Musim pertama : Tatap Aku, Suamiku
Musim Kedua : Bunda dari Anakku
Jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat Wira (22 tahun) nekad membawa kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk melamar Naina ( 17 tahun), yang hanya seorang gadis yatim piatu.
Wira yang terlahir dari keluarga berada, menikah dengan Naina yang hanya gadis dari keluarga biasa.
Lima tahun pernikahan, guncangan menghantam kehidupan rumah tangga mereka. Dunia Naina hancur seketika. Kebahagiaan yang selama ini direguknya, apakah hanya sebuah kebohongan semata atau memang nyata. Apakah pernikahan ini sanggup di pertahankan atau harus berakhir??
Ikuti perjalanan rumah tangga Wira dan Naina
“Tolong tatap aku lagi, Suamiku.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S1. Bab 31
"Dennis Wijaya, keponakan pemilik RD Group, Riadi Dirgantara," ucap laki-laki berkulit hitam dengan jaket coklat sesaat setelah duduk di hadapan Wira.
"Perusahaan properti, real estate dan developer yang sudah lumayan lama berdiri dan diperhitungkan di Jakarta.
Wira mengangguk. Tentu dia tahu jelas. Bidang usaha yang mereka geluti hampir sama. Tidak jarang harus saling bekerja sama dalam satu proyek.
Restoran Jepang menjadi pilihan Wira untuk mendengar apa saja yang disampaikan oleh orang suruhannya. Tidak mau pembicarannya didengar Stevi dan orang kantor, Wira membuat janji bertemu di luar.
Sebenarnya malas berurusan dengan hal begini, bukan dia orangnya. Hidupnya lurus tanpa musuh seperti kebanyakan orang lain pada umumnya. Dia hanya seorang direktur sekaligus pemilik perusahaan biasa dan suami dari seorang wanita bernama Naina Pelangie.
Hanya itu saja, tidak mau direcoki dengan pengawalan berlebihan dan tidak perlu. Istrinya pun demikian, hanya ibu rumah tangga biasa. Bahkan sejauh ini, dia tidak memiliki sopir pribadi yang mengantarnya kemana-mana. Kehidupannya sama seperti orang kebanyakan.
"Apalagi?"
"Single, usia 30an ... pekerjaan tidak jelas. Setelah papanya, Andi Wijaya masuk penjara karena memiliki masalah dengan Reynaldi Pratama, menantu Riadi Dirgantara. Hanya itu saja!"
"Tidak banyak data yang bisa dikorek tentang orang ini. Sama seperti sepupunya, ada banyak fakta tentang keluarga Wijaya dan Dirgantara ini yang disembunyikan dari publik."
"Kamu sudah mencari tahu apa hubungannya dengan Stevi?" tanya Wira lagi.
"Adik kakak!" Tentu saja Wira mengerutkan dahi. Tidak paham dengan berita yang disampaikan.
"Aku dan Stevi itu sahabatan. Bagaimana sampai tidak tahu kalau Stevi punya saudara," ucap Wira mengungkapkan kejanggalan. Terasa aneh, mereka yang sahabat baik sampai tidak tahu silsilah keluarga Stevi. Setahunya, Stevi hanya tinggal dengan mamanya saja. Tidak ada cerita papa atau saudara yang lain.
"Saudara beda ibu, beda bapak. Ada catatan kalau dulunya papa Dennis pernah menikah dengan mama Stevi, tetapi tak lama mereka berpisah."
"Mungkin itu alasannya bagaimana kedua orang ini bisa saling mengenal," lanjut si mata-mata.
Wira mengangguk. "Ada lagi?"
"Hanya itu saja yang saya dapatkan!"
"Laporkan lagi saat kamu menemukan fakta baru!" Wira mengeluarkan amplop dari dalam saku celananya.
"Ini bayaranmu," ucap Wira, mendorong pelan amplop ke tengah meja.
***
Menghabiskan jam makan siang di luar, Wira menyempatkan mampir di butik istrinya untuk melepas rindunya selama beberapa jam berpisah.
"Mas, kamu dari mana?" tanya Naina, berlari menghampiri Wira saat melihat suaminya berdiri di depan pintu kaca dan mencium tangan laki-laki itu.
"Mas tadi makan siang di dekat-dekat sini. Nai sudah makan?" tanya Wira, menenteng sekantong kotak mika berisi sushi kesukaan istrinya.
"Belum, Mas."
"Kebetulan Mas membawakan Nai sushi, ayo makan sekarang," ajak Wira.
Keduanya masuk ke dalam ruangan yang biasa digunakan Naina untuk beristirahat. Terlihat sebuah meja kayu dengan kursi putar di belakangnya. Ada tumpukan kertas dan nota-nota di atasnya.
"Nai, atur waktu. Kita ke Yogyakarta akhir bulan." Wira berkata. Lelaki itu mengurai simpulan kantong belanjaan dan mengeluarkan kotak berisi sushi ke hadapan istrinya.
"Baru seminggu kita kembali dari Eropa. Apa Mas tidak lelah?" Naina balik bertanya.
"Ada pekerjaan kantor yang harus Mas urus. Sekalian, kita sudah lama tidak ke sana."
Tampak Naina berdiri di samping Wira menatap aneka sushi yang tersaji di atas meja.
"Makan Nai, habiskan semua untukmu," ucap Wira sambil membuka bungkusan sumpit kayu dan menyerahkannya pada istrinya.
