”Semua orang tahu, kalau cuma ada lima Big Boss di Marunda. Arnold, Baek, Kim, Delaney, sama Rose. Lima keluarga itulah yang berkuasa di North District, dan enggak ada satu pun yang berani melawannya.”
Season: I, II, ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
Begitu keluar dari toilet, tiba-tiba ada pintu kantor yang terbuka di sebelah kananku. Refleks, aku pun menengok ke arah suara itu. Dan seketika, hawa dingin langsung menjalar ke tubuhku.
Aku melihatnya dengan jelas, Remy Arnold sedang memegangi leher seorang laki-laki. Aku enggak bisa dengar apa yang mereka bicarakan, tapi saat Big Jonny keluar dari ruangan, aku lihat Remy menusukkan pisau ke tenggorokan lelaki itu.
"Ya, Tuhan!" Teriakanku pun langsung membuat Big Jonny menengok ke arahku. "Sial!"
Aku harus kabur, tapi bahkan belum sampai melangkah, tangan kasarnya sudah meraih lenganku dan menyeretku ke dalam kantor itu.
Enggak.
Enggak.
Enggak.
“Ampun. Aku enggak lihat apa-apa!” mohonku.
Big Jonny pun cuek saja, dan itu membuatku makin panik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Si Tangan Buntung
...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...
Aku sedang membuat Cannoli, dan saat lagi dingin-dinginnya, Remy malah muncul ke dapur.
“Ya ampun, aku suka banget aroma rumah ini sejak kamu pindah ke sini,” katanya.
Aku senyum dari tempatku bersandar di meja sambil menyeruput kopi.
Saat aku bangun pagi ini dan merasakan lengannya yang masih melingkar di tubuhku, ada yang berubah di hatiku.
Aku mulai melihat Remy dari sisi lain. Dia enggak pernah sekalipun kasar sama aku. Walaupun aku tahu dia bisa saja berubah kapan pun, aku tetap berharap dia enggak bakal melawanku.
Dia baik, sabar, bahkan penuh kasih. Kadang aku sampai lupa kalau dia salah satu Boss Marunda. Aku lupa kalau dia pernah membunuh orang. Aku lupa kalau duitnya datang dari dunia kriminal. Soalnya saat dia ada di rumah, dia cuma Remy, suami aku.
Kita sudah mulai punya ikatan, dan itu benar-benar mengubah perasaanku kepadanya. Aku enggak selalu waspada lagi di dekatnya, malah belakangan ini jadi sering senyum.
Remy mencuri satu cannoli, bersandar ke meja, dan memperhatikanku tajam sebelum menggigitnya. Aku perhatikan dia menikmati setiap gigitannya, dan entah kenapa, hatiku hangat banget.
Aku merasa kalau aku bisa belajar buat jatuh cinta sama cowok ini.
Dia miringkan kepalanya, terus bertanya pelan, “Lagi mikirin apa, huumm?”
Aku tarik napas panjang, melepasnya pelan, terus mengaku, “Ternyata benar.”
Dia angkat alis. “Benar apaan?”
Sambil ambil cannoli lagi, aku jawab jujur, “Ternyata enggak seperti yang aku bayangin. Aku kira bakal banyak kekerasan.”
Dia habiskan cannolinya cuma dengan dua gigitan, terus bilang, “Papa dulu suka mukulin Mama. Aku emang bukan orang suci, tapi itu satu hal yang enggak bakal pernah aku lakuin.”
Aku refleks, berkerut kening. “Turut berduka, ya. Pasti berat banget.” Aku memperhatikan karamel di cangkirku. “Papaku dulu baik banget, lembut.”
Dia mengangguk kecil. “Aku tahu. Semua orang merasa kehilangan waktu dia meninggal.”
Iya, Remy kenal sama Papaku.
Remy maju, dua tangannya membingkai wajahku, dan matanya menangkap tatapanku.
“Pas aku lihat kamu di pemakaman, aku enggak nyangka Amilio tega ngelakuin hal segila itu ke kamu. Kalau aku tahu, aku pasti udah jagain kamu dari awal,” katanya pelan. Dia bersandar lebih dekat, bibirnya cuma beberapa senti dari bibirku, terus berbisik, “Maaf kalau kamu harus menderita setelah Papamu pergi.”
Dia mencium keningku lagi, kali ini lebih dalam. Dadaku langsung meledak sama rasa yang enggak bisa aku tahan.
Napasku berat, dan Remy mundur sedikit biar bisa melihat mataku lagi.
“Kasih aku izin, Rainn,” bisiknya pelan.
Aku sempat berpikir sebentar, tapi dalam hati, aku belum siap. Jadi aku cuma geleng pelan. “Aku butuh waktu sedikit lagi.”
Dia tarik napas panjang, lalu mundur pelan. “Kalau gitu, aku ambil setengah cannoli-nya aja, ya.”
Dia enggak marah. Enggak merespon dengan dingin juga. Aku malah tersenyum. “Aku bikin dobel deh, biar kamu bisa makan puas.”
Dia tertawa. “Berarti aku harus makin sering nongkrong di gym, nih. Gara-gara kamu.” Terus dia jalan keluar dari dapur sambil senyum-senyum.
