NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:695
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 29 - Jeda

Vee

Setelah hari itu, Tyler tidak pernah kembali lagi ke set. Studio terasa sama, tapi segalanya berubah.

Thomas Hunt kini hadir setiap hari, memastikan setiap adegan diarahkan dengan baik. Ia terlihat lelah—tulang pipinya makin menonjol, kulitnya pucat—tapi terlalu keras kepala untuk duduk diam. Kadang aku melihat tangannya sedikit gemetar saat memberi catatan, tapi semangatnya seolah tidak bisa padam.

Aku berkali-kali menoleh ke arah pintu, entah untuk alasan apa. Setiap kali pintu terbuka, jantungku berdebar cepat, hanya untuk kembali tenang begitu aku sadar, bukan dia.

Tyler tidak datang lagi. Dan aku tidak tahu apakah aku lebih kecewa karena kepergiannya, atau karena aku masih terus berharap.

Satu hal yang paling aku sesali dari percakapan terakhir kami adalah, aku tidak sempat mengatakannya. Tiga kata sederhana yang menyesakkan dada: aku juga mencintaimu. Ya, aku tahu, waktu kami tidak tepat. Situasinya rumit, bahkan berbahaya. Tapi cinta tidak peduli hal-hal seperti itu.

Entah sejak kapan semuanya mulai tumbuh, mungkin sejak makan malam pertama di Laura’s Kitchen, atau saat ia menenangkanku setelah pertemuan dengan Eddie, atau ketika aku membaca puisi Hazel yang ia tulis dengan cara yang hanya bisa dilakukan seseorang yang benar-benar mengenalmu. Aku tidak tahu kapan tepatnya, tapi aku tahu pasti, aku sudah jatuh cinta.

Ironis, ya. Aku mengidolakan Thomas Hunt, tapi justru mengharapkan asistennya yang duduk di sebelahku sekarang. Kehadiran Thomas membuat seluruh kru bekerja lebih cepat, lebih hati-hati, dan tekanan itu terasa hingga ke ujung jariku.

Setiap kali aku memegang naskah, aku mendengar suaranya memberi koreksi. Setiap kali aku melihat monitor, aku teringat Tyler berdiri di belakangku, memberi pendapat dengan nada tenang. Sekarang hanya ada suara mesin kamera, suara “rolling” dan “cut” yang menggema dingin di udara.

Waktu berjalan cepat. Dua hari tersisa sebelum adegan terakhir kami. Thomas memanggilku setelah take sore itu, nada suaranya rendah tapi tajam. “Adegan terakhir ini kurang kuat,” katanya. “Vincent dan Claire adalah suami istri, kalau hanya berhenti di sini, penontonnya akan pulang tanpa merasakan apa pun. Tambahkan keintiman di antara mereka. Entah dengan fade-out bed scene, atau ciuman hangat. Pilih yang kau rasa tepat.”

Aku membeku sejenak. Tidak ada adegan ciuman di skenario awal. Dan yang membuatnya lebih rumit adalah, Sophie, scriptwriter pengganti, adalah pacar Liam yang merupakan pemeran utama. Hidupku sendiri sudah cukup rumit tanpa harus mengatur percintaan orang lain. Tapi Thomas benar, ending ini memang butuh sesuatu yang lebih emosional.

Aku memutuskan untuk bicara dulu dengan Sophie. Ia terdiam lama setelah mendengar permintaanku. Tidak protes, tidak bertanya. Hanya mengangguk pelan, lalu memperbarui adegan di naskah. Tapi aku tahu matanya bergetar saat menulis nama “Stella” di samping “Liam.” Aku menepuk bahunya perlahan sebelum pergi. “Terima kasih, Soph.”

Setelah itu, aku menemui Liam dan Stella. Stella mengangguk cepat, profesional seperti biasanya. Tapi Liam… ia butuh waktu. Ia menatapku lama, seperti berusaha memahami arah pikiranku. “Kalau kamu tidak berkenan, kita bisa kembali ke versi awal,” kataku lembut.

Liam menggeleng. “Tidak, Hunt benar. Ending seperti ini akan lebih meninggalkan kesan. Aku akan... bersiap. Ini besok, kan?”

