Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Armando vs Alessandro
Tubuh Armando tersungkur di pelataran hotel AMAZON, setelah para ajudan Alessandro melemparnya dengan tanpa perasaan.
“Tuan, ayo bangun!” Esmeralda mencoba membantunya bangun dengan iba. Sedikit tak mengerti. Dulu, tuannya orang yang sangat kuat, sepuluh orang seperti ajudan Tuan Muda Garcia jelas bukan lawan yang sepadan untuknya. Kenapa sekarang jadi lemah seperti ini?
Armando mengusap darah yang tersisa di ujung bibirnya dengan punggung tangan. Menerima uluran tangan Esmeralda. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ia selalu enggan bersentuhan dengan wanita. Sentuhan yang pernah ia lakukan dengan Veronica adalah sekedar tembok yang ia bangun untuk Virginia. Tapi sekarang dia benar-benar butuh bantuan untuk menyangga tubuh.
Uhuk uhuk…
Sepercik darah kembali keluar dari mulutnya. “Tuan, apa yang terjadi pada diri Anda? Apa Anda sedang tidak sehat?” Esmeralda bertanya cemas.
“Antarkan aku pulang!!” Tak menjawab, Armando hanya memberi perintah.
Tanpa bantahan, Esmeralda mengangguk, memapah tuannya menuju tempat di mana mereka memarkir mobil. Armando menurut dengan langkahnya yang terseok. Esmeralda membantu Armando untuk duduk dengan nyaman, memasangkan sabuk pengaman, lalu berjalan memutari mobil dan duduk di kursi kemudi, bersiap melaju.
“Cari informasi tentang jadwal kepergian Alessandro Garcia dari kota ini!” perintah Armando ketika mereka dalam perjalanan.
“Akan saya lakukan secepatnya.” Esmeralda melajukan mobilnya dengan hati-hati hingga akhirnya tiba juga di kediaman baru Armando Mendoza.
Sebuah rumah mewah. Rumah yang ia beli setelah rumah yang selama ini ia tempati bersama Virginia terbakar habis tak bersisa. Ia enggan tinggal bersama mamanya, tak ingin melihat kesedihan wanita yang melahirkannya setiap kali bicara tentang Virginia. Di rumah itulah saat itu ia tinggal, bersama para pelayan yang setia mengikutinya.
Setelah memastikan Armando aman bersama pelayannya, Esmeralda segera pergi meninggalkan rumah mewah itu untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Armando.
…
Malam telah larut Armando berada dalam kamarnya bersama hatinya yang gelisah. Ucapan Alessandro yang mengatakan akan membawa Virginia pergi terus terngiang di kepalanya.
Dengan wajah menengadah menatap langit-langit kamar tangannya meraba-raba ketika mendengar denting notifikasi pesan dari ponselnya yang tergeletak di samping bantal.
Pesan masuk dari Esmeralda membuatnya bangun seketika. "Jadi, dia akan pergi meninggalkan kota ini malam ini? Apa benar dia bersama Virginia?"
Armando bergegas menyibak kembali selimutnya lalu menyeret tubuhnya yang lemah turun dari ranjang dan berlari keluar. "Tidak, itu tidak boleh terjadi. Aku harus merebut Virginia darinya."
"Tuan, Anda mau ke mana?” Armando terus berlari tidak peduli dengan teriakan Matilda.
Mengendarai mobil dengan kencang menuju ke rute di mana menurut Esmeralda di sana
lah Alessandro saat ini berada.
Mobil yang sesuai dengan petunjuk Esmeralda berada di depan matanya, ia segera tancap gas untuk menghadang.
Ckiiitttt…
Suara mobil yang direm secara mendadak. Armando melepas sabuk pengaman lalu keluar dari mobil, melangkah mendekati mobil yang dikendarai oleh Alessandro, menggedor jendela kaca dengan kasar.
"Keluar! Cepat turun kamu!" bentak Armando.
Armando terkejut ketika pintu mobil terbuka, ternyata yang ada Di dalam mobil itu bukanlah Tuan muda Garcia
"kenapa Anda menghadang mobil saya, Tuan?" tanya seorang pria bertubuh tambun.
"kamu siapa? di mana Alessandro garcia" Armando berteriak keras seraya mencengkeram kerah orang itu.