Begitu dia pergi, keheningan langsung menyelimuti ruangan. Aku sempat ingin menyusulnya, biar bisa dekat lagi, tapi aku tahan. Akhirnya aku milih bereskan dapur saja, karena habis masak dari pagi.
Ciuman, itu satu hal yang bisa aku kendalikan sekarang, dan aku ingin itu terjadi cuma kalau aku benar-benar jatuh cinta sama Remy.
Saat aku selesai beberes, aku keluar dari dapur dan menemukan Remy lagi selonjor di sofa sambil baca buku.
Aku spontan berhenti. Enggak menyangka, mafia segarang itu bisa melakukan hal sesantai baca buku. Bibirku pun langsung melengkung.
Aku jalan pelan ke arahnya. “Boleh aku nemenin kamu?”
Dia angkat pandangannya, matanya lembut. “Tentu aja.” Terus dia ulurkan tangan, nadanya lembut banget, “Sini, tidur sama aku.”
Aku naik pelan-pelan ke atasnya, separuh badanku nempel di tubuhnya. Pipiku menempel di dadanya, dan aku mendesah pelan.
Dia lanjut baca, tapi aku menyelip bicara, “Aku boleh nyalain TV, enggak?”
“Tentu,” jawabnya langsung, sambil mengambil remote dan kasih ke aku.
Aku menyalakan TV, buka Netflix. Aku lupa sudah sampai episode mana, jadi aku putuskan buat mulai saja dari awal. Weak Hero Class, musim ke dua.
Begitu dapat posisi enak, aku langsung keasyikan menonton.
Saat masuk episode dua, Remy tiba-tiba menceletuk, “Aku pingin bunuh anak sekolah itu, sumpah. Mereka ngeselin banget.”
Aku cekikikan. “Iya, Yon Si-Eun tuh emang kasihan banget, terus Na Baek-jin licik.”
“Hmmm,” dengusnya. “Apa, sih yang cowok itu mau dari dia?”
Aku angkat bahu. “Aku juga enggak ngerti.”
“Harusnya dia hajar aja di tempat, tuh,” gumamnya.
“Uh-huh.” Aku setuju sambil menyeringai.
Beberapa menit kemudian dia menceletuk lagi, “Ya Tuhan, kenapa kamu suka banget acara beginian?”
“Seru aja,” jawabku santai.
Dia menyeringai. “Kalau kamu mau seru, tinggal bilang aja, sayang.”
Aku cekikikan sampai perut sakit, terus geser ke sisi sofa yang lain. Aku angkat kakinya, taruh di pangkuanku. “Tenang aja, aku bahkan enggak fokus nontonnya.”
Dia mencoba kembali baca bukunya, tapi enggak lama dia menyerah juga, terus akhirnya ikutan nonton. Sesekali dia berkomentar betapa bego-nya karakter-karakternya, dan itu bikin aku makin senyum. Seharusnya dia lah yang ada di sana, kan?
...જ⁀➴୨ৎજ⁀➴...
Aku lagi bantu menyiapkan kopi saat Pastor Yeskil datang dengan wajah cemas.
“Ree, aku khawatir banget,” katanya sambil mencekal tanganku erat. “Kamu enggak apa-apa?"
Aku kasih senyuman biar dia tenang. “Aku baik-baik aja, Romo. Serius.”
Belum sempat dia bicara lagi, Rissa datang menyusul. “Bajumu cantik banget, deh.”
“Thanks,” jawabku. Itu salah satu baju baru yang Remy belikan.
Tatapan Rissa sempat melirik ke arah Benny yang lagi berdiri di dekat dinding. Aku sudah kasih dia dua cannoli dan secangkir kopi, tapi beberapa kali aku lihat, dia hampir ketiduran waktu Romo Yeskil kotbah.
Rissa menyipit. “Dia ngapain di sini?”
Aku udah siap sama pertanyaan itu, jadi aku jawab dengan tenang, “Dia pengawal aku.”
“Apa?”
Pandangan Pastor Yeskil langsung ke arah sekelompok pria di ujung ruangan, tapi aku tetap lanjut bicara, “Aku nikah sama Remy.”
“Remy Arnold!” bisiknya, kaget banget, sambil menutup mulut dan bikin tanda salib. “Tuhan, kasihanilah.” Tangannya langsung mencekal lenganku erat. “Aku enggak tahu harus bicara apa. Kamu aman-aman aja, kan, Ree?” Dia sempat melirik Benny dengan cemas, terus berbisik, “Aku enggak bisa bantu banyak, tapi kalau kamu butuh kabur, aku bisa bantu.”
Aku tepuk pelan tangannya, senyum dikit. “Enggak usah, Romo. Remy baik sama aku.”
“Pria itu jahat, Ree. Jahat banget!”
Nada suaranya bikin aku refleks, “Udah deh, Romo. Dia suami aku. Jangan hina dia.”
Tangannya pun lepas dariku, matanya tampak kecewa.
