Senja telah menanti selama lebih dari 10 tahun, menahan perasaannya terhadap Tiara yang telah menikah dengan pria lain. Tapi ketika dia memergoki suami Tiara berselingkuh, api cintanya yang telah lama dipendam kembali berkobar dengan dahsyat. "Aku telah menanti terlalu lama, jadi aku tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu untuk kedua kalinya."
Tekad Senja sudah membara, tapi apakah dia siap untuk menghadapi badai etika dan moral yang akan menghantamnya, mengingat status Tiara yang masih istri pria lain? Dan apakah Tiara akan meninggalkan suaminya yang berkhianat dan memilih cinta Senja yang tak pernah mati? Atau, dia justru memilih untuk tetap setia pada pernikahannya demi sang buah hati?
Baca cerita selengkapnya hanya di sini>>>
Dan jangan lupa follow IG @itayulfiana untuk melihat visual mereka😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 26
Tiara : Maaf, tadi daya ponselku habis. Mengenai masalah yang kemarin, aku pasti akan datang menemuimu dan bertanggung jawab.
Pesan dari Tiara membuatku akhirnya bisa bernapas lega. Aku tersenyum sendiri sambil membacanya, membuat Ibu yang duduk di seberang mejaku bertanya, "Pesan dari siapa, Ja? Kok Ibu perhatikan kamu senyum-senyum sendiri sampai wajahmu berseri-seri begitu."
"Bukan siapa-siapa, Bu. Hanya seorang teman," jawabku, lalu menyendok potongan alpukat masuk ke dalam mulut menggunakan garpu.
"Ibu pikir sekarang kamu sudah punya pacar," kata Ibu dengan nada yang membuatku tertawa.
"Belum, Bu. Kalau aku punya, mana mungkin tidak kukenalkan pada Ibuku tersayang," jawabku, mencoba mengalihkan perhatian Ibu.
"Kamu itu loh, Ja, bisa dibilang usiamu sudah gak muda lagi. Di usia sekarang, harusnya kamu minimal sudah punya calon pendamping hidup. Dulu, alasanmu tidak mau menikah karena belum mapan, sekarang mau pakai alasan apa lagi?"
"Tenang aja, Bu. Gak usah khawatir. Aku ini laki-laki, telat menikah gak bakalan jadi masalah," kataku, mencoba menenangkan Ibu.
"Iya, kamu memang gak ada masalah. Yang masalah itu Ibu, karena Ibu makin hari makin tua. Kalau kamu nikahnya masih lama, bisa-bisa Ibu gak bisa gendong cucu."
Aku hanya tertawa menanggapi ucapan Ibu. Dalam hati berkata, "Sabar sedikit, Bu. Calon menantumu masih belum bercerai dengan suaminya. Masalah cucu, nanti Ibu akan langsung dapat cucu yang sudah besar. Hahaha."
Suasana hatiku benar-benar baik sejak kemarin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Berhubung pemilik kafe ini adalah temanku, jadi aku bisa mereservasi semua meja di lantai 2 dengan mudah agar tak ada yang mengganggu nantinya. Setelah memesan menu kopi terbaik dan terenak untukku juga Tiara, aku segera naik ke lantai 2 untuk menunggunya.
Setelah menunggu selama hampir 20 menit, orang yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku melambaikan tangan sambil tersenyum padanya, ketika melihatku dia segera naik menghampiri.
"Akhirnya kamu datang juga." Aku bangkit dari dudukku dan menarik kursi untuk dia duduk. Aku senang sekali dia datang, sampai-sampai aku tak bisa berhenti tersenyum.
Jalanan yang macet membuatnya sampai lebih lambat. Tapi aku tidak masalah menunggunya lebih lama, asal ujung-ujungnya dia pasti datang.
Kata Tiara, dia sangat menyukai kafe ini hingga menobatkannya sebagai tempat favorit terbarunya sebab suasana di sini sangat tenang dan terdapat banyak sekali buku. Aku puas sekali mendengarnya. Sebab memang itulah tujuan utamaku memilih tempat ini untuk bertemu dengannya.
Sebenarnya dulu aku tidak terlalu suka membaca buku, tapi karena aku jatuh cinta padanya, aku jadi mulai tertarik. Aku mulai membaca buku-buku yang dia suka, mencoba memahami apa yang membuatnya mencintai dunia literasi. Aku ingin bisa berbicara dengan dia tentang buku, dan membuatnya senang.
Definisi jatuh cinta pada orangnya, tapi malah mengikuti hobinya.
Kami kemudian mengobrol santai, membahas beberapa hal hingga akhirnya dia mulai membicarakan masalah kemarin sore.
"Mengenai kecerobohan adikku kemarin, aku benar-benar minta maaf yang sebesar-besarnya. Oh ya, apa kamu sudah membawa mobilmu ke bengkel resmi? Berapa biaya ganti rugi yang harus kubayar?"
