NovelToon NovelToon
The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Julukan Baru

...BAB 29...

...JULUKAN BARU...

Sejak kejadian pembinaan dan jawaban bijak dari Arabella yang tak disangka-sangka, atmosfer Pondok Pesantren itu mulai berubah. Santri yang dulunya suka mencibir Arabella karena kelakuan absurdnya, kini justru mulai menaruh rasa hormat. Tidak sedikit yang mendekatinya untuk sekedar minta saran, atau bahkan curhat soal masalah pribadi.

“Bell, kalo aku kesel sama temen sekamar, mending aku tinggalin apa langsung ngomong?” tanya salah satu santri putri sambil duduk di tangga asrama.

Arabella yang sedang mengunyah keripik balado langsung menjawab dengan gaya santainya, “Langsung ngomong aja. Tapi jangan sambil ngelempar bantal ya, mbak. Itu bukan diskusi, itu duel gladiator soalnya.”

“Ya Allah, kamu tuh bisa aja sih!” santri itu ketawa dan anehnya... Tapi ngerasa lega.

Para pengajar pun ikut berubah sikap. Ustadzah Rina, yang dari awal udah sayang sama Arabella, kini makin protektif. Sering tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar Arabella kalau dengar suara gaduh.

“Kamu lagi ngapain tuh rame-rame?”

“Cuma maen suit jepang kok, Ustadzah... yang kalah ntar nyuci piring selama seminggu!”

Ustadzah Rina hanya geleng-geleng sambil nyengir, “Asal jangan suit adu tenaga dalam aja ya, cukup di mimpi kalo itu mah.”

Yang mengejutkan adalah Ustad Jiyad dan Ustad Hamzah. Dua pengajar yang biasanya paling serius itu, kini jadi sering melempar senyum kalau lewat depan Arabella.

“Santri satu itu...” kata Ustad Hamzah ke Ustad Jiyad, “Ajaib ya. Jail iya, tapi hatinya Masya Allah pisan.”

Sementara Ustad Izzan? Masih datar. Masih sok cuek. Tapi... Tatapan matanya saat melihat Arabella berubah. Ada kekagumam yang lebih dalam. Mungkin juga... Perlahan mengarah ke perasaan lain yang belum dia akui.

Dan tentu saja, Ustadzah Rahmah dan Halimah, yang kini dalam masa pembinaan khusus, jadi jauh lebih diam. Mereka tak berani lagi menatap Arabella dengan sinis. Bahkan ketika Arabella lewat di depan mereka sambil bergaya bak model catwalk absurd dengan jilbab diikat seperti syal kungfu, mereka hanya bisa menunduk. Arabella tak membalas dengan tatapan dendam. Hanya senyum. Senyum santai khas Arabella yang kini... Mulai dihargai. Para santri pun mulai membicarakannya di balik kamar masing-masing.

“Eh, si Bella keren ya... bisa sabar banget.”

“Iya, aku pikir dia bakalan ngamuk... ternyata malah ngebales mereka dengan hadist.”

“Dia itu... barbar berhati emas.”

Dan julukan baru pun muncul. Dari ‘si jahil absurd’ menjadi ‘santri barbar yang berhati surga’. Dan Arabella? Masih jadi tetap Arabela yang biasanya. Masih suka ngejailin trio musuhnya, Devan, Balwa dan Balwi, masih suka ngerjain Ustadzah baru yang belum kebal tingkah absurdnya. Tapi kini, semua mulai tau... Bahwa dibalik kegilaan dan kejahilannya, ada sesuatu yang berharga yaitu kebesaran hati.

*****

Langit sore di pesantren pun mulai berubah jingga. Semilir angin menari pelan di sela-sela pepohonan. Di dalam ruangannya yang tenang, Kiyai Hasyim duduk bersila dengan Al-Qur’an terbuka di pangkuannya. Lantunan ayat suci mengalun lembut dari bibirnya, membawa ketenangan dalam setiap nafas. Namun lantunan itu terhenti saat ponselnya bergetar di samping sajadah. Nama yang tertera membuat alis Kiyai Hasyim sedikit naik.