"Terimakasih Mas." Wanita itu tersenyum, menjepit sebuah sushi dengan telur di atasnya dan mencelupkan ke dalam kecap asin sebelum memasukan ke dalam mulut.
"Makannya pelan-pelan, Nai. Mas tidak akan merebutnya. Mas sudah kenyang." Wira terkekeh melihat Naina dengan mulut penuhnya.
Naina tersenyum, perhatian Wira selalu luar biasa. Bahkan saat ini, Wira sudah menarik kursi dan memintanya duduk supaya bisa makan dengan tenang.
"Mas sedang tidak sibuk?"
"Sedikit, Nai. Bertemu rekan Mas di luar, jadi sekalian mampir ...."
"Apa kabar Stevi? Aku belum sempat ke kantor. Katakan padanya, besok atau lusa aku akan mampir,” potong Naina.
"Dia baik-baik saja." Wira menjawab singkat.
"Harusnya Mas saja menyerahkan oleh-oleh yang aku belikan untuknya." Naina mengeluh. Dari hari pertama Wira ke kantor setelah perjalanan mereka ke Eropa, Naina sudah mau menitipkannya pada Wira. Sayangnya Wira menolak dan meminta Naina menyerahkannya sendiri.
"Serahkan saja langsung, Nai."
"Mas tidak ikut campur. Lagipula itu memang hadiah darimu, Nai. Bukan dari Mas," lanjut Wira.
Tersenyum menatap istrinya yang begitu polos. Bahkan memberi hadiah sebotol parfum mahal pada seekor ular yang diam-diam mematuk tanpa disadarinya. Wira bukannya tidak mau memberinya ke Stevi, dia hanya tidak ingin sekretarisnya besar kepala dan salah paham. Mengira parfum itu darinya.
Berjalan mendekat, Wira sudah berdiri di belakang istrinya sambil meletakan kedua tangan di pundak Naina. “Nai, nanti tidak perlu masak makan malam. Kita makan di luar."
"Ada perayaan, kah?" tanya Naina heran.
"Tidak ada, Nai Sayang. Kita sudah lama tidak menikmati makan malam di cafe," sahut Wira, membungkuk dan mengecup pipi kanan Naina.
"Nai harus berdandan istimewa?" tanya Naina lagi.
"Tidak, hanya makan malam biasa. Tidak ada kejutan apa pun. Karena kejutannya ada di sini." Wira mengeluarkan kotak kecil berwarna kuning keemasan dari kantong celananya dan meletakannya di atas meja.
"Mas apa ini?" tanya Naina, heran.
"Bukalah!"
Buru-buru Naina membuka kotak kecil di atas meja. Matanya berbinar saat melihat jam tangan mewah tersimpan di dalam kotak.
"Itu untukmu. Dua minggu di Eropa kamu hanya sibuk membeli barang-barang untuk orang lain, sampai tidak membeli untukmu sendiri.
"Terimakasih Mas. Ini cantik sekali."
"Nai menyukainya?" tanya Wira.
"Sangat. Semua hadiah darimu, tidak ada satu pun yang tidak aku sukai Mas. Aku mencintamu." Naina berbalik, segera mengalungkan kedua tangannya ke leher Wira. Tanpa malu-malu, menyapu mesra bibir suaminya.
***
Gemerlap lampu kafe di dekat taman kota menemani sepasang suami istri itu melewatkan malam. Dua porsi steak ala kafe yang sederhana lengkap dengan buncis dan wortel memberi warna di tepi pinggan besi.
Naina sudah beraksi dengan pisau dan garpu di tangannya bersiap mengiris-iris daging sebelum menyantapnya, demikian juga Wira.
Semilir angin sepoi berhembus perlahan, meniup dedauan yang tersorot cahaya lampu menguning. Dari kejauhan, terlihat panggung kecil, dengan penyanyi duduk di depan microphone menyenandungkan lagu cinta. Mengumandangkan kebesaran cinta, mengiringi pasangan muda-mudi yang sedang menyantap sajian kafe.
"Mas, suasananya enak di sini." Naina berkomentar.
"Jadi teringat masa lalu, ya? Sewaktu masih jadi biduan," goda Wira.
"Mas ...."
"Nai tidak malu menjadi penyanyi jalanan, dari cafe ke cafe. Dengan begitu, Nai bisa menyelesaikan sekolah. Hanya saja Nai suka kesal, sebagian orang menganggap pekerjaan itu rendahan. Bahkan banyak yang memandang sebelah mata karena dianggap murahan, pekerja malam. Padahal, kami terpaksa. Apa yang kami kerjakan itu halal."
"Ya, Mas tahu."
Obrolan keduanya terhenti saat perhatian Naina teralihkan oleh suara pria yang sedang mengalunkan tembang yang begitu melekat di ingatannya.
"Kak Tria ...." Satu nama itu terucap, dengan kepala mendongak ke arah sumber suara.
"Itu Kak Tria, Mas. Ayo selesaikan makanmu, Mas. Nai akan mengenalkan kalian lagi supaya Mas tidak berpikiran yang aneh-aneh.
....
TBC
Bahkan seakan ikut merasakan sakit yang sesakit itu bagi Dennis
full bintang ,subricrible, vote d tutup kopi
sebelum2 ni terlalu baik sampai tak peka langsung.