Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15. KEHILANGAN KENDALI
Jeritan keras dari arah Wati di saat Sekar keluar dari dalam rumah, dan mengayunkan pisau ke arah Joyo. Beruntung pria itu menghindar lebih cepat, hingga ujung pisau menancap di sandaran kursi. Kedua sisi bahu Sekar naik-turun, wajah Joyo seketika pucat begitu juga dengan Wati.
Jeritan keras dari Wati membuat pihak keamanan batalyon bergegas menuju rumah jendral yang tak jauh dari pagar, mata Sekar memerah. Joyo mundur cepat hingga berdiri di depan rumah.
"Wanita gila! Bagaimana bisa kamu ingin membunuh ayahmu sendiri, hah!" seru Joyo marah, menunjuk-nunjuk ke arah Sekar.
Degup jantung Joyo bertalu-talu, Sekar menarik kembali pisau yang tertancap. Ia berdiri tegak, mengarahkan bilah pisau pada Joyo dengan tatapan mata tajam.
"Mari, kita akhir sampai di sini. Kamu yang mati atau aku yang mati, b*jingan sialan," kata Sekar menggelegar.
Orang-orang dari beberapa rumah terdekat keluar dari dalam rumah menonton pertunjukan pagi menjelang siang, berbondong-bondong melihat bagaimana Sekar dihentikan oleh dua prajurit tentara sementara Joyo berlarian kabur. Ia bahkan tidak melihat ke belakang, berlarian cepat menuju pintu gerbang.
Sekar meronta-ronta, ia menatap marah ke arah Joyo yang melarikan diri. Orang-orang menggeleng menunjuk-nunjuk ke arah Sekar, bergidik ngeri.
"Astaga, dia sepertinya mulai gila."
"Bukankah ini gundik Jendral Johan?"
"Dia seperti orang kerasukan."
"Memalukan sekali."
"Bagaimana bisa dia mau membunuh orang di lingkungan ini."
Riuh, bisik-bisik lirih orang-orang yang menonton kemarahan Sekar yang meledak. Dari dalam rumah terlihat Ratna dan beberapa pembantu lainya keluar karena suara gaduh di luar, Lasmi semakin menggila bersembunyi di sudut kamar menutup kedua telinganya. Wati duduk kaku dengan tatapan mata tak percaya, ini kali pertamanya ia melihat putrinya seperti ini.
Sekar benar-benar ingin membunuh ayahnya sendiri, jika pisau yang dihunuskan tidak meleset maka sudah dapat dipastikan Joyo terluka parah. Awalnya mereka berdua pikir Sekar masuk ke dalam untuk mengambil sisa uang dengan patuh, siapa yang menyangka bukan uang yang Sekar bawa keluar malah pisau.
...***...
Suara gaduh dari derap langkah kaki terburu-buru di lorong-lorong bangunan terdengar memantul, kedua tungkai kaki panjangnya menuruni anak tangga. Di belakang Johan ada beberapa orang bawahan yang mengikuti, di sudut ruangan pengap itu wanita dengan rambut yang kusut duduk termenung.
"Buka pintunya!" titah Johan dengan nada marah.
Bawahnya dengan cepat membuka kunci pintu tahanan, Johan melangkah memasuki ruangan. Sekar yang merasakan kehadiran orang lain di dalam sel, mendongak samar-samar ia mendapati wajah Johan.
"Jendral," gumam Sekar lirih. Dahi Sekar berkerut melihat sosok tinggi menjulang yang kini menekuk kedua kakinya.
Menyamakan tinggi mereka, Sekar dibawa oleh pihak keamanan ke ruang penjara tak jauh dari batalyon. Karena aksi Sekar menuai kecaman, apalagi wanita satu ini bukan kaum elit Belanda. Terlalu berani membuat heboh, apalagi yang ingin dia lakukan adalah menghabisi nyawa orang.
"Kenapa Jendral ada di sini?" tanya Sekar tak paham.
Sekar kehilangan kontrol dirinya sendiri, kemarahan yang membumbung di hatinya mengambil alih kewarasannya. Joyo harus mati di tangannya, ia akan memberikan penderitaan pada pria parah baya itu. Meskipun sakit yang akan Joyo rasakan tak seberapa, akan tetapi kemarahan Sekar dan Lasmi akan tersalurkan. Sekar tahu betul itu bukan tindakan yang baik dan benar, setelah ia kembali ditenangkan dan di bawa ke rumah tahanan Belanda.
