NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:160
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

latihan.

Malam turun perlahan di atas kota Lambergeth.

Hujan rintik membasuh gang-gang sempit yang dipenuhi kabut. Cahaya lentera di dinding bergoyang tertiup angin, memantulkan bayangan yang menari di antara bata tua dan jendela berdebu.

Di ujung gang itu berdiri sebuah rumah kayu tua — kediaman seorang pria misterius yang baru ditemui Anzu siang tadi.

Udara di dalam rumah terasa berat.

Aroma dupa, logam, dan debu kuno bercampur jadi satu.

Pria tua itu menatap Anzu sejenak sebelum naik ke lantai atas.

“Jika kau ingin tahu siapa dirimu… dengarkanlah suaramu sendiri malam ini.”

Lalu ia meninggalkannya dalam kesunyian ruang bawah tanah yang redup — di tengah cahaya lilin dan simbol lingkaran kuno yang terukir di lantai batu.

Anzu duduk bersila di tengah ruangan.

Matanya terpejam. Nafasnya teratur, tapi pikirannya bergejolak.

Ia mencoba hening — tapi justru kenangan berdarah kembali muncul.

Api. Jeritan. Sosok Reinhard berdiri di depannya, darah menetes dari dadanya.

Dan suara Raja Celestia bergema dalam ingatan, penuh kebencian dan ejekan.

“Makhluk dari dunia lain… kau bukan manusia.”

Giginya terkatup. Tubuhnya bergetar.

Namun kali ini, ia tidak ingin lari dari bayangan itu.

Ia menatap gelap pikirannya, menantang amarahnya sendiri.

“Jika dunia ini menolak keberadaanku…” desisnya lirih, “...maka aku akan menciptakan kekuatanku sendiri.”

Dalam diam, sesuatu di dalam dirinya berdenyut.

Pelan—berirama seperti jantung kedua.

Thump… thump… thump…

Denyut itu memanggil sesuatu di dalam dirinya, dan dari kehampaan kesadarannya, cahaya merah gelap mulai berputar.

Kabut energi menari di sekeliling tubuhnya, memancar dari dada—hidup, tapi liar.

Aura itu keluar dari tubuh Anzu, mengalir seperti kabut berdarah, berputar di sekelilingnya.

Lilin-lilin bergetar, lalu padam.

Cahaya merah memenuhi ruangan.

“Ini… auraku…” gumam Anzu, suara bergetar antara kagum dan takut.

Lantai retak halus, simbol-simbol kuno berdenyut seperti jantung.

Energi spiritual menyebar, menembus dinding, membuat udara bergetar seperti badai yang tak terlihat.

Lalu sesuatu terjadi—

pedang Anzu, yang bersandar di pojok ruangan, bergetar.

Kling…

Bilahan itu terangkat perlahan dari tanah, seolah merespons panggilan jiwa tuannya.

Serpihan aura merah menyelubunginya, membuatnya melayang di depan Anzu, menggetarkan udara di sekitarnya.

Anzu menatapnya terpana.

Matanya memantulkan cahaya merah tua yang sama—resonansi antara dirinya dan pedang itu kini sempurna.

“Kau… menjawabku,” bisiknya.

Pedang itu bergetar pelan, mengeluarkan nada rendah seperti napas makhluk hidup.

Dari dalam jiwanya, sebuah tawa berat dan dingin bergema.

Tawa yang penuh kepuasan, namun juga ancaman.

“Kukira kau hanya bocah yang akan hancur oleh kebencianmu sendiri,”

suara Satan menggema di dalam kesadarannya.

“Tapi kau membuktikan aku salah… kau membangunkan auramu tanpa bantuanku.”

Anzu berdiri perlahan.

Aura merah gelap masih menari di sekitarnya, membentuk lapisan samar di udara.

Pedangnya melayang di samping tubuhnya, seolah menjadi bagian dari dirinya sendiri.

