Melati, mantan atlet bola pingpong, menjadi tersangka pembunuhan sepupunya sendiri yang adalah lawan terakhirnya dalam turnamen piala walikota. Setelah keluar dari tahanan, ia dibantu teman baiknya, Aryo, berusaha menemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Namun ternyata Melati bukan hanya menghadapi licik dan bengisnya manusia, namun juga harus berurusan dengan hal-hal gaib diluar nalarnya.
"Dia, arwah penuh dendam itu selalu bersamamu, mengikuti dan menjagamu, mungkin. Tapi jika dendamnya tak segera diselesaikan, dibatas waktu yang ditentukan alam, dendam akan berubah menjadi kekuatan hitam, dia bisa menelanmu, dan mengambil kehidupanmu!" seru nenek itu.
"Di-dia mengikutiku?!" pekik Melati terkejut.
Benarkah Aryo membantu Melati dengan niat yang tulus?
Lalu, siapa pelaku yang telah tega menjejalkan bola pingpong ke dalam tenggorokan sepupunya hingga membuatnya sesak napas dan akhirnya meninggal?
Mari berimajinasi bersama, jika anda penasaran, silahkan dibaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang tipis
"Ja-jadi benar-benar kau pelakunya?!" pekik Melati dipenuhi rasa tak percaya, seolah benang kusut di kepalanya semakin membuatnya tak mengerti.
"Aku tak punya pilihan, aku harus menjagamu agar tetap hidup," jawab santai pelatih Pram,yang dengan penuh percaya diri duduk diantara nisan, lalu mengeluarkan sebatang cerutu dan menyalakannya.
"Dan kau, hentikan semua yang telah kau lakukan, lukamu itu bisa membunuhmu sewaktu-waktu, biar aku yang akan menjaga Melati!" imbuhnya tertuju pada Ega, seolah tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
"Aku lebih baik mati, daripada harus hidup dengan menanggung dosamu!" bantah Ega. Namun ada yang aneh, pemuda itu seakan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi, ia berdiri kaku bak sebuah patung. "Biarkan aku mati saja!"
"Dasar rewel! Kau adalah darah dagingku, aku tak akan membiarkanmu mati. Diam saja, aku akan membuat kalian hidup nyaman di kemudian hari. Bersabarlah sedikit!"
"Cih! Aku tidak Sudi hidup dibalik bayang-bayang kejahatanmu!"
"Diam dan jangan mengacau lagi, jangan pernah mencoba membuat Melati bingung lagi, bagaimanapun dia adalah adikmu, harusnya kau menjaganya agar tetap aman, bukan malah menyulitkannya."
"Ah, Melati, masa lalu yang kau lihat itu semua memang benar, tapi sebaiknya jangan menggali lebih lagi, kalian sangat berarti bagiku, aku akan mempertaruhkan apapun agar kalian bisa tetap hidup,” ucap Pram beralih memandang Melati dengan tatapan seolah dibuat seteduh mungkin.
"Tidak! Kenapa aku harus percaya padamu! Kau pembunuh!" Melati yang sedari tadi hanya sibuk mencerna, mulai memaksakan diri untuk berbicara.
Melati merasa seperti berada di tengah-tengah badai emosi yang tidak terkendali. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap pengakuan Pram yang mengaku sebagai ayahnya. "Kau... kau bilang aku anakmu?" tanya Melati, suaranya masih bergetar.
Pram menatap Melati dengan mata yang penuh dengan kasih sayang, layaknya seorang ayah. "Ya, Melati. Kau adalah anakku, adiknya Ega. Aku tahu aku tidak pernah menjadi ayah yang baik untukmu dan Ega, tapi aku berharap kau bisa memaafkan aku suatu hari nanti."
Melati merasa seperti ingin muntah. Dia tidak bisa menerima bahwa Pram, orang yang dia benci itu, adalah ayahnya sendiri. "Aku tidak percaya," kata Melati, dia mundur beberapa langkah, seperti ingin melarikan diri dari kebenaran yang tidak dia inginkan.
Ega yang masih berdiri kaku, menatap Melati dengan mata yang penuh dengan kesedihan. "Melati, jangan percaya padanya," kata Ega, suaranya lemah. "Dia tidak pantas dipercaya."
……….
Di rumahnya, Aryo masih berusaha membuat arwah Layla tenang, berkali-kali ia melemparkan garam ke tubuh Mika. Hingga akhirnya arwah itu memekik keras untuk yang terakhir kalinya. "Argk!"
