NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka yang kembali hidup

Langkah-langkah berat terdengar dari arah belakang aula. Suara kain gaun yang diseret lembut di lantai marmer bergema samar, menyusup di antara kesibukan para pelayan yang masih bekerja. Rosella menegang. Ia tidak berani menoleh, tapi ia tahu betul suara itu. Suara langkah yang hanya dimiliki oleh seseorang yang wibawanya tidak perlu dipaksakan— Grand Duchess.

Di sampingnya, langkah yang lebih ringan menyusul, teratur dan berhati-hati. Evelyn.

“Orion?” Suara lembut sang Grand Duchess pecah di udara. Nada itu bukan bentakan, bukan pula kemarahan, tapi mengandung ketegasan yang membuat siapa pun yang mendengarnya langsung menunduk. “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Rosella tersentak, jantungnya seolah meloncat ke tenggorokan. Ia ingin segera membungkuk, namun tubuhnya kaku. Orion masih berdiri di dekatnya, sosok tinggi dengan bayangan yang menutup separuh wajahnya. Ia tidak tampak terguncang sama sekali. Bahkan ketika neneknya menghampiri, ia masih memancarkan ketenangan yang menusuk.

Evelyn berdiri sedikit di belakang Grand Duchess. Sorot matanya jatuh pada Rosella—sekejap saja, tapi cukup untuk membuat darah di tubuh Rosella berdesir. Tatapan itu sulit dibaca. Tidak ada amarah, tidak ada iba, namun ada sesuatu yang membuat Rosella ingin berpaling.

Orion baru berbalik setelah keheningan terasa menekan. Ia menunduk sekilas, memberi salam pada neneknya dengan sikap sopan namun tidak sepenuhnya tunduk. “Aku hanya menegur seorang pelayan yang tidak bekerja dengan baik.”

Suara itu tenang, dalam, dan nyaris tanpa jeda seolah sudah dipikirkan matang-matang. Namun justru karena terlalu sempurna, terasa dingin dan membuat Rosella semakin merasa terpojok.

Grand Duchess mengernyit. Garis halus di wajahnya dalam sekejap menajam, tatapannya mengiris cucunya dengan rasa ingin tahu. “Benarkah?” katanya perlahan, tapi jelas terdengar semua orang yang ada di sekitar aula. “Kau?” Ia menekankan satu kata itu, membuat suasana mendadak kaku. “Orion, kurasa mengurusi masalah para pelayan bukan keahlianmu. Kau bahkan jarang sekali menoleh pada mereka.”

Evelyn menunduk hormat, tapi dari ekor matanya ia masih memandangi Rosella. Tatapan itu tidak menyerang, tapi terasa seperti timbangan yang berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rosella menunduk lebih dalam, tangannya mencengkeram kain dekorasi yang tadi ia pegang hingga hampir kusut.

Orion tidak bergeming. Ia menerima tatapan curiga itu tanpa kehilangan wibawa sedikit pun. “Aku hanya lewat,” ujarnya datar. “Kebetulan melihat pekerjaan yang tampak lambat. Aku pikir menegur mereka bukan hal yang salah. Lagipula, Nenek, ini pesta ulang tahunmu. Aku tidak ingin kau melihat ada hal yang dikerjakan sembarangan.”

Grand Duchess mendengus kecil, nyaris seperti helaan napas yang bercampur dengan rasa tidak puas. Ia menoleh sekilas pada Evelyn, seolah meminta penilaiannya tanpa kata. Evelyn mengangguk pelan, lalu berkata hati-hati, “Saya pikir pekerjaan para pelayan sudah cukup baik, Grand Duchess. Mungkin hanya butuh sedikit waktu untuk menyelesaikannya. Rosella termasuk yang paling teliti dalam pekerjaannya.”

Nama itu diucapkan dengan jelas, dan seketika Rosella merasa wajahnya memanas. Ia ingin sekali menghilang ke balik tirai atau berlari ke dapur, jauh dari tatapan dua bangsawan yang berdiri di depannya.

