NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Misi Jurn yang Hilang

“Sayap Barat Istana,” bisik Jenderal Kim. Ia langsung membuang muka, dagunya menegang seolah menyesali setiap suku kata yang baru saja lolos dari bibirnya.

Sebuah bom baru saja meledak tanpa suara di dalam kepala Hwa-young. Sayap Barat. Tempat penyimpanan arsip-arsip kuno, artefak yang terlupakan, dan rupanya, rahasia-rahasia yang sengaja dikubur. Di kehidupan sebelumnya, ia tidak pernah punya alasan untuk mendekati tempat itu. Sekarang, tempat itu menjadi pusat dunianya.

“Di mana tepatnya di Sayap Barat?” desak Hwa-young,  ikut melirih, mencoba menjaga momentum pengakuan yang rapuh ini.

Jenderal Kim menggelengkan kepalanya dengan tegas, matanya kembali menjadi baja. Dinding itu telah dibangun kembali, lebih kokoh dari sebelumnya. “Saya sudah mengatakan terlalu banyak, Yang Mulia. Lupakan percakapan ini.”

“Bagaimana aku bisa melupakannya?” balas Hwa-young, nadanya mengandung keputusasaan yang tulus. “Itu peninggalan terakhir ibuku.”

“Dan justru karena itulah Anda harus menjauhinya,” kata Jenderal Kim,  kembali datar dan dingin. “Beberapa pintu lebih baik dibiarkan tertutup. Sekarang, jika Anda mengizinkan, saya akan kembali ke pos saya.”

Ia membungkuk singkat, sebuah gerakan formal yang menandakan akhir dari percakapan, dan mundur selangkah, kembali ke posisinya di ambang pintu. Patung itu telah kembali.

Hwa-young menatapnya dengan frustrasi yang membara, tetapi ia tahu ia tidak akan mendapatkan apa-apa lagi darinya. Tidak untuk hari ini. Ia sudah mendapatkan lokasinya. Itu lebih dari cukup.

Ia berbalik, berjalan ke arah meja riasnya dengan langkah yang dibuat-buat tenang. Jantungnya berpacu, otaknya berputar seribu kali lebih cepat. Sayap Barat. Ia harus ke sana. Ia harus mendapatkan jurnal-jurnal itu sebelum Matriarch Kang, yang kini waspada, memutuskan untuk memusnahkan semua bukti yang tersisa dari warisan ibunya.

Tapi bagaimana? Dengan Jenderal Kim yang menempel seperti lintah, dan seluruh istana yang menjadi mata dan telinga Ibu Suri, berjalan-jalan ke Sayap Barat sama saja dengan menyerahkan lehernya ke tiang gantungan.

Ia butuh uji coba. Sebuah umpan.

Ia menepuk tangannya dua kali. Tak lama kemudian, seorang dayang muda berwajah polos masuk, membungkuk dengan sedikit canggung. Namanya Min-ji. Hwa-young mengingatnya dari kehidupan sebelumnya,  gadis itu agak ceroboh, banyak bicara, dan sama sekali tidak berbakat dalam intrik istana. Sempurna.

“Yang Mulia memanggil?” tanya Min-ji dengan suara melengking.

“Ya, Min-ji,” kata Hwa-young dengan senyum ramah. “Aku butuh bantuanmu. Kepalaku terasa sedikit sakit lagi.”

“Oh, haruskah hamba memanggil tabib istana, Yang Mulia?”

“Tidak, tidak perlu,” Hwa-young melambaikan tangannya. “Ibuku dulu punya ramuan khusus untuk sakit kepala seperti ini. Terbuat dari daun perak yang hanya tumbuh di pegunungan utara. Aku yakin tabib istana tidak menyimpannya.”

Min-ji tampak bingung. “Lalu ... bagaimana hamba bisa membantu?”