Ardana Wijaya Dominic.

Sahabatnya, teman seperjuangan saat nyantri di tanah Jawa, yang kini menjadi pengusaha sukses di Jakarta, dan namanya sudah terkenal di seluruh Indonesia. Kiyai Hasyim langsung mengangkat panggilannya.

“Assalamualaikum Ar....”

Senyap.

Tidak ada jawaban. Hanya helaan napas berat dari ujung telepon.

“Ar?” ulang Kiyai Hasyim.

“Waalaikum Sallam...” jawab Ardana akhirnya, suaranya berat, hampir serak. Namun setelah itu kembali diam.

Sangat lama.

“Ardan?” pangggil Kiyai Hasyim lagi. “Ada apa? Kamu buat saya khawatir..”

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. Dan akhirnya, dengan suara pelan penuh beban, Ardana berkata,

“Nilam... kondisinya menurun. Dokter bilang, dia harus dijaga betul pikirannya. Jangan sampai stres... jangan banyak pikiran. Tapi... dia terlalu banyak menyimpan dalam diam. Terlalu banyak memikirkan Bella...”

Kiyai Hasyim memejamkan mata sejenak. “Innalillahi... bagaimana kabarnya sekarang?”

“Fisiknya... masih bisa bertahan. Tapi mentalnya turun drastis. Dia selalu menyebut-nyebut Bella. Katanya. ‘apa Bella baik-baik saja di pesantren? Apa dia masih sering berantem? Apa dia punya teman?’ bahkan waktu sadar, yang pertama dia cari bukan saya. Tapi Arabella.”

Suara Ardana mulai pecah di ujung kalimat.

“Dan saya... bingung. Apa saya harus kasih tau Bella? Tapi saya takut salah ngomong. Takut malah bikin Bella jadi kepikiran apalagi anak itu sensitif... hanya saja dia terlalu sering menyembunyikan semuanya dalam tawa.”

Kiyai Hasyim tersenyum kecil, meski hatinya ikut tercabik mendengar cerita itu.

“Bella itu memang begitu... dia tertawa buat sembunyi. Tapi saat tiba waktunya, dia bisa lebih dewasa dari siapa pun, termasuk dari orang yang jauh lebih tua darinya.”

Lalu dengan suara yang dalam dan penuh pertimbangan, Kiyai Hasyim berkata, “Kalau kamu bingung harus berkata apa... jangan berusaha menyiapkan kalimat sempurna. Cukup bicara dengan hati. Anakmu bukan gadis biasa, Ar. Dia bisa menangkap isi hatimu bahkan lewat diam. Kamu tak perlu banyak kata, cukup jujur saja.”

“Tapi... Saya takut dia sedih, Syim...”

“Sedih itu manusiawi, Ar. Tapi Bella adalah harapan buat Nilam. Biarkan dia tau, supaya dia bisa memberi harapan itu kembali. Mungkin bukan dengan menyembuhkan... tapi dengan mengidupkan semangatnya.”

Lama tak ada suara. Hanya terdengar desahan pelan dari Ardana. “Haaaah... terimakasih, sobat.”

“Pulanglah. Temui anakmu. Peluk dia. Ceritakan dengan tenang. Dan biarkan Bella menjadi cahaya bagi Nilam....”

“Tapi kayaknya saya nggak bisa pulang, karena Nilam tidak ada yang menjaganya Syim, bolehkah saya meminta bantuamu, sekali lagi...” ucap Ardana penuh harap.

“Boleh tentu saja, kamu sahabat saya, kamu pun selalu membantu saya dari saat kita mondok dulu, apapun yang kamu butuhkan selagi saya mampu, saya akan membantumu.” Jawab Kiyai Hasyim menerawang saat dulu Ardana banyak membantunya.