“Aku tidak membutuhkanmu untuk membangunkannya,” ucap Anzu datar. “Tapi aku tahu… kau pasti sedang tersenyum, kan?”

Suara iblis itu tertawa pelan—dalam, menggema, dan mengguncang jiwanya.

“Ha… ha… ha… benar.

Kau sudah berjalan di jalanku, Anzu.

Darahmu kini bergetar seperti darah para dosa besar di masa lalu.

Itulah yang kuinginkan sejak awal.”

Kabut aura merah gelap berputar semakin cepat, menyelimuti tubuh Anzu dan pedangnya.

Sebuah lingkaran simbol baru terbentuk di bawah kakinya — bukan dari darah, tapi dari cahaya aura murni.

Pria tua itu turun perlahan dari tangga, matanya membulat saat melihat pemandangan itu.

“Kau… membangunkan auramu sepenuhnya,” katanya terkejut.

“Tanpa bimbingan, tanpa ritual.

Aura itu… hidup sepenuhnya di dalam jiwamu.”

Anzu perlahan menurunkan tangannya.

Pedangnya jatuh perlahan ke tanah, tapi aura di sekitarnya masih berdenyut pelan.

“Sejak malam ini,” katanya tenang, “aku takkan takut lagi pada kekuatan ini.”

Pria tua itu hanya menatapnya diam—antara kagum dan khawatir.

Sementara di dalam kesadarannya, suara Satan bergema lagi, lebih dalam, seolah menatap dari balik kabut merah.

“Hiduplah sebagaimana mestinya, Anzu.

Karena mulai saat ini… dunia ini akan menatapmu bukan sebagai manusia,

tapi sebagai sesuatu yang lebih.”

Anzu menghela napas panjang, menatap ke arah langit-langit yang mulai diterangi cahaya pagi.

Dalam matanya, bara merah tua berkilau samar.

“Kalau begitu… biar dunia menatap balik padaku.”

Pagi itu, matahari baru saja menembus kabut tipis yang menyelimuti atap-atap kota Lambergeth.

Udara dingin masih menggigit kulit, tapi halaman belakang rumah tua itu sudah dipenuhi suara hantaman keras.

BUAAKH!

Anzu menghantam batu besar dengan telapak tangannya.

Aura merah gelap berdenyut di sepanjang lengannya, lalu meledak—

batu itu retak dari tengah, serpihannya beterbangan.

Uap merah samar keluar dari tubuhnya.

Keringat bercampur dengan hawa panas yang menyelimuti udara.

“Huft… huft…”

“Terlalu berat… tapi semakin aku paksakan, auranya makin menyatu,” gumamnya pelan.

Ia menggenggam pedangnya. Bilah itu memantulkan cahaya merah—resonansi dari auranya sendiri.

Setiap kali ia mengayunkan pedang, udara bergetar, menimbulkan gema tipis seperti suara roh yang berteriak pelan.

Pria tua itu memperhatikannya dari teras.

Wajahnya teduh, tapi ada guratan khawatir di matanya.

“Dia belajar dengan kecepatan di luar nalar… tapi jika tubuhnya belum siap, jiwa dan auranya bisa saling menelan,” bisiknya pelan.

Sementara di dalam kesadaran Anzu—

suara itu muncul lagi.

Bergetar… dalam… dan berat.

“Kau mulai memahami… bahwa tubuh hanyalah wadah,”

suara Satan bergema di pikirannya.

“Tapi wadah yang lemah akan pecah, dan hanya yang kuat yang dapat menanggung kekuatan kehampaan.”

Anzu berhenti berlatih, menggertakkan giginya.

“Aku tidak butuh peringatanmu,” ujarnya datar.

“Tubuhku akan menyesuaikan—seperti jiwaku yang sudah melampaui batas.”

“Hahaha… begitu sombong, namun menarik,” jawab Satan dengan tawa berat.

