Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benang takdir baru
Waktu adalah penguji yang kejam. Sembilan bulan berlalu. Bagi Lettu Kalea Aswangga, sembilan bulan adalah medan pertempuran tanpa jeda, tempat ia menumpahkan segala luka menjadi disiplin yang membatu. Di Taktakan, ia menancapkan tiang fokusnya, memilih karir sebagai pelarian paling mulia dari kegetiran sosial. Di lain sisi, Ramdan, yang telah menjalani bulan keempat pernikahan, mendekam dalam formalitas tugas di Markas Yonif 113, sebuah kehampaan yang ironis di tengah hiruk-pikuk militer.
Fokus Kalea adalah kehormatan militer yang tegak lurus, sebuah prinsip yang ia genggam erat sebagai jawaban atas penolakan sosial yang pernah ia terima.
Hasilnya?
Membanggakan. Disiplin tempur yang kental dan kecerdasan analisis Kalea diakui Komando Atas. Lettu Kalea Aswangga dan Lettu Satria lolos seleksi Pasukan Garuda dengan perolehan nilai terbaik. PMPP Sentul, tempat Baret Biru menanti, simbol pengakuan tertinggi dari korps dunia, kini menjadi tujuan mereka selama dua bulan.
Pagi itu di teras rumahnya di Bireuen, Letnan Kolonel (Purn.) Aswangga menikmati pahitnya kopi Gayo, aroma tanah dan dedaunan yang menenangkan. Di hadapannya, Letnan Kolonel (Purn.) Rizwan, sahabat karib sekaligus mitra juang masa lalu, duduk didampingi istri dan Kapten Rizki, putra mereka yang tengah cuti dari Yonif 116. Suasana akrab ini terasa seperti markas komando tua yang sunyi, namun menyimpan riwayat yang panjang.
"Kau tahu, Wan," ujar pak Aswangga, menjeda sesapan kopinya. "Rumah ini damai. Tapi sepi sejak Lea pindah ke Taktakan. Anak itu... dia memilih untuk menjadi komando atas dirinya sendiri.
"Tentu saja. Darah Kopassusmu itu mengalir deras. Dia mencari jawaban atas pilihan hidupnya melalui penugasan," balas pak Rizwan. "Waktu cepat sekali. Putri kecil kita sekarang sudah Lettu."
"Iya. Dan dia makin gila tugas," pak Aswangga menggeleng. "Seperti abangnya, Mayor Byantara. Keduanya mencoba menaklukkan dunia dengan pangkat, lupa menaklukkan hati mereka sendiri."
Telepon dari Mayor Byantara, yang bertugas di Kodam Hasanuddin, segera merobek keheningan.
"Angkatlah, Swangga. Biar kita tahu kabar terbaru dari Makassar. Pasti ada kabar penting, si Mayor tidak akan telepon hanya untuk basa-basi."
Pak Aswangga mengangkat telepon. "Ada apa, Mayor! Tumben kau telepon pagi-pagi begini dari Kodam. Ada apa dengan adikmu?"
Suara Byantara di seberang terdengar seperti laporan singkat komandan peleton yang penuh kemenangan. "Siap, Pa! Ada kabar besar dari Taktakan. Kalea lolos Pasukan Garuda! Nilainya yang terbaik! Dia dan Satria akan ke Sentul untuk pelatihan."
Pak Aswangga terdiam, pandangannya lurus ke puncak bukit di kejauhan. Kemudian, tawanya meledak, tawa yang kuat dan tanpa basa-basi, khas Letkol yang baru saja memenangkan manuver strategi.
"Ha! Kau dengar itu, Wan! Anakku lolos Garuda! Dia akan pakai baret kehormatan itu!"
Pak Aswangga menutup telepon, kebanggaan yang membuncah segera meredup ketika ia mengingat luka lama.
"Byantara hebat. Tapi soal hati, dia tertutup. Sama seperti Lea. Keduanya adalah perwira yang hebat, tapi diuji oleh pilihan hidup yang sulit ya swangga," ujarn pak Rizwan, seolah membaca pikiran pak Aswangga.