“Ibuku dulu menyimpan beberapa kantong daun kering itu untuk keadaan darurat,” jelas Hwa-young, nadanya penuh nostalgia palsu. “Beliau menyimpannya di salah satu gudang penyimpanan obat-obatan tua. Aku tidak yakin yang mana, tapi catatannya bilang lokasinya ada di dekat paviliun arsip di Sayap Barat.”

Mata Min-ji membelalak. “Sayap Barat, Yang Mulia? Tapi ... tempat itu jarang sekali dikunjungi. Katanya berhantu.”

“Jangan percaya takhayul seperti itu,” Hwa-young tertawa ringan. “Aku hanya butuh kamu pergi ke sana, cari gudang obat bernomor tujuh, dan ambilkan sekantong kecil daun kering dengan label bunga plum. Bisakah kamu melakukannya untukku?”

“T-tentu saja, Yang Mulia! Hamba akan segera pergi!” kata Min-ji, tampak bersemangat karena diberi tugas penting.

“Tunggu,” Hwa-young menahannya. “Pergilah diam-diam. Aku tidak mau merepotkan siapa pun dengan sakit kepalaku ini. Jika ada penjaga yang bertanya, katakan saja kau sedang mengambil persediaan sulaman untukku.”

“Baik, Yang Mulia! Hamba mengerti!” Min-ji membungkuk lagi dan bergegas keluar.

Hwa-young menatap punggungnya yang menghilang, napasnya tertahan. Umpan telah dilepaskan. Sekarang, ia tinggal menunggu ikan mana yang akan memakannya. Ia tidak peduli dengan daun perak itu. Ia hanya ingin tahu satu hal,  seberapa ketat penjagaan di Sayap Barat? Akankah Min-ji dihentikan? Diinterogasi? Atau lebih buruk lagi, ditangkap? 

Sayap Barat. Ia hampir tidak pernah ke sana. Lorong-lorongnya panjang dan berdebu, udaranya terasa dingin. Ia memegang erat catatan dari Putri Mahkota di tangannya.

Mengapa harus diam-diam?

Di persimpangan koridor, ia melihat sosok yang familier. Puan Lee, kepala dayang yang selalu bersikap baik padanya.

Puan Lee berbalik, senyum keibuan tersungging di bibirnya. “Min-ji? Kenapa kau terburu-buru seperti itu? Dan kenapa kau ada di area ini?”

“Ah ... i-itu…” Min-ji tergagap. Perintah Putri Mahkota untuk diam-diam terngiang di telinganya.

“Ada apa, Nak? Kau bisa memberitahuku,” bujuk Puan Lee lembut, tangannya menepuk pundak Min-ji. “Kau tampak seperti sedang membawa beban berat.”

Kehangatan itu meruntuhkan pertahanan Min-ji. “Putri Mahkota ... beliau menyuruhku mengambil sesuatu. Obat langka untuk sakit kepalanya. Di gudang nomor tujuh.”

Alis Puan Lee terangkat sedikit. “Obat? Di Sayap Barat? Aneh sekali. Kenapa tidak meminta dari apotek istana?”

“Katanya ini ramuan khusus dari mendiang Ratu,” bisik Min-ji. “Beliau juga memintaku untuk tidak memberitahu siapa pun.”

Senyum Puan Lee semakin lebar, tetapi matanya menjadi dingin. “Begitu, ya. Putri Mahkota sangat memercayaimu, rupanya. Itu tugas yang sangat penting. Tapi kau tahu, area ini dijaga ketat. Mungkin aku bisa memberimu sedikit nasihat agar kau tidak mendapat masalah.”

“Benarkah?” mata Min-ji berbinar.

“Tentu saja,” kata Puan Lee. “Tapi pertama-tama, aku harus melaporkan hal kecil pada Ibu Suri. Tunggu di sini sebentar. Jangan ke mana-mana.”

Puan Lee berbalik dan berjalan cepat ke arah yang berlawanan, meninggalkan Min-ji yang menunggu dengan patuh, tidak menyadari bahwa ia baru saja menyerahkan kunci pada serigala.