"Bagaimana bisa aku tidak datang ke sini, Nyai. Kamu benar-benar tau cara membuat aku terkejut, Nyai." Johan melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Sekar.
"Maaf," gumam Sekar nyaris berbisik.
"Maaf kenapa?" tanya Johan membawa manik mata biru dinginnya ke arah wajah Sekar.
"Ya, maaf. Harusnya aku tidak melakukan itu, meskipun begitu aku tidak menyesal melakukan tindakan nekat seperti itu. Dia bukan manusia, dia tak pantas menjadi manusia apalagi menjadi seorang Ayah. Jika dia masih tetap hidup, maka adik-adikku yang lain akan menjadi korban selanjutnya. Setidaknya menghabisinya, hanya aku yang akan mendekam di penjara." Sekar berkata pelan, ia paham emosi yang terkumpul adalah milik dari pemilih tubuh Sekar yang asli.
Kekecewaan, kemarahan, kesedihan, dan frustasi itulah yang ada pada tubuh ini. Manusia mana yang akan tetap waras saat berhadapan dengan manusia seperti Joyo, Johan mendesah berat. Tangannya mengusap lembut rambut Sekar, dan merapikannya.
"Jangan lakukan itu ke depannya," kata Johan serak, "biar aku yang melakukan untukmu, Nyai. Kamu ingin dia mati, aku akan mewujudkannya."
Kepala yang tertunduk itu langsung terangkat, manik mata Sekar menatap Johan dengan tatapan mata tak percaya. Pria di depannya ini akan melakukan itu untuk dirinya, apakah benar dilakukan untuk Sekar. Sulit untuk dipercayai, Johan menyeringai.
"Kenapa? Apa yang kamu inginkan dariku, Jendral?"
Sekar curiga, tidak ada bantuan yang gratis dari Johan. Dapat dipastikan Johan pasti menginginkan sesuatu dari Sekar, matanya menatap intens ke arah manik mata biru Johan. Seakan menyelami apa yang tengah Johan pikirian saat ini, Johan mengulas senyum rumit.
"Hanya karena mau saja," sahut Johan tanpa ingin menjelaskan apapun. "Ayo kita keluar dari sini," lanjutnya.
...***...
Alis mata tebal Samudra ditarik tinggi ke atas, mendengar informasi yang dibawa Raden. Samudra tak tahu apa yang melatarbelakangi hingga Sekar nekat untuk melakukan percobaan pembunuhan di batalyon, hingga membuat heboh para elit tinggi Belanda.
"Ada informasi lainnya, kenapa dia melakukan itu?" tanya Samudra penasaran.
Raden menggeleng, "Tidak ada, hanya itu saja. Dan dia dibawa ke ruangan tahanan Belanda."
Samudra tanpa sadar bangkit dari posisi duduknya, matanya terbelalak. Ia melangkahkan tanpa kata menuju pintu ke luar, Raden mengerutkan dahinya.
"Hei! Mau kemana Jendral?" Raden mengejar langkah kaki Samudra.
Tidak ada sahutan dari mulut Samudra, pria itu melangkah terburu-buru menuju pintu keluar. Saat pintu dibuka, wanita cantik berdiri di depan pintu dengan tangan terangkat. Raden berhenti tepat di belakang tubuh Samudra, melirik ke depan.
"Masuklah," katanya dengan tangan mendorong dada Samudra untuk mundur ke belakang.
Raden menyingkir ke samping, pintu ditutup. Wanita cantik itu melepaskan selendang yang ia pakai pada kepalanya, melirik Samudra.
"Mau kemana?" tanyanya pada Samudra.
"Keluar, kamu bicaralah pada Raden apa yang ingin kamu sampaikan." Samudra mengangkat tangannya menyentuh gagang pintu.
"Dia sudah dibawa pulang oleh Johan, masalah itu berakhir begitu saja. Siapa yang berani menentang keputusan Jendral tinggi. Meskipun dia membuat banyak gosip di batalyon," beber Kartika, seakan mampu membaca ekspresi wajah Johan.
Embusan napas lega mengalun, bohong jika Kartika tak terbakar api cemburu mendengar desahan lega dari mulut Samudra. Pria ini bahkan terburu-buru keluar, hanya untuk Sekar—gundik murahan itu.
Bersambung...