“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Setelah kepergian Elvino, hening masih menyelimuti ruangan. Namun kali ini, keheningan itu terasa berbeda, tidak lagi menyesakkan dada, tidak lagi terasa seperti dinding dingin yang menekan dari segala arah. Ada kehangatan halus yang menggantikan rasa sesak itu, seperti cahaya lembut yang merembes masuk melalui celah kecil di hati Nayla yang selama ini tertutup rapat oleh lelah dan luka.
Ucapan Elvino tadi terus berputar di benaknya, menggema lembut tapi penuh arti. Kalimat sederhana itu terasa seperti pelukan yang tak terlihat, hangat, tulus, dan nyata. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nayla merasa dipedulikan. Ia bahkan bisa merasakan semangat kecil mulai tumbuh lagi di dalam dirinya.
Perlahan, Nayla bangkit. Jas milik Elvino masih membalut tubuhnya yang kecil dan rapuh. Bahan kainnya halus, sedikit kebesaran, namun nyaman. Aroma lembut yang melekat di jas itu, perpaduan wangi sabun dan parfum pria, mampu membuat dadanya terasa hangat. Ia menunduk, menggenggam tepi jas itu erat-erat, seolah benda itu adalah satu-satunya hal yang bisa menahan hatinya agar tidak runtuh.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan dan mengambil bungkusan makanan yang tadi dibawakan Elvino. Tangannya sedikit gemetar saat membuka bungkusnya. Aroma harum langsung menyebar ke seluruh ruangan, aroma daging, rempah, dan saus yang menggoda. Hidungnya sampai bergetar menahan air mata yang tiba-tiba muncul. Sudah lama sekali ia tidak mencium aroma makanan seperti ini.
Ia kembali duduk di sofa lalu mulai menyendok makanan itu perlahan. Setiap suapan terasa luar biasa di lidahnya, hangat, gurih, dan begitu berbeda dari makanan seadanya yang biasa ia makan bersama adik-adiknya. Lidahnya hampir tidak percaya bahwa sesuatu yang sederhana bisa terasa begitu mewah.
“Enak sekali…” gumamnya pelan, diikuti senyum kecil yang muncul menghiasi wajahnya.
Namun di tengah rasa hangat itu, matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Bukan karena sedih, melainkan karena rasa syukur yang tiba-tiba menyeruak. Ia menatap langit-langit, menahan tangis yang nyaris pecah. Ternyata dunia tidak sepenuhnya kejam, pikirnya. Masih ada orang seperti Elvino, orang asing yang datang membantu tanpa pamrih.
...
Setelah merasa energi tubuhnya cukup pulih, Nayla berjalan perlahan menghampiri ranjang Dio.
Dokter yang memeriksa Dio menyatakan bahwa adiknya itu terkena serangan DBD. Setelah diberi tindakan, Nayla merasa bersyukur karena keadaan Dio mulai membaik. Meski tubuhnya masih lemah, namun wajahnya tidak lagi sepucat kemarin.
Ia membenahi selimut adiknya dengan hati-hati, memastikan selang infus tidak tersumbat. Tatapannya lembut, penuh kasih yang tak terucap. Tangannya terulur, mengelus rambut Dio perlahan, sebelum akhirnya ia menunduk dan mengecup kening adiknya dengan lembut.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Nayla berbalik menuju ranjang di mana Lili tertidur pulas. Ia membaringkan tubuh di samping adik bungsunya itu, memeluknya pelan. Kelelahan mulai menyerang, dan perlahan matanya terpejam dan tenggelam dalam tidur yang tenang.
Hening kembali menyelimuti ruangan. Hanya terdengar suara lembut dari alat infus dan desiran napas tiga manusia yang terjebak dalam lelah dan luka kehidupan.
Namun perlahan, sepasang mata kecil terbuka.
Ia menatap ke arah langit-langit ruangan dengan pandangan kosong. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, tidak ada keluhan kesakitan. Ia hanya diam. Lalu, tanpa sadar, setetes air mata mengalir dari sudut matanya, membasahi bantal di bawah kepala.
Ia melihat semuanya. Ia mendengar semuanya.
Ia melihat kakaknya yang selalu berjuang untuknya, menangis dengan suara lirih yang menyayat hati. Ia mendengar bagaimana kakaknya berbicara dengan pria yang membawanya ke rumah sakit. Ia tahu, kakaknya sampai ingin menyerahkan tubuhnya sendiri demi membalas kebaikan pria itu, karena jika tidak ada pria itu… mungkin ia sudah tidak ada di dunia ini.
Ia tahu semua itu. Ia sadar, tapi memilih berpura-pura tertidur.
Air matanya jatuh semakin deras.
Selama ini ia selalu berkata kasar pada kakaknya, selalu menyalahkan Nayla atas kematian ibu mereka. Ia selalu menganggap kakaknya egois, terlalu mementingkan diri sendiri, tidak memahami betapa ibunya sedang sakit, padahal kenyataannya, Nayla melakukan semua itu demi dia, demi Lili, demi keluarga kecil mereka agar tetap bisa bertahan hidup.
“Maaf, Mbak…” ucap Dio lirih, suaranya bergetar di antara isak yang tertahan.
Air matanya mengalir tak henti di ujung matanya.
“Dio sudah jahat sama Mbak. Dio sering bentak Mbak, sering bicara kasar, sering nyalahin Mbak atas kematian Ibu. Dio bahkan sempat mikir kalau Mbak itu penyebab semua kekacauan keluarga ini.”
Suaranya terputus oleh sesak di dada.
sekarang ia menyadari kakaknya itu sudah berjuang sekuat tenaga hanya untuk membuat mereka tetap hidup.
“Padahal Mbak yang paling sakit, mbak menahan semua seorang diri…”
Dio menatap wajah Nella dari kejauhan, menahan isak.
Ia mengusap air matanya dengan punggung tangan, namun justru semakin banyak air mata yang jatuh.
“Dio ngerasa kayak… nggak ada bedanya sama Bapak,” lirihnya.
Suara itu begitu pelan, hampir tenggelam dalam hening malam.
Tubuhnya bergetar, menahan tangis yang terus mendesak keluar.
Dio memejamkan mata rapat-rapat. Ia ingin menebus semuanya, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk sekadar bergerak. Yang bisa ia lakukan hanya menangis dalam diam, menatap kakaknya yang tertidur di seberang sana dengan wajah lelah yang begitu meneduhkan.
“Maaf, Mbak…” bisiknya sekali lagi, nyaris tak terdengar.
“Dio janji, kalau Dio sembuh… Dio bakal berubah. Dio nggak akan buat mbak Nayla segih lagi... Dio janji…”
merajukkk aja biar elvino ketar-ketir buat merayu nayla😍🤭🤭