NovelToon NovelToon
PULAU HANTU

PULAU HANTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Iblis / Keluarga / Tumbal
Popularitas:871
Nilai: 5
Nama Author: ilalangbuana

Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mimpi terakhir

Hujan masih merintik di luar mulut gua.

Pak Jono berbaring di sudut, tubuhnya terbungkus kain seadanya yang sudah lembap dan berbau apek.

Api kecil yang ia nyalakan sejak sore mulai meredup, hanya menyisakan bara merah yang berkedip pelan.

Udara terasa semakin dingin menusuk tulang. Lelah fisik dan lapar yang tak kunjung reda membuat matanya semakin berat.

Ia tertidur.

Namun tidur itu bukan tidur biasa.Begitu kelopak matanya tertutup, dunia di sekitarnya berubah. Bukan lagi gua gelap dengan suara tetesan air, melainkan hamparan laut biru yang tak bertepi. Ombak bergerak pelan,seolah sedang menjaga keheningan.

Di tengah hamparan itu, Pak Jono berdiri di atas geladak KM Laut Jaya 08 - kapal yang sudah lama karam.

"Apa ini…?"

suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Angin laut bertiup, membawa aroma asin yang familiar.

Di kejauhan, siluet-siluet mulai muncul dari kabut tipis.

Satu per satu wajah itu semakin jelas.

Gilang, Jefri, Kapten Rahmat, dan belasan kru lain yang dulu bersama-sama berlayar.

Semuanya tersenyum tipis…

tapi ada sesuatu di mata mereka yang membuat Pak Jono merinding.

Tatapan itu kosong, namun seakan menyimpan pesan.

"Pak Jono…" suara itu datang dari arah Gilang. Lembut, tapi bergema seperti berasal dari dasar laut.

Pak Jono mencoba melangkah mendekat, tapi kakinya terasa berat,seolah rantai tak terlihat menahannya di tempat. "Kalian… ini benar kalian?"

Tak ada jawaban langsung.Gilang hanya menatapnya, kemudian menunjuk ke laut.

Dari permukaan air, gelembung-gelembung besar naik.

Bau anyir menyengat memenuhi udara.

Saat ia memandang ke bawah, tubuh-tubuh kru yang lain mulai tenggelam perlahan,wajah mereka tetap menatap ke atas, ke arahnya.

"Kami tak bisa pulang…"

suara Kapten Rahmat muncul dari belakangnya. Saat Pak Jono menoleh, ia melihat sang kapten berdiri di sisinya. Tubuhnya separuh transparan, seragamnya robek-robek, dan di dadanya ada luka menganga.

"Kamu satu-satunya yang masih di sini… tapi waktu itu tak lama lagi."

Pak Jono ingin bertanya lebih banyak, tapi lidahnya kelu.

Angin berubah kencang.

Langit di atas kapal mendadak menghitam, disusul kilatan petir yang membelah cakrawala. Ombak meninggi, menghantam lambung kapal berkali-kali.

Di antara suara badai,ia mendengar isakan… isakan yang seperti milik seorang perempuan.

Dari balik kabut, muncul sosok lain. Wajahnya asing,tapi matanya merah menyala.

Pak Jono tak mengenalinya, namun saat sosok itu melangkah, ombak di sekitarnya membeku. Gilang dan kru lain tiba-tiba memudar, seperti disapu angin.

"Dia yang memanggilmu… dia yang menjaga pulau itu…" bisik Kapten Rahmat sebelum sosoknya menghilang.

Pak Jono kini sendirian di geladak kapal, hanya ada sosok perempuan misterius itu yang mendekat.

Gaunnya basah menempel di tubuh, rambut panjangnya menutupi sebagian wajah. Ia berhenti tepat di depannya, lalu membisikkan satu kalimat:

"Jangan kembali ke lembah."

Begitu kata itu terucap,dunia di sekitarnya pecah seperti kaca. Pak Jono terjerembab, jatuh ke dalam air dingin. Ia berusaha berenang, tapi tangan-tangan tak terlihat menariknya ke dasar. Di sana,ia melihat lagi wajah Gilang, Jefri, Kapten Rahmat, dan yang lain… kali ini mereka tidak tersenyum. Mata mereka kosong, mulut mereka bergerak serempak mengucapkan kata-kata yang membuat bulu kuduknya berdiri:

"Kami menunggumu…"

Pak Jono terbangun mendadak. Napasnya tersengal, tubuhnya berkeringat dingin meski udara gua begitu beku. Api kecil yang tadi hampir mati kini benar-benar padam. Dalam kegelapan itu, ia masih bisa mendengar suara ombak .padahal gua itu jauh dari pantai.

Lalu, samar-samar, di telinga kirinya… terdengar lagi suara perempuan itu:

"Jangan kembali ke lembah."