Grand Duchess menoleh kembali pada cucunya, suaranya tetap lembut tapi ada ketegasan yang tidak bisa ditolak. “Orion, jika kau merasa perlu menegur, seharusnya ada pengawas yang bisa kau percayakan. Kau bukan kepala pelayan. Aku tidak ingin melihatmu menghabiskan waktu di sini hanya untuk hal seperti ini.”

Hening merayap. Para pelayan lain menunduk lebih dalam, pura-pura sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tapi jelas-jelas mereka menahan napas. Mereka jarang sekali melihat Grand Duchess menegur cucunya secara langsung.

Orion tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Wajahnya tetap datar, dingin, seolah ucapan neneknya tidak lebih dari angin yang lewat. “Seperti yang kau inginkan, Nenek,” ucapnya singkat tanpa nada peduli, seolah masalah itu tidak berarti apa-apa baginya.

Grand Duchess masih menatapnya lekat-lekat, lalu perlahan mengalihkan pandangan pada Rosella. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat gadis itu kian terpuruk dalam rasa canggung. “Lanjutkan pekerjaanmu, Nak,” ucapnya datar, tanpa nada marah, tapi juga tanpa kelembutan.

Rosella segera menunduk dalam-dalam. “Baik, Yang Mulia.” Suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.

Grand Duchess kemudian berbalik, melangkah pergi dengan Evelyn yang setia mengikuti. Namun sebelum benar-benar meninggalkan aula, Evelyn sempat menoleh sekali lagi. Pandangannya jatuh pada Rosella, kali ini tatapannya terlihat begitu mematikan seolah telah menandai gadis itu ke dalam ingatannya.

Langkah mereka menjauh, meninggalkan ruangan yang kembali dipenuhi riuh pekerjaan para pelayan. Namun di sudut itu, Rosella masih terpaku, tubuhnya kaku menahan perasaan tidak nyaman. Sementara Orion … berdiri tak jauh darinya, tatapannya tetap dingin, seolah kejadian barusan tidak pernah berarti apa pun.

~oo0oo~

Di sebuah ruangan remang di kediaman Dreadholt, Evelyn duduk anggun di kursi berbalut kain beludru kelabu, jari-jarinya yang ramping mengetuk perlahan permukaan meja kecil di sampingnya. Lilin-lilin tinggi di sudut ruangan meneteskan cairan putih yang membeku di kaki penyangganya, memberi kesan muram pada ruang itu. Carlotte dan Joanna berdiri di dekatnya, seperti dua bayangan yang selalu setia mengitari langkah majikannya.

Carlotte membuka suara lebih dulu, nada bicaranya dibuat seolah sekadar ringan, padahal dalam intonasinya jelas ada bisikan menghasut. “Lady, bukankah pelayan itu akhir-akhir ini terlihat sedikit … kurang ajar?”

Evelyn mengangkat wajahnya, mata hijaunya berkilat pelan. “Maksudmu Rosella?” tanyanya, seolah sudah tahu ke mana arah percakapan ini.

Joanna dan Carlotte mengangguk bersamaan, cepat sekali, seakan takut melewatkan kesempatan menegaskan. Carlotte menyambung dengan lirih, “Ya, Lady. Sikapnya sering melampaui batas. Kadang caranya menatap, kadang kata-katanya—ia seperti lupa bahwa dirinya hanya seorang pelayan.”

Evelyn tidak langsung menjawab. Ia bersandar, jemarinya menyentuh bibir seakan menimbang sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar keluhan pelayan. Setelah jeda panjang, ia berkata dengan nada getir, “Entahlah. Aku tidak begitu yakin jika mereka tidak memiliki hubungan apapun. Bagaimanapun juga … Orion dulu pernah menolongku. Tapi bisa-bisanya dia seakan tak pernah mengenaliku sekarang.”