Bugh…
Bukan jawaban tetapi kepalan tangan mendarat di pipi Armando membuat cengkeraman pria itu pada kerah lawannya terlepas seketika. Wajahnya tertoleh ke samping dengan setetes darah menghiasi sudut bibirnya.
"Anda menghadang langkah saya dan membuat keributan. apa mau saya melaporkan Anda pada polisi atas tindakan tidak nyaman?"
Armando menggelengkan kepalanya, apanya yang salah? dia sudah mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Esmeralda. tapi kenapa yang ditemui bukan Alessandro dan Virginia.
"maaf, saya salah orang. mungkin saya salah menerima informasi," ucap Armando sambil menangkupkan dua tangan yang di depan dada.
"maaf? kamu sudah membuang-buang waktu saya, dan sekarang hanya permintaan maaf. apa itu sepadan?"
Bugh... Bugh... Bugh
pria bertubuh tambun kembali melampiaskan kekesalannya. Armando sama sekali tidak melawan, entah merasa salah, atau mungkin tubuhnya yang lelah. yang jelas pria itu langsung jatuh luruh di atas jalanan beraspal.
setelah melihat Armando tak berdaya, pria bertubuh tambun itu kembali masuk ke dalam mobilnya lalu melaju pergi.
*
Hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi, menghadirkan hawa dingin di malam yang pekat, meluruhkan noda-noda darah di wajah Armando. Pria itu menangis bukan karena kesakitan akan tetapi harapan yang tak bersambut. Masih terlentang di atas aspal, sama sekali tak berniat untuk bangkit. Berharap dinginnya hujan berhasil meluruhkan kalutnya hati.
Sergio datang dengan tubuh pada basah kuyup. Pria itu sudah tidur bersama istrinya, ketika terbangun oleh ponselnya yang terus berdering. Ada nama Matilda sebagai pemanggil. Sebagai seorang sahabat setia sekaligus adik ipar, tidak mungkin ia mengabaikan apa yang diucapkan oleh Matilda. Dan disinilah saat ini dia berada, menemukan Armando yang dalam kondisi mengenaskan.
“Bangun! Armando, bangun! Kenapa kamu menjadi seperti ini?” Sergio meraih kerah Armando membawa pria itu berdiri.
“Aku mencari Virginia tetapi tidak ku temukan. Di mana dia, Sergio? Di mana? Katakan padaku dia di mana?.” Tanpa peduli apa yang diucapkan oleh Sergio, Armando justru menangis meraung-raung.
“Biarkan aku mati, biarkan aku bertemu dengannya! Mungkin dengan bertemu dengannya di alam sana, aku bisa meminta maaf.”
plakkk
Tamparan keras dari adik ipar membuat wajah pria itu berhenti meracau.
“Sadarlah, Armando. Sadar! Jika kamu terus seperti ini apa menurutmu kakak ipar akan suka? Kakak ipar telah meninggal. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang selama ini menyakitinya? Apakah kamu akan membiarkan mereka bersenang-senang di atas kematian kakak ipar?” Sergio berteriak di depan wajah Armando.
Armada menghapus sisa-sisa air matanya. Seperti orang yang baru terbangun dari mimpi, ia menangkup dua bahu Sergio. “Kamu benar. Aku tidak boleh tinggal diam. Siapa yang pernah menyakiti Virginia, dia harus mendapatkan balasan yang setimpal.” Armando mengepalkan tangan, rahangnya mengeras, sorot matanya merah menyala.
*******
Armando terbangun dari tidurnya ketika pagi datang. Bergegas menuju kamar mandi, merasakan perih di sekujur tubuh ketika air mengguyur badan. Berjalan ke arah kaca di atas wastafel. Luka-luka yang ditinggalkan oleh pria semalam terlihat jelas dengan warna yang berubah membiru.
"Aku pantas mendapatkannya Virginia," gumamnya. Ujung jarinya menelusuri setiap luka. Tersenyum manis seolah itu adalah sesuatu yang nikmat.
Keluar dari kamar mandi setelah beberapa saat, mengambil sendiri pakaian gantinya lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan ranjang.
“Bawa ayah dan anak dari keluarga Fernandez menghadap padaku hari ini juga!” perintahnya pada orang di seberang telepon. Wajahnya datar, matanya yang berkilat menyorot tajam.
“Mereka yang telah menyakitimu takkan pernah kulepaskan!”