FB Tupar Nasir, ikuti FB nya ya.
Diam-diam mencintai kakak angkat. Namun, cintanya tidak berbalas. Davira, nekad melakukan hal yang membuat seluruh keluarga angkatnya murka.
Letnan Satu Arkaffa Belanegara, kecewa dengan kekasihnya yang masih sesama anggota. Sertu Marini belum siap menikah, karena lebih memilih jenjang karir yang lebih tinggi.
Di tengah penolakan sang kekasih, Letnan Arkaffa justru mendapat sebuah insiden yang memaksa dia harus menikahi adik angkatnya. Apa yang terjadi?
Yuk kepoin.
Semoga banyak yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Sekamar
Tiga hari Davira berada di rumah sang mama mertua, tiba-tiba Kaffa mengajak Davira pindah ke rumahnya. Bu Daisy sebetulnya masih ingin Davira tinggal di rumahnya beserta Kaffa. Akan tetapi atas bujukan Pak Daka, akhirnya Bu Daisy memberi izin dan restu pada Kaffa dan Davira untuk tinggal di rumahnya.
Keadaan Bu Daisy saat ini pun sudah kembali seperti sedia kala. Sepertinya Davira memang menjadi obat yang ampuh atas sakitnya Bu Daisy.
"Sering-sering kunjungi mama dan papa. Lagian rumah kalian hanya beda beberapa ratus meter saja," ujar Bu Daisy sembari memeluk Davira sebelum Davira dibawa pergi ke rumah Kaffa.
"Tentu saja, Ma. Aku akan ke rumah ini paling cepat seminggu sekali atau paling telat dua minggu sekali." Kaffa menyanggupi. Dia langsung menuju mobilnya meletakkan kantong besar yang dalamnya makanan dan kue-kue untuk camilan di rumahnya.
Davira yang sejak tadi diam saja dengan raut wajah sedih, meraih tangan Bu Daisy kemudian diciumnya. "Ma, Vira pergi dulu, ya. Mama dan Papa harus sehat-sehat supaya Vira masih bisa memeluk Papa dan Mama. Vira pergi, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Baik-baik, kalian disana."
Davira memeluk sang mama mertua untuk terakhir kalinya dia tinggal hari ini di rumah itu, sambil menangis. Meskipun bukan pindah ke tempat yang jauh berjarak mil-mil kilo meter, akan tetapi perasaan Davira sangat sedih.
Kalau boleh memilih Davira masih ingin tinggal satu rumah dengan Bu Daisy dan Pak Daka, mengingat sikap Kaffa yang ketus dan serta menudingnya negatif.
Namun, Davira tidak bisa, sebab tidak ada keputusan lain selain menerima.
Setelah berpamitan dan menyalami keduanya, Davira menghampiri mobil Kaffa, lalu ia memasukinya.
"Totot."
Mobil Kaffa segera melaju setelah bunyi klakson diperdengarkan. Bu Daisy dan Pak Daka melambaikan tangan ke arah mobil Kaffa yang kini melaju meninggalkan halaman rumahnya.
Keadaan rumah kini sepi, Bu Daisy kembali sedih. Pak Daka buru-buru meraih bahu sang istri supaya tenang dan tidak larut dalam kesedihan.
"Mama jangan bersedih atau sakit lagi, mereka hanya tinggal beberapa ratus meter saja dari kediaman kita," hibur Pak Daka sembari membawa tubuh Bu Daisy memasuki rumah.
***
Mobil Kaffa baru saja tiba di depan rumahnya. Kaffa segera membawa mobilnya ke dalam halaman rumah. Dia menuruni mobil duluan disusul Davira.
Sejenak Davira menatap rumah berlantai dua itu dengan takjub. Rumah dengan tipe 72 itu baginya terlalu luas hanya ditempati dua orang saja.
"Masih mau berdiri di situ?" Suara tegas Kaffa memecah keheningan dan lamunan Davira. Ia terkejut lalu menatap Kaffa sekilas. "Ikuti aku," ajaknya sembari melangkah lebih dulu. Davira mengikuti Kaffa dari belakang.
Saat pintu itu dibuka, nuansa modern dari dalam rumah sudah terasa. Cat tembok warna hijau muda cerah mendominasi seluruh ruangan, kecuali kusen pintu berwarna coklat tua, kontras dengan warna cat tembok.
Kaffa masih belum berhenti, dia menaiki tangga, sementara Davira berhenti di dasar tangga. Kaffa tidak sadar Davira tidak mengikutinya. Setelah ia berada di lantai atas, baru tubuhnya memutar dan mendapati Davira ternyata masih di bawah.
Kaffa terbelalak lalu menggelengkan kepala. Dia pikir Davira mengikutinya, ternyata tidak.
