Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Baru juga Melati duduk di kursi kebesaran yang dulu diduduki Mas Kalingga, sekarang kursi itu telah menjadi miliknya. Pintu ruangan kerjanya sudah ada yang mengetuk dengan cukup kencang.
"Masuk!."
Masuk beberapa orang pria bertubuh tegap, yang paling tampan di antara mereka maju lebih dekat dengan Melati hanya terhalang meja kerja.
"Selamat pagi, Bu Melati."
"Selamat pagi, Pak."
"Kami datang ke sini mau menyampaikan surat ini," pria itu langsung menyodorkan surat ini ke hadapan Melati.
"Surat apa ini, Pak?." Sambil membukanya.
"Ada yang melaporkan Ibu Melati atas pembunuh Ibu Eliana."
Sampai selesai Melati membaca surat itu, di sana dia menemukan nama Yunita yang melaporkannya. Melati tidak kaget dengan laporan ini karena baik Yunita maupun Viola memiliki alasan yang kuat. Dia hanya percaya Tuhan tidak pernah tidur dan apalagi dia tidak bersalah seperti yang dilaporkan Yunita.
"Semua bukti sudah ada di kantor dan hari ini juga Ibu Melati harus ikut bersama kami. Biar nanti kita bicara di kantor saja."
"Baik aku akan ikut, tapi biarkan aku bicara dengan Ayahku."
"Silakan, Ibu Melati."
Melati segera menghubungi Ayahnya dan menceritakan apa yang baru saja terjadi padanya. Melati meminta Ayah untuk tetap tenang dan segera datang menjenguknya.
"Bisa kita pergi sekarang, Ibu Melati?."
Melati mengangguk lalu berjalan dengan penjagaan ketat namun tidak ada yang berani menyentuhnya. Pria-pria itu begitu menghormati Melati sebagai seorang wanita muslimah.
Melati melewati beberapa pegawai yang begitu syok namun dia meminta mereka untuk tetap tenang dan bekerja seperti biasa. Tidak akan ada yang terjadi padanya. Semuanya akan baik-baik saja, itu yang sangat dipercayainya.
Tiba di kantor Melati langsung dicecar dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan pria tadi yang menyerahkan surat berkaitan dengan meninggalnya almarhumah Ibu mertuanya. Semuanya Melati jawab dengan jujur dan bertolak belakang dengan yang dilaporkan Yunita.
Melati tahu kondisinya yang sedang hamil, dia tidak boleh stres dengan situasi apapun. Ujian ini harus dilewatinya dengan lapang dada. Dia tetap bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim walau sedang dalam tidak baik-baik saja sekali pun.
Di lain tempat baru saja Mas Kalingga menutup sambungan telepon. Dia langsung mencari keberadaan istrinya, baru saja Viola kelaur dari kamar mandi. Mas Kalingga langsung menyampaikan kekecewaannya terhadap Viola.
"Aku menceraikan Melati supaya kamu tidak melaporkan perbuatannya terhadap Ibuku. Dan sekarang apa yang kamu lakukan?."
"Kamu bicara apa sih, Mas?," masih dengan santai dia menjawab pertanyaan Mas Kalingga dengan pernyataan. Dia juga masih bisa mengenakan pakaiannya dan merias tipis wajahnya.
"Aku yakin pasti kamu ikut terlihat dalam penahanan Melati."
Viola memicingkan mata. "Kamu menuduhku?."
"Iya, dan karena aku tahu untuk apa kamu melakukan semua itu?."
Tangan Viola langsung menyentuh dada Mas Kalingga.
"Aku di sini bersamamu, Mas. Jadi kapan aku membuat laporan itu. Lagi pula semua bukti sudah aku lenyapkan di hadapan kamu 'kan, Mas."
Tangan Viola sudah diturunkan Mas Kalingga dari dadanya.
"Memang benar kamu selalu ada berada di sisiku, tapi entah kenapa aku masih yakin jika kamu ada hubungannya dengan laporan ini."
"Mas, mungkin saja ini keadilan buat Ibu."
Mas Kalingga menggeleng.
"Aku tidak akan pernah mengorbankan wanita yang paling aku cintai demi keadilan Ibu." Sebenernya Mas Kalingga tidak mempercayai jika Melati yang melenyapkan nyawa Ibu. Tapi dia juga harus realistis semua bukti mengarah pada Melati.
"Ibu sudah tenang di sana, aku sudah berpisah juga dengan Melati. Jadi apa yang masih kamu inginkan dariku, Viola?." Tegas Mas Kalingga kemudian.