Tubuh Mika lunglai jatuh ke lantai, beruntung Aryo sigap menangkapnya, hingga gadis itu tak terluka.
Aryo menarik napas lega setelah berhasil menenangkan arwah Layla dalam tubuh Mika. Dia memeriksa Mika yang masih tidak sadarkan diri, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Setelah yakin bahwa Mika aman, Aryo meletakkan tubuh Mika di sofa dan menutupinya dengan selimut.
Aryo kemudian berdiri dan berjalan ke jendela, membuka tirai untuk membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan.
Aryo membiarkan Mika beristirahat, sementara ia kembali ke laptopnya, mencari tahu nama yang disebutkan Layla sebelumnya.
Hal pertama yang dilakukan Aryo adalah mencoba mengakses CCTV toko yang berada di seberang sekolah, tapi sepertinya tidak mudah.
Aryo memutuskan untuk mencoba cara lain. Dia akan mencari informasi tentang kejadian di sekolah atau sekitarnya pada hari itu. Mungkin ada petunjuk yang bisa dia temukan. Namun cara itupun nihil.
"Aku harus ke toko itu, untuk mendapatkan rekamannya," ujarnya kemudian.
Namun ia kembali menatap Mika yang masih terbaring di sofa. "Tak ada waktu, terpaksa aku meninggalkanmu!"
Aryo menuliskan catatan kecil, lalu meletakkannya diatas meja, tepat di samping Mika.
—Jika kau bangun, jangan takut atau pun bingung. Tetaplah tinggal di rumahku, kau akan aman. Carilah sesuatu di dapurku jika merasa lapar atau haus. Aku harus pergi sebentar. Pelatihmu, Sita.—
"Dengan menggunakan nama Sita, dia pasti akan percaya, dan tak akan kemana-mana!" ujarnya lalu bergegas pergi.
Aryo berhasil mendapatkan salinan rekaman CCTV toko itu, ia mulai memperhatikan satu per satu orang yang keluar masuk ke sekolah atlet.
Aryo menghela napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke dinding di salah satu sudut toko itu. "Hampir setengah jam aku tak menemukan apapun, mereka hanya pegawai yang sudah kukenal," gerutunya.
Aryo bangkit lalu berjalan mendekat ke jendela besar, menatap keluar untuk mengamati seberang jalan, gerbang sekolah yang terbuka lebar tampak lengang tanpa penjagaan. Ia kembali menghela napas. "Rahasia apa yang sebenarnya tersembunyi di sana?" lirihnya hampir tak terdengar.
"Mas Aryo?" tiba-tiba seseorang menyapanya dari belakang.
Aryo sedikit terjingkat karena tak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya, ia terlalu fokus pada pengamatannya. "Bu Siska?" sapanya kemudian sembari mengangguk sopan.
"Apa kabar, lama tidak melihat Mas Aryo sejak...." Bu Siska sepertinya sengaja tak melanjutkan ucapannya, ada hal yang membuatnya merasa tak enak hati.
Aryo mengerti ke arah mana pembicaraan Bu Siska. "Saya hanya sedang fokus kuliah, Bu. Jadi tidak ada waktu untuk main. Ibu juga apa kabar?"
"Syukurlah jika kamu baik-baik saja. Ibu masih merasa bersalah dengan menghilangnya adikmu, tapi tak ada yang bisa kami lakukan," ucap Bu Siska sedikit tertunduk, menunjukkan penyesalan.
Aryo meraih lengan Bu Siska, lalu menepuk punggung tangan wanita itu dengan lembut, "Jangan dipikirkan, yang terjadi bukan salah Ibu. Doakan saja Sita masih hidup dan akan kembali suatu saat nanti."
"Terima kasih, Nak." sahut Bu Siska kemudian. "Kau sedang mengerjakan tugas kuliah? Kulihat laptopmu menyala," tunjuk wanita paruh baya itu ke arah meja tempat Aryo meninggalkan Laptopnya.
"Ah, iya. Sampai lupa."
"Baiklah kalau begitu, selesaikan tugasmu, Ibu harus segera pulang, kau tahu, anak-anak pasti sudah menunggu karena lapar," ucap Bu Siska begitu lembut, seraya menepuk pelan pundak Aryo.
Aryo menatap punggung Bu Siska yang berjalan menjauh di halaman toko itu. Tiba-tiba ia baru menyadari sesuatu. "Dia... bagaimana dia tahu kalau itu laptop milikku?"
...****************...
Bersambung.