Di paviliunnya, Matriarch Kang sedang menyesap teh ginseng ketika Puan Lee masuk dan berbisik di telinganya.

Ia meletakkan cangkirnya dengan gerakan yang lambat dan terkendali. Keheningan memenuhi ruangan.

“Sayap Barat,” gumam Matriarch Kang pelan, seolah sedang mencerna sebuah teka-teki. “Gudang obat. Daun perak.” Ia tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Gadis itu tidak sebodoh yang kukira.”

“Apa yang harus kita lakukan, Ibu Suri?” tanya Puan Lee. “Haruskah kita menangkap dayang itu dan menginterogasinya?”

“Tidak,” jawab Matriarch Kang. Matanya berkilat licik. “Menangkap seekor tikus kecil tidak ada gunanya. Kita harus menunggu sampai induknya keluar dari sarang. Biarkan gadis itu pergi. Pastikan tidak ada satu pun penjaga yang menghalanginya. Buat jalannya semudah mungkin.”

Puan Lee tampak bingung. “Membiarkannya, Ibu Suri?”

“Tentu saja,” desis Matriarch Kang. “Menantuku yang tercinta itu sedang menguji air. Ia ingin melihat apakah ada buaya di dalamnya. Jika kita menakut-nakutinya sekarang, ia akan kembali bersembunyi. Tapi jika kita tunjukkan padanya bahwa airnya tenang dan aman…”

Ia tersenyum, senyum seekor predator. “Maka malam ini, ia akan datang sendiri untuk berenang. Dan saat itulah kita akan menjeratnya.”

“Saya mengerti,” Puan Lee membungkuk dalam-dalam.

“Pergi,” perintah Matriarch Kang. “Pastikan semua penjaga di sekitar paviliun arsip ditarik mundur. Biarkan tempat itu tampak seperti kuburan yang terlupakan. Aku ingin ia berpikir kita lengah. Aku ingin ia merasa percaya diri.”

Setengah jam kemudian, Min-ji kembali ke Paviliun Bulan Baru, napasnya sedikit terengah-engah. Di tangannya ada sebuah kantong kain kecil yang sudah berdebu.

“Yang Mulia! Hamba berhasil!” serunya sambil menyerahkan kantong itu pada Hwa-young.

Hwa-young mengambilnya. Tangannya terasa dingin. “Bagaimana perjalananmu? Apakah ada masalah?”

“Tidak sama sekali, Yang Mulia! Aneh sekali,” jawab Min-ji. “Hamba pikir akan ada banyak penjaga, tapi tidak ada seorang pun di sana. Koridornya benar-benar sepi. Hamba bisa masuk dan keluar tanpa ada yang melihat!”

Darah serasa surut dari wajah Hwa-young.

Sepi.

Tidak ada penjaga.

Mudah.

Kata-kata itu berdentang di kepalanya seperti lonceng kematian. Di kehidupan sebelumnya, Sayap Barat adalah salah satu area yang paling dijaga setelah paviliun kekaisaran, karena menyimpan catatan-catatan sensitif negara. Tidak mungkin tempat itu dibiarkan kosong tanpa alasan.

Ini jebakan.

Matriarch Kang tahu. Entah bagaimana, wanita itu tahu ia mengincar sesuatu di sana. Umpannya tidak hanya dimakan, tetapi juga dikirim kembali dengan kail beracun tersembunyi di dalamnya. Wanita ular itu tidak bereaksi dengan memperketat keamanan. Ia bereaksi dengan membukanya lebar-lebar, mengundangnya masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan.

Hwa-young merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Ia telah membuat kesalahan besar. Ia terlalu mengandalkan ingatannya akan masa lalu. Ia lupa variabel terpenting,  dirinya sendiri. Tindakannya telah mengubah papan catur. Perilakunya yang berbeda telah memicu reaksi yang berbeda. Masa depan tidak lagi terukir di atas batu.