“Lanjutkan, Anzu. Setiap kali auramu berdenyut, sebagian dari jiwaku ikut bergetar di dalam dirimu.”

Aura merah di sekitar tubuhnya beriak seperti air yang mendidih—

resonansi antara jiwa Anzu dan Satan perlahan menyatu, menciptakan getaran halus yang merambat ke seluruh tanah.

Tanah di sekitarnya bahkan menghitam, terbakar oleh energi spiritual yang terlalu padat.

Di sisi lain — Tengah kota Lambergeth

Langit sudah mulai cerah.

Pasar kota ramai dengan para pedagang yang berteriak menawarkan dagangan—roti, kain, dan logam tua hasil tambang pegunungan barat.

Di antara keramaian itu, seorang pemuda berambut coklat muda berjalan perlahan sambil membawa tas kulit.

Itu Alfred.

Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya terus menelusuri setiap sudut jalan, setiap percakapan.

“Kata Anzu, orang-orang raja sedang mencari seseorang di kota ini…” gumamnya pelan.

“Kalau benar itu dia yang mereka cari, maka situasi bisa memburuk cepat.”

Ia berhenti di depan warung kecil, membeli sepotong roti, lalu duduk diam.

Telinganya menangkap percakapan dua pria di seberang meja.

“Kau dengar? Para pengintai dari Istana Kerajaan Celestia sudah tiba sejak kemarin.”

“Ya, katanya mereka mencari pria muda dengan mata merah... disebut-sebut membawa kutukan dari dunia lain.”

Alfred terdiam. Jari-jarinya menggenggam roti dengan erat.

“Sial… mereka benar-benar sampai di sini,” bisiknya.

“Anzu harus segera tahu.”

Namun saat ia berdiri untuk pergi, dari arah lain muncul sosok berpakaian hitam—topeng logam menutupi wajahnya. Tatapan dingin, langkah tenang.

Tanda lambang kerajaan terpahat di pelindung bahunya.

“Kau. Pemuda berambut coklat,” ucapnya datar. “Kau datang dari arah barat kemarin sore, bukan?”

Alfred menatapnya tajam, mencoba tetap tenang.

“Hanya pedagang keliling,” jawabnya singkat.

“Begitu ya…”

prajurit bertopeng itu melangkah lebih dekat. “Kalau begitu, kau pasti tahu sesuatu tentang orang yang kami cari.”

Udara di sekitar mereka menjadi tegang.

Kerumunan pasar mulai menjauh tanpa suara.

Alfred menghela napas pelan.

“Kalau ini masalahnya… sepertinya aku tidak punya pilihan.”

Tangan kanannya menyentuh pedang di pinggangnya.

Matanya berubah tajam—tak lagi seperti pemuda ceroboh yang biasa.

“Untuk melindunginya… aku siap menebas siapa pun.”

...----------------...

Kembali ke rumah tua

Anzu berdiri di tengah halaman, menatap telapak tangannya yang masih bergetar.

Aura merah berkilau di sekitarnya, lalu perlahan menyusut masuk ke tubuhnya.

“Aku bisa merasakannya… setiap kali auraku berdenyut, sesuatu di dalam jiwaku ikut bergerak.”

“Satan… apa yang sebenarnya terjadi padaku?”

“Kau bertanya seolah jawabanku akan menenangkanmu,” jawab Satan tenang.

“Padahal jawabannya sederhana — aku dan kau mulai menyatu.”

Suara itu menggema dalam pikirannya, lalu hilang seketika, meninggalkan gema samar seperti napas di dalam jiwanya.

Anzu menatap langit pagi yang perlahan cerah.

Matanya masih menyala redup, tapi kali ini tak lagi kosong—

ada sesuatu yang mulai tumbuh di balik tatapan itu: kesadaran baru akan kekuatan dan bahaya yang ia bawa.

“Kalau dunia menatapku sebagai ancaman…”

“…maka biarlah aku jadi ancaman itu.”

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!