“Tolong sampaikan kabar ini sama Bella, saya tidak sanggup mengatakannya, dan tolong antarkan dia ke sini, jika kamu sibuk, biar Izzan yang menemaninya, saya akan menjelaskan semua padanya saat disini.”

“Baiklah, tunggu kabar dariku.”

“Terima kasih banyak Syim... kamu selalu membatu keluarga saya, dan mau menjaga Bella, apa dia masih berbuat jail pada orang?” tanya Ardana sedikit terkekeh untuk mengalihkan kegundahan hatinya.

“Seperti biasa tiada hari tanpa membuat orang tertawa, dan bikin orang pusing dengan tingkahnya, tapi pesantren ini jadi hidup karena kehadirannya.”

“Maafkan dia ya Syim... kalau dia selalu menyusahkanmu.”

“Jangan khawatir Ar, gara-gara putrimu saya jadi awet muda karena selalu tertawa.”

“ck.. bisa aja. Saya tutup dulu ya, nanti disambung lagi, Assalamualaikum...!”

“Waalaikumsalam...”

Baru saja ponselnya diletakkan Kiyai Hasyim dikagetkan dengan kedatangan istrinya.

“Siapa yang telpon Bi?” tanya Uma Salma sambil membawa secangkir teh hangat.

“Ardan Uma...”

“Ardan?! Ada apa Bi? Apa ada kabar tentang Nilam?” heboh Uma dengan nada khawatir.

“Hm... kesehatannya menurun, dokter bilang dia harus dijaga betul pikirannya. Jangan sampai stres... jangan banyak pikiran. Tapi... dia terlalu banyak menyimpan dalam diam. Terlalu banyak memikirkan Bella...” terang Kiyai Hasyim menatap istrinya.

“Trus gimana Bi?”

“Ya jalan satu satunya Bella harus kesana Uma, buat memberikan semangat untuk Nilam.”

“Tapi kan Bella belum tau kalau Nilam disana sedang berobat Bi? Apa Ardan yang akan menjelaskan sama Bella?” tanya Uma Salma lagi.

“Bukan Uma, tapi kita yang akan menjelaskan kondisi Nilam, Ardan belum sanggup mendengar reaksi Bella, biar nanti Ardan yang menjelaskan langsung, saat Bella sudah ada di Jerman.”

“Jadi Bella harus ke Jerman? Apa tidak bisa melalui telpon saja?”

“Tidak bisa Uma, lebih baik Bella kesana biar Nilam bisa memegang wajah putrinya, merasakan sentuhan tangan putrinya,” Uma Salma hanya mengangguk sebagai jawaban.

*****

Langit malam mulai menebar biru tua saat adzan Magrib bergema dari TOA masjid pesantren. Para santri berduyun-duyun berjalan kembali ke kelas untuk mengikuti kajian selepas Magrib. Diantara mereka, Arabella melangkah dengan ringan, masih menebar candaan absurd kepada Elis dan Dina. Tapi langkahnya terhenti ketika seorang pengurus menyampaikan pesan singkat :

“Arabella, kamu dipanggil Kiyai Hasyim.”

Seisi lorong langsung mendengarkan. Santri putri saling pandang dengan alis terangkat. Bahkan santri putra dari kejauhan ikut melirik penasaran.

“Wah... kenapa tuh si Bella?”

“Ah, apa jangan-jangan ketahuan ngejailin trio jail lagi?”

“Bukan, jangan-jangan mau dijodohin sama Ustad Izzan?”

“Eh plis deh...”

Sementara keributan desas desus terus menggulung, Arabella melangkah ke arah rumah Kiyai Hasyim yang tak jauh dari masjid utama. Jantungnya berdegup pelan. Antara bingung, cemas dan heran. Sesampainya di depan pintu, dia mengetuk pelan.

“Assalamualaikum...”

Pintu dibuka oleh Kiyai Hasyim sendiri. Senyumnya hangat namun berbeda dari biasanya.

“Masuk, Nak...”

Arabella menunduk sopan dan masuk. Di ruang tamu, terlihat Uma Salma duduk dengan anggun di sofa sengaja menunggu.

