Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32. Rahasia Masing-masing
Tok...tok...tok...
“Dim... Dimas...”
Karin mengetuk pintu kamar Dimas. Sejak ia pulang sekolah, bahkan saat makan malam hari ini, ia belum melihat adik semata wayangnya itu.
“Dim gue masuk ya?”
Tak ada sahutan, Karin membuka pintu kamar adiknya perlahan dan masuk. Dimas berbaring di atas kasur, memiringkan badannya menghadap tembok. Tubuhnya tertutup kain sarung hingga ke dada, memeluk bantal guling.
“Lu tidur Dim?”
Karin mendekati adiknya, melongokkan wajahnya memeriksa apakah adiknya sudah tertidur.
Mata Dimas memang terpejam, namun kesadarannya masih penuh. Ia hanya sedang berusaha menghindari Karin. Jantungnya berdegup kencang seolah mengerti bahwa ia sedang menyembunyikan sebuah kebenaran.
“Lu beneran udah tidur Dim? Lu sakit ya?”
Karina duduk di tepian ranjang Dimas. Menempelkan bahu tangannya ke kening adiknya memastikan apakah adiknya sedang tidak enak badan.
“Gak panas kok. Lu kenapa sih? Dim...Dimas... Ini baru setengan lapan lu tumben banget sih jam segini udah tidur.”
Karina mengguncang guncangkan badan adiknya memintanya bangun.
Dimas menyeringai kesal.
“Ngantuk gue.”
Jawabnya sambil terpejam dan menepiskan tangan kakaknya, membuat Karina menggerutu kesal.
“Ih lu kok malah tidur sih. Lu belum cerita ke gue loh soal alamat Istana Puding itu.”
Dimas menghela nafasnya dengan hati-hati, berusaha agar degup jantungnya tak membuatnya mengatakan hal yang mencurigakan di hadapan kakaknya. Ia tahu bahwa ia tak pandai berbohong, maka berpura pura tidur adalah keputusan yang tepat.
“Besok aja. Gue ngantuk banget.”
Karin memonyongkan mulutnya. Lalu beranjak keluar kamar adiknya.
"Ya udah deh. Beneran besok ya. Awas kalau besok gak mau cerita."
“Matiin lampu tolong.”
“Hmm....”
Karin menutup pintu setelah mematikan saklar lampu.
Gelap.
Dimas membuka sarungnya dan menoleh ke arah pintu dengan pelan. Memastikan kakaknya sudah benar-benar tak berada di dalam kamarnya.
Hfff.... akhirnya ia dapat bernafas lega. Namun ia tetap dalam posisinya di atas ranjang. Ia bahkan menelungkupkan kain sarungnya hingga menutup wajahnya.
Sungguh hal yang sulit baginya untuk menghindari kakaknya, terlebih ketika ia harus menyembunyikan sebuah sesuatu darinya.
Ia sudah memutuskan untuk menunda dan tidak memberi tahu Karin soal pemilik Istana Puding dan soal keberadaan papanya sementara waktu. Ia harus memastikan beberapa hal terlebih dahulu sebelum menceritakan semua kepada kakaknya.
Baginya yang tak memiliki kenangan apapun tentang ayahnya saja, cukup terkejut dan terguncang mendapati kenyataan bahwa orang yang selama ini mereka cari, yang mereka pikir sudah begitu jahat karena menelantarkan dan pergi dari mereka ternyata selama ini ada di sekitar mereka.
Apalagi jika Karina yang sudah memiliki kenangan tentang ayahnya walaupun hanya sebentar, mengetahui hal tersebut.
Tidak, Dimas tidak akan membiarkan itu terjadi begitu saja. Ia harus terlebih dahulu mendengar cerita ayahnya apa yang sebetulnya terjadi dan memastikan bahwa ibu dan kakaknya tidak akan tersakiti mendengar penjelasan ayahnya nanti. Untuk saat ini, biarlah menjadi rahasianya saja.
Apa yang ia lalukan saat ini, sudah tepat, pikirnya.
Karin melangkah gontai meninggalkan kamar Dimas menuju ruang TV, menyusul ibunya yang sedang melipat lipat cucian sambil nonton TV.
