeluk Ratih.

Aroma dupa masih terasa di setiap sudut karena baru saja di nyalakan oleh dayang yang di tugaskan Naga Seta, Ratih tak bisa pergi sampai Naga Seta mau melepaskannya dari pelukannya.

Tubuh Ratih juga sangat kecil, jika melepaskan dari tubuh kekar Naga seta akan sangat sulit.

Ratih hanya bisa mengigit bibir bawahnya---karena telapak tangan Naga Seta memainkan gundukan depan sebelah kirinya.

Pagi ini Ratih harus bisa menyesuaikan hasrat Naga Seta, dan memejamkan mata merasakan setiap cecapan manis yang di buat Naga Seta untuk tubuhnya.

*

*

*