Hilang sudah kesabaran Viola, lalu wanita hamil itu mencengkeram T-shirt warna putih yang dipakai Mas Kalingga.
"Cintamu kembali utuh untukku, Mas!."
"Heh," sinis Mas Kalingga.
"Kamu yang meninggalkan aku, yang menorehkan luka pada hatiku. Lalu dengan segala kelembutan dan kebaikannya Melati mampu mengobati luka itu. Apa berlebihan jika aku sangat mencintainya sampai-sampai tak tersisa lagi cinta untukmu?." Pelan namun sangat menusuk hati Viola. Wanita itu semakin kuat mencengkeram T-shirt Mas Kalingga bahkan sampai sobek karena kuku panjang Viola.
"Kalau begitu, siap-siap saja Melati hidup menderita."
"Tidak akan pernah aku biarkan, Vi."
"Oke, kita lihat siapa yang dapat membuktikan ucapku atau kamu, Mas." Viola melepas cengkeramannya karena perutnya terasa nyeri.
Viola pun berusaha tenang, mengatur napas berulang kali, kemudian duduk guna mengurangi rasa sakitnya.
"Kenapa, Vi?." Mas Kalingga berjongkok di hadapannya. Pria itu tetap perhatian pada Viola dan bayinya.
Viola tidak menjawab, dia terus mengatur napas dan emosinya hingga sakit di perutnya tidak terasa lagi.
"Aku ada praktik, Mas." Lalu bangkit.
"Kamu tidak apa-apa?," Mas Kalingga masih khawatir.
Viola hanya menggeleng lalu meninggalkan Mas Kalingga.
Di ruang praktik Viola lebih banyak diam, mengurangi interaksi dengan pasien namun tetap sangat profesional. Lagi pula yang berobat siang itu tidak terlalu banyak.
"Dokter Viola, sakit?." Tanya Karim yang memiliki keperluan menemui Viola.
"Tidak, Dokter Karim. Hanya sedikit saja mungkin aku tegang karena HPL ku sudah dekat."
"Istirahat saja dulu, Dokter Viola. Dokter Viola tidak usah praktik, nanti Dokter Viola bisa balik ke sini setelah melahirkan."
"Terima kasih, Dokter Karim. Tapi ngomong-ngomong ada perlu ada Dokter kemari?."
"Sebenarnya aku mau sedikit cerita saja."
"Mau curhat?," Viola tersenyum.
"Mungkin itu lebih tepatnya," Dokter Karim tersenyum juga.
"Tentang wanita?," tebak Viola menggoda.
Dokter Karim tersenyum sambil mengangguk.
"Ceritalah! Aku siap mendengarkan."
"Aku menyukai mantannya Dokter Langit."
Perlahan senyum Melati menghilang, lagi nama Melati yang didengarnya.
"Tapi sepertinya dia tidak menyukaiku." Lanjut Dokter Karim.
"Mantan Dokter Langit, mantan istri suamiku, Dokter Karim. Melati sudah punya dua anak perempuan."
"Iya, aku tahu."
"Lalu kenapa Dokter Karim masih menyukainya? Bukannya masih banyak gadis di luar sana yang lebih cantik, modern dan seksi?."
"Tapi yang aku suka Melati, dia paket komplit yang aku ingin jadikan istri."
Seketika Viola memegangi dadanya yang tiba-tiba sesak membuatnya kesulitan bernapas.
"Dokter Viola!," Dokter Karim mendekatinya.
Sungguh sial harinya yang selalu mendengar nama Melati. Setiap pria yang dikenalnya menyukai Melati. Darahnya semakin mendidih dan akhirnya dia pamit. Tak kuasa mendengar lebih banyak lagi pujian tentang Melati.
Viola tidak segera menyalakan mobilnya, dia melamun di dalam sana. Dia tidak mengira hidupnya akan sekacau ini hanya karena satu nama, Melati. Dia kira dengan kembali menjalin hubungan dengan Mas Kalingga semuanya akan sama seperti dulu. Saling mencintai dengan tulus. Namun rupanya sudah ada Melati yang mengambil alih semuanya.
Air matanya menetes, dia tidak pernah mengira akan menjadi orang yang menghalalkan segara cara demi Mas Kalingga. Kenapa dia tidak bisa berpikir jernih jika masalah hati jika selama ini saja hidupnya baik-baik tanpa Mas Kalingga.
Nasi sudah menjadi bubur, dia tidak bisa mundur lagi dan harus terus maju demi egonya yang telah terluka.
Bersambung