“Kenapa Rin. Kok manyun-manyun gitu.”
Nurma melirik gemas ke arah Karin.
“Dimas ma....”
Karin merebahkan tubuhnya ke sofa panjang.
“Kenapa Dimas? Jahil lagi?”
“Dimas tidur ma.”
Nurma tertawa mendengar putrinya mengadu. Wajah Karin nampak sangat suntuk, kehilangan semangatnya.
“Orang adeknya tidur kok ngambek? Kenapa memangnya? Ada apa?"
“Baru jam segini loh ma. Tumben tumbenan dia udah tidur.”
“Ya ngantuk mungkin. Capek mungkin dia seharian kegiatan di sekolahnya.”
“Lucu aja sih kalau seorang Dimas bisa ngerasa capek.”
Nurul tertawa lagi. Inilah yang membuatnya merasa hidupnya berarti. Mendampingi anak-anaknya dengan segala tingkah polahnya yang kadang membuatnya gemas.
“Mama...”
“Hmm...”
“Boleh gak sih ma kalau bimbelnya dibatalin aja?”
“Loh, kok dibatalin?”
“Maksut Karin lesnya privat aja dirumah ma. Karin bareng sama Nia. Biar kita gak usah ke bimbel.”
Nurul menghentikan kegiatannya melipat baju. Ia menggeser duduknya mendekati putrinya yang kini membaringkan kepala ke pangkuannya.
“Memangnya kenapa begitu? Apa bedanya bimbel sama privat?”
Nurul mengusap rambut putrinya.
“Beda lah ma. Kalau privat kan belajarnya khusus berdua. Bisa lebih fokus. Kalau bimbel kan kita rame rame kaya di kelas.”
“Bukannya malah lebih asik ya kalau belajarnya rame-rame.”
“Males nungguin jam kelasnya ma. Iya kalau dapetnya yang sore, kalau dapetnya yang malem kan jadi harus bolak balik kesananya. Gak mungkin kan pulang sekolah nungguin disana ampe malemnya.”
Karin duduk menatap ibunya dengan wajah memohon. Berharap ia dapat segera meluluhkan hati ibunya.
“Yakin cuma itu alasannya?”
Karin rebahan lagi. Ia tak mau ibunya melihat wajahnya dan curiga bahwa memang ia hanya ingin menghindari tempat bimbel itu.
“Lagian Karin kan baru aja sembuh ma. Karin takut kalau kecapekan lagi trus sakit. Ya ma ya?”
“Hmmm....”
Nurul mendengus, ia tahu kebiasaan anaknya jika sudah menginginkan sesuatu memang akan selalu merayu.
“Tapi mama harus omongin ini dulu sama tante Nurul ya. Mama gak bisa mutusin sendiri.”
Karin tersenyum diam diam, iya tahu bahwa rayuannya akan berhasil.
“Iya, gak papa.”
Pungkasnya senang. Toh dirinya dan Nia sudah sama sama sepakat akan merayu ibunya masing-masing. Ia yakin betul akan berhasil dan semuanya akan baik-baik saja.
“Ngomong-ngomong, gimana misimu? Sudah ada perkembangan?”
Nurma mencoba mengulik informasi mengenai pencarian yang dilakukan putrinya kepada suaminya Budiman.
Ya, suaminya. Sampai detik ini status Nurma dan Budiman masih sah secara negara sebagai suami istri.
“Belum ada perkembangan ma.”
“Jangan bohongin mama ya?!”
“Enggak ma. Sejak pulang dari Bandung yang kemaren, Karin sakit itu kan. Karin belum kemana-mana lagi.”
“Ya sudah, jangan terlalu difikirkan lagi. Yang penting sekarang fokus dulu sama sekolahmu ya.”
Karin menarik nafas lega. Ia memang belum bisa banyak menceritakan hasil temuannya kepada Nurma. Belum, sampai nanti semuanya lebih jelas untuknya. Sampai ia yakin bahwa apa yang akan ia sampaikan kepada ibunya tidak akan menyakiti ibunya. Sementara, biarlah menjadi rahasia baginya.