“Iya,” jawabku. “Tapi jangan terlalu dipikirkan. Jalani saja.”

Hari pun berlalu, dan besok adalah hari terakhir syuting.

\~\~\~

Semua orang sudah pulang. Studio kini hanya diterangi lampu meja dan cahaya redup dari monitor. Suara mesin komputer berdengung pelan, mengisi ruang kosong yang biasanya ramai oleh suara manusia dan langkah kaki.

Aku memutar ulang beberapa potongan video yang sudah direkam sejauh ini, memastikan tidak ada satu momen pun yang terlewat. Tatapanku terpaku pada layar, adegan demi adegan berganti, wajah-wajah yang sudah lelah tapi tetap hidup dalam karakternya. Setiap frame terasa seperti serpihan dari jiwaku yang ikut terekam di sana.

Kepalaku berdenyut. Terlalu banyak yang harus kupikirkan, mulai dari Naomi, gosip, rumor, Thomas yang semakin lemah, dan Tyler…

Aku mengusap wajahku keras-keras, tapi rasa lelah itu tidak hilang. Aku menatap layar lagi, mencari kesalahan kecil yang mungkin bahkan tidak penting. Kalau aku terus menemukan sesuatu untuk dikerjakan, mungkin aku tidak perlu merasakan kekosongan itu.

Langkah berat mendekat dari arah pintu. Aku menoleh, Thomas sudah duduk di sampingku, pelan tapi mantap, seperti seseorang yang sudah terbiasa datang di saat yang tepat.

“Belum pulang?” suaranya dalam tapi lembut, nyaris seperti bisikan.

Aku tersenyum lemah. “Aku khawatir ada adegan yang belum direkam dengan baik. Ada angle yang bisa lebih tepat, atau ekspresi yang lebih kuat. Tapi semakin kuperhatikan, semakin banyak yang terasa kurang. Rasanya kepalaku bisa meledak. Dan besok hari terakhir… tidak mungkin kita bisa reshoot semuanya.”

Thomas tertawa kecil, suara parau tapi hangat, lalu menepuk pundakku. “Perfeksionis itu bagus,” katanya, “tapi kamu juga harus tahu batasnya, Vee. Kadang film terbaik bukan yang sempurna, tapi yang jujur, dan bisa menyampaikan pesannya dengan baik.”

Aku menatap layar lagi, menahan napas, tapi ia melanjutkan, nadanya sedikit menggoda, sedikit tajam. “...Atau ini cuma pengalihan supaya kamu nggak terlalu memikirkan ketidakhadiran seseorang di studio ini?”

Aku menegang. “Tidak,” jawabku cepat. “Ada kamu di sini. Tidak berpengaruh padaku ada Tyler atau tidak.” Kata-kataku terdengar datar, tapi suaraku nyaris bergetar di akhir kalimat.

Thomas menghela napas panjang, seperti sudah tahu jawabannya sejak awal. “Silakan benci padaku, Vee. Tapi aku melakukan ini demi kalian berdua. Aku melihat sesuatu pada kalian, bakat, ambisi, dan juga... rasa yang bisa menghancurkan kalau tidak dijaga.”

Ia berhenti sejenak, lalu menatapku. “Aku tidak bisa melindungi kalian kalau rumor itu sampai keluar.”

Aku menggigit bibir. “Aku tahu… Aku nggak benci, cuma… rasanya—”

“Sesak?” potongnya lembut. “Seperti separuh hatimu hilang?”

Aku menoleh menatapnya, dan untuk pertama kalinya aku melihatnya bukan sebagai dosen, bukan mentor, tapi manusia, seseorang yang mengerti kehilangan dengan cara yang hanya bisa dipahami oleh orang yang pernah jatuh cinta diam-diam.

Thomas tersenyum samar, matanya sayu tapi hangat. “Aku pernah merasakannya dulu, dengan Elara. Waktu itu kami juga harus menunggu. Tapi saat waktunya tiba, semua sakit dan kehilangan itu… akhirnya terbayar.”

Ia berdiri perlahan, menepuk pundakku sekali lagi. “Jadi sabar dulu, ya? Kalau ada orang yang paling mendukung hubungan kalian, itu aku. Percayalah padaku.”