Pak Jono terhuyung di dalam mimpi itu. Hawa dingin menembus tulangnya, lebih menusuk daripada angin malam di gua tempat ia bersembunyi. Kabut pekat menyelimuti sekeliling, dan dari kejauhan, ia mulai melihat siluet-siluet bergerak perlahan. Semakin lama, siluet itu membentuk wajah-wajah yang sangat ia kenal,Gilang, Jefri, Kapten Rahmat, dan para awak KM Laut Jaya 08 yang telah gugur.

Mereka berdiri dalam lingkaran, menatapnya tanpa berkedip. Mata mereka kosong, namun di balik kekosongan itu ada kilatan kemarahan.

“Kenapa… kau tidak menolong kami, Jono?” suara Gilang terdengar berat, seolah keluar dari dasar laut. Bibirnya bergerak lambat, namun setiap kata menusuk hati.

“Aku… aku berusaha!” Pak Jono mundur selangkah, kedua tangannya terangkat seperti hendak melindungi diri. “Kalian tahu… aku tidak bisa melawan mereka sendirian!”

Namun wajah Jefri mendekat, membusuk dengan bekas luka bakar yang mengelupas, meneteskan cairan hitam. “Berusaha? Kami terbakar hidup-hidup sementara kau lari dan bersembunyi!”

Suara itu menggema di seluruh kabut. Satu per satu mereka maju, membentuk lingkaran yang semakin menyempit. Kapten Rahmat berdiri paling belakang, tubuhnya masih mengenakan seragam lusuh dengan bercak darah di dada. Ia menatap Pak Jono tajam.

“Kalau kau tidak kabur malam itu… mungkin beberapa dari kami masih hidup.”

Pak Jono terengah, dadanya sesak. Ia ingin menjelaskan, ingin berteriak bahwa ia tak punya pilihan, bahwa semua terjadi begitu cepat—tapi lidahnya terasa kaku. Seakan mimpinya ini tidak memberinya hak untuk membela diri.

Dari kejauhan, terdengar suara teriakan lain,suara perempuan. Pak Jono menoleh dan melihat beberapa perempuan dari suku hutan, termasuk anak kecil yang dulu pernah memberinya air kelapa. Mereka juga sudah mati, tubuh mereka pucat dan matanya kosong. Mereka hanya berdiri, menatapnya.

“Semua mati karena kau,” bisik salah satu di antara mereka, suaranya lirih namun menusuk telinga seperti bisikan di tengah malam.

Pak Jono mulai gemetar. Ia menunduk, mencoba menutup telinga, tapi suara-suara itu terus menggema. Kabut menjadi semakin tebal, menyelimuti wajah-wajah itu hingga hanya mata mereka yang terlihat. Mata penuh tuntutan. Mata yang tidak memaafkan.

“Bukan salahku… bukan salahku…” gumamnya berulang-ulang, tapi bahkan ia sendiri mulai meragukan kata-katanya.

Tiba-tiba, tanah di bawahnya retak. Dari celahnya keluar tangan-tangan hitam yang kurus dan kering, meraih kakinya, mencengkeram erat. Pak Jono berusaha melepaskan diri, tapi genggaman itu dingin dan kuat, menariknya perlahan ke bawah.

Wajah Gilang mendekat, begitu dekat hingga Pak Jono bisa mencium bau busuk yang menusuk hidungnya. “Kau akan ikut kami, Jono… Kau tidak pantas hidup sendirian setelah semua ini…”

Jeritan Pak Jono pecah, memotong keheningan mimpi itu—dan ia terbangun di gua, napasnya memburu, keringat dingin membasahi tubuh. Dadanya berdebar kencang, dan ia mendapati dirinya menangis tanpa sadar.

Namun meski terjaga, suara-suara itu masih terngiang di kepalanya. Seolah mimpi tadi bukan sekadar bunga tidur, tapi pesan dari arwah mereka. Pesan bahwa rasa bersalah itu tidak akan pernah melepaskannya.

Pak Jono terlonjak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Denyut jantungnya masih berpacu seperti genderang perang yang dipukul bertalu-talu. Suara-suara dari mimpi barusan,teriakan penuh amarah kru KM Laut Jaya 08, tuduhan mereka, tatapan penuh kebencian,masih bergema di kepalanya.

Ia duduk terpaku, mencoba memisahkan antara mimpi dan kenyataan. Matanya menyapu sekeliling gua yang gelap, hanya ditemani cahaya redup dari sisa api yang hampir padam. Aroma lembap tanah bercampur asap kayu memenuhi rongga hidungnya.

Namun ada sesuatu yang lain,sesuatu yang aneh.

Tangannya tiba-tiba terasa panas, seperti sedang terbakar. Ia menunduk, lalu matanya membelalak. Di lengan kirinya, tepat di bawah siku, kulitnya memerah dan melepuh, seperti habis terkena api atau cairan panas. Beberapa bagian bahkan sudah mulai menghitam di tepinya, seolah luka bakar itu sudah beberapa jam ada di sana.