Pertanyaannya membuatku tertawa. Andai aku bisa langsung mengatakan kalimat yang ada dalam hati dan pikiranku, "Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya menginginkan hatimu sebagai ganti ruginya." Sayangnya, aku tak bisa berkata demikian. Seandainya aku nekat, Tiara mungkin akan illfeel padaku. Atau bisa saja dia langsung menamparku dengan tasnya dan pergi. Oh tidak, jangan sampai hal seperti itu terjadi. Aku tidak ingin dia menjauhiku, justru yang kuinginkan adalah sebaliknya.
"Sebenarnya aku mengajakmu kemari bukan untuk membicarakan masalah kemarin. Mengenai kecelakaan kecil itu, aku tidak akan mempermasalahkannya dan kamu tidak perlu membayar ganti rugi sepeser pun," kataku.
Namun dia tetap bersikeras ingin membayar, dan setelah kutolak dengan tegas, barulah dia mau mengalah.
"Aku jadi tidak enak," ucapnya dengan ekspresi yang sesuai dengan perkataannya.
Aku tersenyum lalu berkata, "Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Sungguh."
"Lalu... jika tujuanmu mengajakku kemari bukan untuk membahas masalah itu, memang hal penting apa yang katanya ingin kamu bicarakan denganku?" Dia menatapku dengan raut penasaran.
Aku kemudian menjelaskan soal tawaran novelnya yang ingin diterbitkan. Tapi dia tidak bisa langsung memberiku keputusan karena katanya semua karyanya sudah dikontrak oleh platform kepenulisan tempatnya berkarya selama ini.
Sebenarnya, perkataanku pada Tiara tak sesuai kenyataannya. Aku bilang penerbit yang tertarik ingin menerbitkan karyanya menjadi buku, padahal diam-diam, aku yang ingin membiayai segalanya, hingga mempromosikan karyanya ke pasaran jika dia tertarik.
Aku ingin mendukung karirnya sebagai penulis, aku ingin dia berdaya sebagai wanita, dan membuatnya bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Semua itu ingin kulakukan karena cintaku padanya, ingin melihatnya bahagia dan sukses dengan caranya sendiri.
Di saat topik pembahasan kami sedang serius-seriusnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Katanya adiknya masuk rumah sakit, jadi dia harus buru-buru pergi.
Aku hanya bisa menatap punggung Tiara yang berlari pergi meninggalkan kafe dengan khawatir. Seandainya bisa, aku ingin sekali pergi menemaninya. Tapi kalau dipikir-pikir, bukankah terlalu mencurigakan jika aku terlalu peduli pada urusan pribadinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Bro, aku sudah memesan tiket pesawat untuk kita berdua," kata Boy mengabariku melalui sambungan telepon. Aku mengangguk meski Boy tidak melihatnya.
"Hem," gumamku. "Berapa hari kita di sana?"
"Mungkin sekitar 4 sampai 5 hari. Tergantung cepat lambatnya urusan kita selesai," jawab Boy.
"Oke. Aku mengerti."
Panggilan kami berakhir. Sebelum berangkat, aku berniat menyempatkan diri untuk menjenguk adik Tiara di rumah sakit. Hitung-hitung sebagai alasan tidak langsung untuk bertemu dengan bidadari hatiku tersebut.
Sayangnya, kata Tiara dia sudah membawa pulang adik satu-satunya itu. Kondisinya baik-baik saja, jadi tidak perlu dilakukan rawat inap di rumah sakit.
Sebenarnya itu kabar baik, dan aku ikut senang mengetahuinya, tapi di waktu yang bersamaan aku merasa sedikit kecewa, karena itu berarti aku tidak bisa bertemu dengan Tiara sebelum berangkat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Singkat cerita, lima hari kemudian aku sudah kembali dari luar kota. Setelah dari bandara, aku pulang menggunakan taxi untuk pulang ke rumah. Tak disangka saat melewati jalanan yang sepi, tiba-tiba aku melihat 3 orang anak muda sedang menghadang motor anak seusianya yang aku kenal. Ketiga anak muda itu masing-masing membawa balok kayu di tangannya, sementara yang dihadang tersebut tidak membawa apa pun.
"Pak, berhenti dulu," kataku pada sopir taxi.
"Ada apa, Pak?" tanya pria paruh baya tersebut.
"Sepertinya aku melihat beberapa anak muda yang hendak berkelahi."
"Biarkan saja mereka, Pak. Namanya juga anak muda. Kita tidak perlu ikut campur," kata Bapak sopir taksi tersebut.
"Tidak bisa seperti itu, Pak. Masalahnya, yang mau dipukul..."
Aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku, buru-buru keluar dari mobil karena salah satu dari mereka sudah mengangkat balok kayu dan bersiap memukul pemuda yang masih terlihat duduk santai di atas motor.
"Hey, kalian! Hentikan!" teriakku.