“Loh, Uma...?” sapa Arabella kaget. Dia lalu cepat-cepat menyalami tangan lembut Uma dan duduk di sampingnya. “Kenapa, Uma? Ada yang penting ya? Sampe aku dipanggil segala...?”

Kiyai Hasyim dan Uma Salma saling menatap. Sejenak hening. Kiyai Hasyim akhirnya angkat suara, lembut namun dalam.

“Bella... kamu tau Daddy sama Mommy kamu pergi ke Jerman, kan?”

Arabella mengangguk dengan santai. “Iya, katanya sih buat urusan bisnis. Emang kenapa, Kiyai? Bukannya Uma sama Kiyai juga udah tau ya, kita kan yang nganterin mereka.”

Kiyai Hasyim menarik napas panjang. “Kami tau, kamu diberi tau begitu. Tapi... itu bukan alasan yang sebenarnya.”

Arabella mengerutkan kening, “Hah? Maksudnya?”

“Yang sebenarnya.... Daddy sama Mommymu kesana bukan untuk urusan bisnis. Tapi untuk pengobatan.”

“Pengobatan?” tanya Arabella mengernyitkan alisnya.

“Mommy Nilam sakit... dia mengidap kanker otak.” Tambah Kiyai Hasyim.

Arabella langsung tertawa kecil. “Ya ampun, Kiyai... saya pikir serius. Mommy sehat-sehat aja tuh, waktu terakhir saya videocall juga...”

Tapi tawa itu perlahan meredup saat melihat ekspresi Kiyai Hasyim dan Uma Salma yang tidak berubah. Mereka tidak tertawa. Tidak tersenyum. Diam. Arabella pun membeku.

“... Itu bukan candaan, Nak.” Ucap Kiyai Hasyim pelan. “Selama ini... selama kamu telpon, dia sudah dirawat. Dia menyembunyikan semua darimu karena dia tidak mau kamu cemas. Tapi sekarang... kondisinya menurun Parah.”

Arabella merasa bumi berhenti berputar sesaat.

“Jadi... Jadi selama ini Mommy sakit? Tapi tetap tersenyum pas dia nelpon saya? Jadi waktu saya bilang mau beli baju couple absurd buat mommy saya, dia ketawa.. Itu ketawa sambil nahan sakit?”

Suara Arabella lirih. Gemetar. Dan tanpa sadar, air mata mengalir perlahan. “Jadi Mommy pura-pura kuat di depan saya?”

Uma Salma langsung memeluk Arabella erat.

“Mommy kamu tuh sayang banget sama kamu, Nak... dia nggak mau kamu khawatir.”

Isakan kecil terdengar. Arabella, si gadis barbar yang bisanya menggelegar dengan candaan dan keabsurdan, kini menangis dalam pelukan.

Kiyai Hasyim melanjutkan, dengan suara tenang, “Besok pagi... kita akan ke Jerman. Saya, Uma dan kamu untuk temui Mommy kamu. Untuk kasih semangat... agar dia kuat lagi. Karena kami percaya... hanya kamu yang bisa menjadi harapan di hatinya.”

Arabella mengangguk dalam pelukan Uma, meski masih berlinangan air mata.

“... Baik, Kiyai. Saya bakalan buat Mommy semangat lagi. Saya bakalan buat dia ketawa. Bahkan kalo perlu... Saya joget absurd di depan rumah sakit. Asalkan dia sembuh...”

*****

Malam belum benar-benar larut, tapi langit sudah menurunkan kabut tenang yang menyelimuti asrama putri. Lampu kamar 3 sudah menyala sejak sepulang dari kajian, dan seperti biasa, kamar itu penuh dengan energi absurd penghuni-penghuninya karena tertular virus absurd Arabella.

Saat langkah kaki Arabella terdengar mendekat, trio sahabatnya langsung bangkit dari kasur.

“Bellaaaa!” Dina melompat seperti anak kucing yang kelamaan ditinggal induknya.