Pak Jono membeku. “Ini… ini nggak mungkin,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.

Ia mencoba mengingat,tidak ada api yang menyentuhnya tadi malam. Ia juga tidak menyalakan obor dekat tubuhnya. Bahkan saat tidur, ia sengaja menjauh dari perapian kecil untuk menghindari percikan bara. Lalu… dari mana luka ini datang?

Tiba-tiba kilasan mimpinya kembali menghantam. Dalam mimpinya, salah satu kru yang tubuhnya terbakar habis memegang lengan kirinya erat-erat, berteriak tepat di wajahnya, “Kau biarkan kami terbakar, Jono! Kau biarkan kami mati!”

Pegangan itu terasa begitu nyata di mimpi—panas, perih, dan menyakitkan.

Dan sekarang… luka di lengannya berada persis di titik yang sama seperti di mimpi.

Pak Jono menelan ludah, tangannya gemetar. “Jangan bilang… mimpi itu bukan cuma mimpi.”

Hawa di dalam gua tiba-tiba berubah. Angin dingin merayap masuk, membuat api kecilnya bergetar seperti akan padam. Dari ujung lorong gua terdengar bunyi lirih, seperti bisikan yang dihela oleh napas terakhir. Suaranya samar, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduk Pak Jono berdiri.

"Kau… seharusnya ikut… mati… bersama kami…"

Pak Jono spontan berdiri, meraih tombak bambu yang selalu ia letakkan di dekat tempat tidurnya. Matanya menatap ke arah gelap, mencoba menembus bayangan yang bergerak di dinding gua.

Tidak ada siapa-siapa.

Tapi jantungnya tahu,ia tidak sendirian.

Perasaan itu semakin kuat ketika ia mencoba mengobati lukanya. Ia mencelupkan kain lap ke dalam tempayan air hujan, lalu menempelkan ke kulit yang melepuh. Rasa perihnya membuat ia meringis. Namun saat kain itu menyentuh lukanya, sekelebat bayangan muncul di benaknya: tubuh-tubuh kru kapal yang terpanggang, asap hitam membubung, dan suara jeritan yang menembus telinganya.

Luka itu seolah menjadi pintu yang menghubungkannya dengan kematian mereka.

“Kenapa… kenapa kalian terus menghantuiku?” bisiknya lirih, nyaris memohon.

Pak Jono tidak sadar ia mulai berbicara pada bayangan-bayangan itu, sama seperti beberapa hari terakhir ia mulai berbicara sendiri. Rasa kesepian, rasa bersalah, dan rasa takut telah bercampur menjadi satu, menggerogoti pikirannya sedikit demi sedikit.

Ia mencoba menguatkan diri. “Aku masih hidup… dan aku harus tetap hidup.”

Tapi kalimat itu terdengar rapuh, bahkan di telinganya sendiri.

Suara tetesan air dari stalaktit gua terdengar begitu keras di tengah keheningan itu. Setiap tetes seperti hitungan mundur menuju sesuatu yang ia tidak siap hadapi.

Tiba-tiba, di sela-sela kilatan petir yang masuk dari mulut gua, ia melihatnya,sesosok bayangan berdiri di ujung lorong. Wujudnya samar, tapi Pak Jono bisa melihat kulitnya yang hangus dan mata yang berkilat merah. Sosok itu hanya berdiri diam, menatapnya… lalu mengangkat tangan kiri, menunjukkan luka bakar persis seperti milik Pak Jono.

Petir menyambar lagi. Sosok itu menghilang.

Pak Jono terduduk. Lututnya lemas. Ia tahu satu hal sekarang,ia tidak lagi hanya melawan rasa lapar, dingin, dan kesepian di pulau ini. Ada sesuatu dari dunia lain yang kini ikut menemaninya… dan mungkin, perlahan, mengambil bagiannya.

Di luar, hujan deras terus mengguyur. Angin membawa suara-suara samar yang terdengar seperti nama-nama kru kapal, dipanggil satu per satu. Dan di antara itu semua… nama “Jono” terdengar paling jelas.

1
juwita
kasihan pak jono demi keluarga jd terdampar di pulau hantu. smoga bisa cpt kembali ke keluarganya
juwita
cerita nya bagus mengisahkan perjuangan se org ayah buat anak dn istrinya biar bisa hidup terjamin. rela berjauhan dgn bahaya menantang maut demi keluarga di jalani semoga perjuangannya g sia sia. happy ending
Ananda Emira
semakin seru
Killspree
Memukau dari awal hingga akhir
♞ ;3
Jalan ceritanya keren, endingnya bikin nagih!
ilalangbuana: terima kasih atas masukannya,!!
admin masih dalam tahap belajar.. semoga kedepannya karya ku bisa lebih baik lagi dalam penulisannya ataupun alur ceritanya☺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!