"Iya. Dulu Ramdan ingin melamar Lea. Tetapi orang tuanya, menolak mentah-mentah. Bukan karena kinerja Lea," suara pak Aswangga bergetar getir, "tapi karena garis darah. Mereka menuntut silsilah, menghina kehormatan yang tidak diturunkan. Mereka lupa, Wan. Bahwa kehormatan baret tidak pernah peduli dari rahim mana kita dilahirkan.
"Dan Lea, putriku," lanjut pak Aswangga. "Ia membuktikan kehormatan sejati dengan memutus hubungan demi menyelamatkan nyawa ibu Ramdan yang mengancam bunuh diri. Ia memilih nyawa, bukan cinta. Ia memilih prinsip, bukan status."
Kapten Rizki, yang sejak tadi duduk tegap menyimak, kini menggerakkan lehernya, menghilangkan ketegangan, menunjukkan empati yang mendalam. Ia adalah seorang Komandan Kompi, terbiasa menghadapi pilihan sulit di lapangan.
"Pilihan hidup itu rumit, Om Aswangga. Tapi apa yang dilakukan Lettu Kalea adalah pelajaran. Dia membuktikan bahwa kehormatan itu dibentuk oleh baja pengorbanan, bukan air darah," ujar Rizki, suaranya mantap.
Rizwan tersenyum, menatap putranya bangga. "Di sampingmu ini juga Kapten jomblo, Swangga. Pangkatnya Danki, sudah satu tingkat lebih tinggi dari Lettu Lea."
"Kapten Rizki, tidak gentar dengan kisah Ramdan?" tanya pak Aswangga, matanya menatap tajam, menguji.
Rizki, alih-alih tersenyum malu, mengambil posisi formal, meski hanya duduk di teras. "Siap, Om! Justru itu yang membuat saya tertarik. Saya sudah pernah mengikuti Lattis dengan Lettu Kalea. Dia itu Singanya Kodam di lapangan, menguasai lapangan dengan naluri Kopassus yang tajam."
Rizki berhenti sejenak, wajahnya menunjukkan kekaguman yang tulus. "Tapi di luar seragam, dia tidak ingin ada bawahan yang berlebihan. Dia tahu benar, hierarki hanya berlaku saat bertempur, sisanya adalah kemanusiaan. Itu yang membedakannya. Dia tahu batas antara pangkat dan hati.
Kedua purnawirawan itu tersenyum puas. Pandangan mereka kini tidak lagi hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi tentang strategi masa depan.
"Baiklah, Wan. Kita sepakat," kata pak Aswangga, suaranya kembali ke mode strategi komandan. "Kita tidak menjodohkan. Kita hanya membuka jalur penugasan yang memungkinkan."
Pak Rizwan mengangguk. "Rizki, kamu akan melaksanakan Misi Pengawalan Kehormatan kan? Cepat atur urusan dinas ke Sentul, pastikan itu alasan yang paling logis. Jaga komunikasi dengannya, sebagai perwira senior kepada junior yang sedang mengemban tugas negara. Jangan melangkah keluar dari koridor formalitas militer, mengerti?"
Kapten Rizki, kini penuh tekad dan gembira, menjawab tegas. "Siap, Om! Perintah diterima. Saya akan segera mencari alasan dinas yang relevan."
"Ide bagus, Wan," balas Aswangga, menepuk bahu Rizwan. "Kita harus pastikan putri kita mendapatkan kehormatan yang pantas dia terima, baik dari baret maupun dari hati."
Di Bireuen, di bawah langit Aceh yang damai, dua Letnan Kolonel (Purn.) telah meluncurkan sebuah Operasi Senyap untuk menggariskan takdir baru. Lettu Kalea Aswangga akan terbang tinggi sebagai Garuda, sementara Kapten Rizki telah ditugaskan sebagai pengawal kehormatan pertamanya. Benang takdir mereka, kini diikat oleh disiplin militer yang kental, telah dibentuk oleh baja pengorbanan.