“Kamu dipanggil Kiyai kenapa? Jangan bilang kamu diangkat jadi duta absurd pesantren?” Sari menyambut dengan candaan.

“Aku curiga kamu mau di jadiin menantu Kiyai deh...” tambah Elis sambil menyelidik.

Tapi Arabella hanya tersenyum samar, tanpa balasan absurd seperti biasanya. Sorot matanya beda. Jalannya pelan. Tad ada nada tengil dalam ucapannya. Bahkan tasbih yang sering dia putar-putar kini digenggam diam.

Dina langsung sadar. “Eh.... kamu kenapa, Bell?”

Arabella menarik napas. Duduk di kasur bawah, lalu menatap mereka bertiga satu per satu.

“Gue... baru tau sebuah kenyataan tentang Mommy.” Suara Arabella mulai bergetar. “Selama ini... gue kira mereka di Jerman buat bisnis. Tapi ternyata... Mommy sakit. Kanker otak.”

Hening.

Seketika kamar yang tadi di penuhi kehebohan dan pertanyaan random berubah sunyi. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bernapas keras.

Elis menutup mulutnya. Sari memegangi dadanya.

“Waktu gue nelpon dia, dia selalu senyum, selalu bilang sehat. Bahkan ketawa waktu gue kirim meme absurd. Tapi ternyata... dia di rumah sakit. Nahan sakit sendirian...” air mata Arabella mulai jatuh.

“Gue jahat ya? Anak yang nggak peka... anak nggak berbakti... gue malah sibuk bercanda, ngejailin orang, sementara dia... dia lagi berjuang buat bertahan hidup...”

Dia menepuk dadanya, seperti berusaha menahan beban yang tiba-tiba menghantam seluruh dirinya. Suara tangisnya pecah. Tanpa aba-aba, Dina langsung memeluk Arabella. Elis menyusul dari kiri. Sari dari kanan.

“Shhuutttt... Kamu bukan anak nggak peka, Bell...” bisik Dina dengan suara bergetar.

“Kamu anak paling kuat yang kami tau...” Elis menyeka air matanya sendiri.

“Kalau dia sembunyikan sakitnya, itu karena dia percaya kamu bisa berdiri sendiri. Karena dia bangga punya kamu, Bell...” Sari menatap mata Arabella yang kini sembab.

Tangisan mereka berbaur. Tak ada suara absurd malam itu. Tak ada tawa yang pecah. Yang ada hanya satu lingkaran erat persahabatan yang saling menopang, dalam hening dan air mata.

Dan di tengah pelukan hangat itu... Arabella perlahan memejamkan mata. Tangisnya berhenti. Nafasnya melambat. Raut wajahnya lelah tapi juga tenang.

“... Dia tidur?” bisik Dina pelan.

Elis mengangguk. “Cape nangis dia...”

Sari mengusap kepala Arabella. “Besok... kita bareng-bareng doain Mommy kamu ya, Bell. Kita kirim surat cinta lewat doa...”

Dan malam itu... kamar nomor 3 menjadi saksi, bahwa gadis paling absurd sekalipun, punya hati yang paling lembut ketika menyangkut orang tuanya.

1
Retno ataramel
khusus bwt author aku kasih vote😍
Retno ataramel
siapa kah orang itu eng ing eng🤣
Retno ataramel
🤣🤣🤣
Retno ataramel
kecewa sama azzam,,,,
Retno ataramel
apakah itu ustad jihhad thor
lucifer: ustad Jiyad maksudnya say... maafkan typo 🙏
total 1 replies
lucifer
kayaknya itu salah ketik, penasaran Ustad
Retno ataramel
penisirin ustas siapa itu
Retno ataramel
ikut sedih thor
Retno ataramel
lanjut thor nunggu besok lama😍
Retno ataramel
banyakin up thor ak suka 🙏
Tara
jodohmu kaga jauh ...smoga cepat bucin ya...🤭🫣🥰😱🤗👏👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!