“Kau melakukannya dengan baik, Min-ji,” kata Hwa-young,  terdengar tegang. “Sekarang, tinggalkan aku. Aku butuh istirahat.”

Setelah Min-ji pergi, Hwa-young merosot ke kursinya. Rencananya untuk menyelinap ke Sayap Barat malam ini hancur berkeping-keping. Jika ia pergi, ia akan disambut oleh seluruh pasukan Ibu Suri. Ia terjebak. Ia telah menunjukkan kartunya terlalu cepat.

Frustrasi dan amarah bergejolak di dalam dirinya. Ia menatap ke luar jendela saat matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu. Malam akan segera tiba. Malam yang seharusnya menjadi malam misinya, kini menjadi malam penantian yang tak berdaya.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana ia bisa membalikkan keadaan?

Pikirannya terputus oleh suara keributan yang tidak biasa dari luar paviliun. Bukan hanya langkah kaki dayang, tetapi suara langkah-langkah berat, perintah-perintah yang pelan, dan derit perabotan yang dipindahkan.

Hwa-young berdiri dengan waspada. Apa lagi ini? Apakah Matriarch Kang sudah tidak sabar dan memutuskan untuk menangkapnya sekarang?

Pintu kamarnya digeser terbuka dengan kasar. Bukan oleh dayang, melainkan oleh dua orang kasim berbadan tegap yang membawa sebuah peti kayu besar. Di belakang mereka, barisan pelayan lain membawa masuk ranjang lipat, meja tulis, dan bahkan rak senjata kecil. Mereka mulai menata barang-barang itu di sisi lain ruangan dengan efisiensi yang senyap.

“Apa-apaan ini?” tuntut Hwa-young,  tajam karena bingung dan cemas. “Siapa yang memberi kalian izin untuk masuk dan memindahkan barang-barang ini ke kamarku?”

Seorang kepala kasim yang mengawasi pekerjaan itu berbalik dan membungkuk dalam-dalam. “Mohon maaf atas gangguan ini, Yang Mulia Putri Mahkota. Kami hanya menjalankan perintah dari Yang Mulia Pangeran Mahkota.”

“Perintah Pangeran Mahkota?” ulang Hwa-young, firasat buruk mulai menjalari dirinya. “Perintah apa?”

Sebelum kasim itu sempat menjawab, sebuah suara dingin yang familier memotong dari ambang pintu.

“Perintahku.”

Yi Seon melangkah masuk ke dalam ruangan, jubahnya berdesir di lantai. Ia melirik sekilas pada kekacauan para pelayan, lalu matanya tertuju pada Hwa-young. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya mengandung sesuatu yang Hwa-young tidak bisa baca, kepuasan, mungkin?

“Yang Mulia,” sapa Hwa-young kaku. “Bolehkah saya bertanya apa arti semua ini?”

Yi Seon berjalan melewatinya, memeriksa penempatan meja tulis barunya seolah sedang menginspeksi barak militer.

“Cukup sederhana,” katanya tanpa menoleh. “Aku memindahkan barang-barangku ke sini.”

Hwa-young membeku. Seluruh udara seolah tersedot keluar dari paru-parunya. “Memindahkan ... ke sini? Ke kamarku?”

“Tentu saja,” jawab Yi Seon, akhirnya berbalik menghadapnya. Senyum tipis yang mengerikan tersungging di bibirnya. “Nenekku memberitahuku bahwa kesehatanmu sangat rapuh akhir-akhir ini. Kau sering sakit kepala. Kau butuh pengawasan yang lebih ketat.”

Ia melangkah lebih dekat,  turun menjadi bisikan yang hanya bisa mereka berdua dengar.

“Sebagai suamimu yang penuh perhatian, aku memutuskan untuk mengawasimu secara pribadi. Mulai malam ini, dan setiap malam setelahnya, aku akan tidur di sini.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!