Aku menatap punggungnya yang berjalan pelan ke arah pintu. Cahaya dari monitor menyorot siluetnya, rapuh tapi tegar. Ia belum terlalu tua, baru menjelang enam puluh, tapi tubuhnya sudah habis digerogoti obat-obatan dan rasa sakit yang tidak pernah benar-benar ia tunjukkan pada siapa pun.

Dan saat pintu menutup di belakangnya, aku menyadari satu hal. Betapa beruntungnya aku, bisa belajar bukan hanya cara membuat film, tapi juga cara mencintai sesuatu dengan sepenuh hati, bahkan ketika dunia memintamu berhenti.

Aku menatap layar yang masih menyala, memperhatikan adegan terakhir yang berputar pelan.

“Aku janji, Prof,” bisikku. “Aku nggak akan mengecewakanmu.”

\~\~\~

Tyler

Aku menjalani hariku dengan menulis. Sudah seminggu sejak aku memutuskan tidak kembali ke studio. Thomas menggantikan posisiku sepenuhnya, meski tubuhnya jelas tak sekuat dulu. Aku sudah berkali-kali meminta agar ia beristirahat, tapi seperti biasa, Thomas Hunt tidak tahu cara menyerah. Baginya, proyek ini bukan sekadar film, ini bisa jadi terakhir kalinya ia berada di lokasi syuting. Dan mungkin, bagian dari diriku juga mengerti itu.

Aku, sementara itu, mencoba menemukan kembali diriku di antara halaman kosong. Menulis, katanya, adalah bentuk lain dari bertahan hidup. Mungkin itu sebabnya aku kembali menulis puisi.

Kata orang, inspirasi lahir dari hati yang patah dan aku akhirnya mengakui, mereka benar. Aku membuka notebook kulitku, halaman yang sudah mulai lusuh di ujungnya. Di situ, tepat setelah Hazel, ada tulisan lain yang kutulis dini hari tadi. Tulisannya sedikit miring, tinta agak luntur, tapi setiap katanya terasa seperti luka yang masih hangat.

Intermission

Ada jeda di antara dua napas,

Tempat aku menyembunyikan namamu,

Agar dunia tak mencium kelemahanku.

Aku belajar menatap dari jauh,

Seperti penonton yang tahu

Adegan berikutnya akan menghancurkan segalanya.

Setiap kali aku menutup mata,

Suaramu masih tinggal di sana

Lembut, tapi menyiksa,

Seperti gema dari film yang belum selesai diputar.

Kau bilang ingin mengerti,

Tapi bagaimana menjelaskan cinta

Yang hanya boleh hidup dalam diam?

Aku ingin memanggilmu,

Tapi bahkan bisikan bisa jadi senjata.

Jadi aku menulis.

Menulis sampai kata-kata ini kehilangan bentuknya,

Dan hanya tersisa satu hal

Rindu.

Rindu yang tidak berani meminta pulang,

Rindu yang hanya tahu cara bertahan.

Aku menutup notebook itu perlahan. Benar, aku merindukannya. Tapi rindu tidak cukup untuk membuatku kembali. Belum.

Aku menatap keluar jendela. Cahaya senja menembus tirai tipis, menyorot partikel debu yang menari di udara, semuanya terasa begitu diam, tapi hidup. Mungkin seperti aku sekarang yang hidup dalam diam, menunggu sesuatu yang belum tentu bisa kembali.

Aku tahu, ini bukan akhir. Aku hanya harus bertahan, sampai waktu berpihak. Setidaknya sampai badai ini reda, dan saat hari itu datang, jika ia masih mau menerimaku, aku akan kembali padanya.

Untuk sekarang, aku harus kembali menjadi versi diriku yang dulu. Aku meraih ikat rambut di meja, memutar dan mengikatnya kuat-kuat. Sederhana, tapi terasa seperti gerakan simbolik untuk mengunci kembali semua hal yang sempat tidak terkontrol dari dalam diriku. Cermin di hadapanku memantulkan bayangan seseorang yang sudah kukenal lama, Profesor Tyler Hill, dingin, tenang, dan tak tersentuh.

Topengku sudah kembali. Dan aku berdoa, semoga itu cukup untuk menahan dunia agar tak melihat apa yang masih terbakar di hatiku.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!