Kalimat itu keluar seperti duri yang menyakitkan. Evelyn menggenggam kain gaunnya, menariknya pelan hingga lipatannya berkerut. Joanna menunduk, tetapi tak kuasa menahan diri untuk ikut menyulut api yang sudah mulai menyala. “Itulah yang membuatku khawatir, Lady. Bagaimana mungkin seorang Duke menaruh perhatian lebih kepada pelayan? Sedangkan Anda—darah ningrat, nama terhormat—hanya dipandang sekilas?”

Carlotte menimpali, dengan suara yang lebih berani. “Dan lihatlah, Lady. Tatapan orang-orang di sekitar pun mulai berubah. Mereka memperhatikan kedekatan itu. Apa tidak mencederai nama baik Anda? Seolah-olah kedudukan Anda bisa ditukar dengan seorang gadis tak bernama.”

Ruangan itu mendadak terasa sempit, seolah udara di dalamnya menekan dada Evelyn. Ia memejamkan mata, mendengar kata-kata mereka menusuk telinganya seperti jarum. Ada rasa marah, ada rasa sakit, tapi juga ada sesuatu yang lebih dalam—rasa diabaikan, rasa dilupakan.

“Aku .…” Evelyn membuka matanya perlahan, suaranya bergetar namun tetap tegas. “Aku tidak pernah meminta pengakuan darinya. Hanya saja … apa pantas dia bersikap seolah-olah aku tak pernah ada? Aku berdiri di sisinya, dulu, di saat dia terluka di medan perang, ketika memerlukan sebuah bantuan bukankah aku selalu ada untuknya? Kita hanya tidak bertemu tiga tahun lebih. Dan kini … semua itu lenyap begitu saja?”

Joanna menatap Evelyn penuh iba, tapi ada kepuasan samar di matanya—seolah luka Evelyn adalah bahan bakar yang mereka butuhkan. “Lady, kadang pria seperti Duke hanya menghargai yang baru, yang segar. Mereka tidak tahu bagaimana membedakan kesetiaan dengan kebetulan. Tapi … jika orang-orang mulai percaya ada sesuatu antara dia dan Rosella, maka itu bukan hanya masalah hati. Itu bisa menjadi masalah kehormatan.”

Carlotte mendekat setapak, nada suaranya semakin tajam, “Lady, ingatlah … pelayan itu bukan hanya kurang ajar. Ia berbahaya. Mungkin ia pandai memainkan wajah polosnya, mungkin ia tahu bagaimana menundukkan mata dengan tepat di hadapan Duke. Tapi apakah itu sekadar kebetulan? Atau memang ia sedang merencanakan sesuatu? Tidak ada pelayan yang berani seterbuka itu, kecuali ada memiliki maksud tersembunyi.”

Evelyn menoleh, menatap lurus ke arah Carlotte. “Maksudmu … dia sengaja?”

Carlotte mengangguk mantap. “Sengaja, Lady. Dan jika benar begitu, maka Rosella tidak hanya menantang Anda … ia menantang posisi Anda di mata semua orang di Dreadholt. Bayangkan jika isu ini menyebar. Anda akan jadi bahan bisik-bisik, orang akan membandingkan Anda dengan seorang pelayan. Bukankah itu penghinaan yang tak bisa diterima?”

Keheningan panjang menyusul. Lilin di sudut ruangan bergetar nyalanya diterpa angin, membuat bayangan Evelyn menari-nari di dinding, panjang dan goyah. Evelyn menunduk, menggenggam cawan kecil di meja dan memutarnya pelan, seakan sedang mencari jawaban di dasar cawan yang kosong.

Suara Evelyn kembali terdengar, kali ini rendah dan penuh tekanan. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Dreadholt harus tahu siapa aku. Dan Rosella, dia harus mengerti tempatnya.”

Joanna dan Carlotte saling berpandangan cepat, lalu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan senyum tipis yang terbit di wajah mereka. Mereka tahu, api sudah berhasil mereka tiupkan.

.

Para pelayan sibuk mondar-mandir di aula samping, tangan-tangan mereka cekatan menata gulungan kertas bersegel, pita, serta cap keluarga Draevenhart yang baru dipoles hingga berkilau. Aroma tinta segar bercampur dengan lilin hangat, memenuhi ruangan yang penuh bisik-bisik namun tetap teratur.