Aku coba menahan air mata dan bicara pelan, “Aku udah nikah sama dia, udah sumpah di depan Tuhan. Aku enggak bakal mengingkari itu. Ini hidup aku sekarang.”
Dia cuma bisa menggeleng pelan. “Sungguh mengejutkan.”
Aku menyeringai tipis. “Percaya deh, aku tahu. Tapi Remy benaran baik. Aku jauh lebih aman sama dia daripada waktu aku masih sama Amilio. Dia perhatian, enggak pernah kasar.”
“Ah, yang benar?”
Suara berat di belakang membuat jantungku berhenti sepersekian detik.
Oh, sial.
Itu suara Amilio.
Aku belum lihat dia sejak malam pernikahan, dan cuma dengar suaranya saja sudah cukup buat bulu kudukku berdiri. Aku pelan-pelan menengok, dan mataku pun langsung melebar saat sadar sebagian lengan kirinya?
Astaga ... hilang.
“Apa yang terjadi? Kamu kena infeksi?” tanyaku refleks.
Dia malah tersenyum, senyum ramah yang justru makin bikin aku takut. “Ayo jalan-jalan, Ree. Kita punya banyak hal buat dibahas.”
“Kita bisa bicara di sini aja.”
Tatapan matanya langsung gelap, nadanya jadi rendah banget. “Sekarang kamu udah punya hidup sempurna, kamu udah lupa siapa yang bantu kamu dapatin itu, ya? Setelah semua yang aku lakuin biar Remy mau nikahin kamu, ini balasan kamu? Enggak pernah datang ke rumah sakit, enggak peduli sama sekali?”
Aku menggeleng cepat. “Aku enggak tahu kamu di rumah sakit.”
Dia tertawa sinis. “Ya ... Ya ... Ya .... Tentu aja kamu enggak tahu. Jangan pura-pura polos, Ree. Kamu udah bilang apa aja ke Remy? Kamu cerita tentang aku?”
Aku menggeleng lagi, makin takut.
Dia maju, suara geramnya menakutkan. “Aku kehilangan lengan ini gara-gara kamu. Gara-gara kamu ngadu ke Remy kalau aku mukulin kamu.”
Aku mundur, napasku berat, kepalaku terus menggeleng.
“Jauh-jauh dari dia!!!” Suara Benny tiba-tiba menembus ketegangan. Dia langsung menghampiriku, meraih lenganku, tarik aku ke belakang.
Seketika wajah Amilio berubah, dari marah jadi ramah. “Hei, Benny. Aku cuma ngobrol sama adik aku.”
Benny mendorongku ke arah meja. “Bantu Rissa,” katanya pendek.
Aku langsung nurut. Berpura-pura tenang, menyeringai sedikit sambil melayani orang-orang yang datang minum kopi. Tapi tanganku gemetaran.
Remy memotong tangan Amilio.
Gara-gara aku?
Aku enggak tahu harus merasa apa.
Amilio pantas sih, dia sudah siksa aku bertahun-tahun. Tapi tetap saja dia kakakku.
Seminggu lalu mungkin aku akan merasa bersalah.
Tapi sekarang?
Remy cuma membalaskan dendamku. Dia enggak bilang, enggak cerita, menyelesaikan semuanya sendiri.
Dadaku panas, mataku mulai basah. Sudah lama sekali aku enggak merasa aman kayak begini. Dan sadar kalau Remy dan Benny akan selalu melindungiku dari siapa pun yang berniat menyentuhku, rasanya lega banget.
Begitu selesai menyajikan kopi dan teh, aku tanya ke Rissa, “Kamu bisa gantiin aku buat bersih-bersih minggu ini, enggak? Minggu depan aku ambil giliran kamu.”
“Uhm … iya, tentu,” jawabnya masih bingung.
“Thanks!” Aku ambil tas, terus buru-buru menghampiri Benny.
Saat kita keluar dari katedral, aku bilang, “Makasih udah jagain aku.”
“Itu kerjaan aku,” jawabnya datar tapi matanya lembut. “Kamu enggak apa-apa?”
Aku senyum kecil ke dia, si pengawal yang sudah seperti teman sendiri sekarang. “Iya. Cuma kaget aja lihat dia kehilangan lengan.”
Begitu masuk mobil, perutku langsung mual campur cemas. Dan waktu sampai di rumah, lututku sudah lemas banget.
Saat Benny berhenti di depan, aku bilang cepat, “Makasih, ya. Sampai besok.”
Aku turun, langsung lari masuk ke rumah. “Remy!” teriakku.
Aku cari di ruang tamu, enggak ada. Dapur juga kosong. “Remy!” panggilku lagi.
Naik ke kamar, masih enggak ada. Dag-dig-dug di jantungku makin kencang. Dia bilang enggak bakal keluar hari ini.
Aku lari ke belakang dan baru lega waktu melihat dia keluar dari kolam renang. Aku spontan tersenyum lega.
Dia mengelap rambutnya pakai handuk, air masih menetes di tubuhnya yang berotot.
“Remy!” panggilku.
Dia langsung menengok, dan ekspresi khawatir muncul di wajahnya saat melihatku berlari ke arahnya.
cepetan update lagi ✊