"Ya ampun, sudah aku bilang ikuti aku, kenapa masih di bawah?" tegur Kaffa dengan nada kesal.
Walau sedikit tersentak, Davira buru-buru menapaki tangga dan menaikinya. Hatinya kini berdebar-debar. Yang ada dalam pikirannya kini, bagaimana nanti dirinya dan Kaffa jika satu kamar?
Davira berharap Kaffa menempatkannya dalam kamar terpisah. Davira percaya Kaffa akan mengatur dirinya tidak sekamar dengannya. Sebab Davira tahu, Kaffa tidak mencintainya, terlebih dirinya kedapatan jalan bersama Arda di depan halaman swalayan.
"Masuklah. Mulai sekarang kamar ini tidak hanya kamarku, tapi kamar kamu juga," tegas Kaffa membuat Davira tersentak tidak percaya.
Davira bengong, dia tidak yakin dengan apa yang dikatakan Kaffa barusan.
"Kenapa bengong? Kamu tidak mau sekamar denganku, pria yang sudah berhasil kamu jebak dua tahun lalu?"
Davira tidak bisa menjawab jika Kaffa kembali mengungkit masa lalu itu. Dia akui dia memang salah, tapi Davira sakit hati jika Kaffa kembali mengungkit masa lalu itu.
"Kami sekamar? Serius?" Davira membatin. Kakinya kini mulai melangkah memasuki kamar milik Kaffa.
Kamar itu sedikit berantakan, bantalnya ke mana-mana. Baju loreng Kaffa entah bekas hari kapan, berada di atas kasur. Kaos kaki kotor berserakan di lantai. Laci lemari terbuka, isinya ada yang terburai keluar. Sungguh kondisi kamar ini mencerminkan kalau Kaffa benar-benar kalang kabut ketika menyiapkan diri untuk pergi kerja atau bepergian.
"Beginilah kamarku. Tidak perlu heran, aku sudah beberapa hari nggak tinggal di sini, jadi wajar saja keadaannya seperti ini. Kamu, tentu tahu tugas kamu, bukan?" ujar Kaffa.
Davira mengangguk, dia paham maksud Kaffa. Lagipula Davira memang tidak suka melihat keadaan kamar atau ruangan persis kapal pecah.
Dengan sigap, Davira meraih sapu lidi untuk membersihkan kasur. Kasur merupakan benda di dalam kamar yang pertama Davira sentuh.
Kasur itu sudah rapi kembali dengan pewangi ruangan yang menyegarkan. Benda-benda lain yang tadi berantakan, kini sudah tidak terlihat lagi. Kamar itu berubah menjadi rapi dan wangi.
Namun, meskipun mereka dalam satu kamar, perasaan Davira kini dilanda canggung yang dalam. Dia merasa Kaffa hanya sedang mengujinya.
Keesokan harinya, Davira sudah terbangun dari tidur saat kumandang adzan terdengar dari berbagai penjuru. Tidak ada yang terjadi semalam pada Davira dan Kaffa. Mereka tidur di ranjang yang sama, tetapi Kaffa memberi jarak dengan menggunakan guling sebagai penghalangnya.
Davira melakukan aktivitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga baru. Meskipun Kaffa masih bersikap dingin, akan tetapi Davira melakukan tugasnya dengan baik. Dia ingin memperlihatkan pada Kaffa bahwa dia mampu melakukan pekerjaan rumah dengan baik.
"Kenapa Kak Kaffa tidak meminta haknya malam tadi, kalau memang dia mau melanjutkan pernikahan ini? Apa aku terlalu menakutkan untuk diminta?" Diam-diam pikiran itu menyelinap dalam otak kecilnya.
Di sisi lain, Davira juga lega, sebab sesungguhnya, Davira belum benar-benar siap untuk melakukan itu.
Davira sudah berada di dapur dengan sarapan paginya yang menggiurkan.
Lima menit kemudian langkah kaki Kaffa mulai terdengar menuju dapur. Davira menyambutnya dengan senyuman yang dipaksa.
"Kak Kaffa sarapan pagi sudah siap," ujarnya.
Kaffa menatap Davira dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semalam Kaffa masih belum meminta haknya pada Davira, sebab ia masih ada sisa kemarahannya atas penemuannya tempo hari di depan swalayan.
"Jangan senang dulu, lain kali aku akan buktikan apakah kamu masih terjaga atau tergadai," ketusnya setelah selesai sarapan pagi.
Lagi-lagi Davira sakit hati dengan kalimat tuduhan yang dilontarkan Kaffa. Tapi, dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam menahan semua.
semangat 💪💪💪 lanjut up thor
gedek bayikk
buat Vira pergi lagi ...biar nyaho kak