Rosella berdiri di tengah kesibukan itu, gaun pelayannya sederhana dan sedikit kusut karena kerja tanpa henti. Jemarinya bergerak rapi, menata undangan satu per satu ke dalam kotak kayu berukir. Wajahnya tenang, tatapannya fokus, seperti pelayan lain yang tenggelam dalam tugas—namun di balik ketenangan itu, ada kewaspadaan yang tak pernah padam.

Tumpukan undangan semakin menipis. Rosella mengangkat selembar kertas tebal yang baru saja disegel, lalu menaruhnya ke sisi kanan kotak. Semua berjalan biasa, sampai matanya jatuh pada nama yang tercetak jelas dengan tinta hitam rapi.

Selir Marcelline Duvray.

Sejenak, waktu seakan berhenti. Suara langkah dan bisikan pelayan lain lenyap, berganti dengan detak jantungnya yang keras. Raut wajah Rosella berubah seketika—dingin, kaku, penuh bayangan yang tak ingin ia ingat kembali.

Tangannya berhenti. Ia menggenggam undangan itu erat-erat, begitu kuat hingga ujung kertas nyaris terlipat. Tatapannya menusuk, bukan lagi tatapan patuh seorang pelayan, melainkan tatapan seorang gadis yang sedang berperang dengan dirinya sendiri. Ada rasa muak, ada sakit, ada bara yang hampir meletup.

Ia ingin merobek undangan itu, menghancurkan nama yang selama ini menjadi luka dalam hidupnya. Tapi akalnya menahan, sebab ia tahu di Dreadholt setiap tindakan sekecil apa pun bisa berujung malapetaka.

Meski begitu, matanya tetap tak bisa lepas dari tulisan itu. Ia menunduk, menatap nama itu dengan dingin seolah hendak membakarnya dengan pandangan. Bibirnya bergetar halus, menahan amarah yang sudah lama terkubur.

“Marcelline …,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Lyrra yang lewat hanya menoleh sekilas, tak menyadari undangan di tangan Rosella bukan sekadar kertas, melainkan masa lalu yang dipaksa hadir kembali.

Dengan napas tertahan, Rosella akhirnya meletakkan undangan itu di tumpukan terakhir. Jemarinya masih bergetar, seolah enggan melepasnya. Setiap sentuhan terasa seperti penghinaan yang harus ia telan.

Kini undangan telah tersusun rapi. Rosella berdiri diam, tatapannya kosong menembus kotak kayu berukir, sementara dalam dirinya telah tersimpan api yang terus menyala seakan tak pernah padam.

Ia tahu, perjamuan ulang tahun Grand Duchess tidak hanya sekadar pesta. Dengan hadirnya nama itu, semuanya bisa berubah menjadi panggung—panggung di mana masa lalu dan dendam akan saling berhadapan.

Namun yang paling menyesakkan bukan itu. Yang membuat dadanya semakin bergetar adalah satu pertanyaan yang tak bisa ia hentikan.

Apakah benar takdir berniat mempertemukan mereka kembali?

.

.

.

Bersambung

Hallo guys gimana kabarnya? Masih bisa menikmati ceritanya sampai di sini atau sudah mulai membosankan? sksksk:v

1
yumin kwan
lah.... salah rose sndr, yang ceroboh.... kok Orion yg disalahin... uda baik Orion ga lampiaskan ke rosella
yumin kwan
penasaran..... apa isi surat yg ditulis rosella
yumin kwan
tetap kutunggu💪
yumin kwan
belum tau alurnya akan ke mana.... siapa lagi tuh tokoh barunya??
yumin kwan
Duke... itu cemburu namanya.... jealous....
masak gitu aja ga ngerti 😁
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Dimas Rizky Aditya: di tunggu
total 2 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Dimas Rizky Aditya: author nya lagi galau jadi agak lama the next nya berlanjut ya
total 2 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!