“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01 ~ Kabar duka
“Sayang, jaga diri baik-baik ya, jangan banyak pikiran, harus makan tepat waktu, tak boleh capek apalagi sampai kurang tidur!” pintanya dengan nada suara begitu lembut, lalu mengecup lama kening sang istri yang tengah mengandung buah hatinya.
“Tia tak suka bila Abang cakap macam itu, seolah akan pergi lama saja, padahal cuma 4 hari telah kembali lagi,” protesnya, tapi tangannya tetap melingkar kuat di pinggang kekasih hatinya, meskipun terhalang perut buncit.
Ikram Rasyid, suami dari Meutia Siddiq, tersenyum hangat, sekali lagi melabuhkan kecupan sayang di pucuk kepala istri tercinta yang tertutup hijab.
“Sebetulnya berat bagi Abang meninggalkan kalian, tapi apa mau dikata – semua ini tuntutan pekerjaan, dan jua ingin menambah wawasan.” Melerai pelukan hangat mereka, menatap penuh cinta yang sama sekali tidak pernah dia tutupi.
Pria berumur 34 tahun itu kemudian menekuk sebelah lututnya, berjongkok menyamakan tinggi badan dengan kedua bidadari kecil yang sangat ia sayangi.
“Intan Rasyid, putri kebanggaan serta permata hati Ayah, boleh tak Ayah meminta sedikit bantuannya, Nak?” Ikram mengelus lembut pipi bulat berona kemerahan putri sulungnya.
“Boleh, tapi jangan banyak-banyak. Soalnya kegiatan Intan sudah padat, mengurus Landak, Monyet, menyusui anak Kambing, apalagi ya ….” Jari kurusnya mengetuk pelipis, berusaha mengingat hewan apa saja yang dia pelihara.
Tak pelak hal tersebut mengundang tawa sang Ayah, begitu gemasnya sampai tubuh mungil gadis kecil berumur jalan 10 tahun didekap erat, dikecupnya bertubi-tubi pucuk kepala putrinya yang sama seperti sang istri, tertutup hijab sempurna.
“Ayah pun tak tega membebani tugas sulit, cuma mau minta tolong – sayangi selalu adik Sabiya, Mamak, dan calon adik yang sekarang sedang tumbuh diperut Mamak. Kalau bisa, jahilnya dikurangi sedikit ya Nak! Biar bertambah anggun anak Ayah ini.” Ditatapnya penuh sayang putri pertamanya, setelah mendapatkan anggukan, dirinya beralih ke putri bungsu yang sudah genap berumur 7 tahun.
“Sabiya Rasyid, putri kesayangan Ayah.” Ikram mengecup dalam kening si bungsu yang sebentar lagi tidak jadi anak terakhir.
“Ayah cepat kembali, jangan lama-lama perginya, nanti Biya rindu,” lirihnya, dengan linangan air mata membasahi pipi.
“Insya Allah,” ucapnya kurang yakin, dalam hati terus berdoa, semoga Tuhan segera mempertemukannya kembali dengan para orang terkasih.
Intan, Sabiya, masing-masing menggenggam tangan sang ibu, sebelah tangan mereka yang kosong melambai mengucapkan salam perpisahan sementara.
Ikram melepaskan pegangan pada koper berukuran kecil, lalu merentangkan tangan seolah hendak memeluk, jaraknya sudah dua meter dari para wanita yang dicintainya dengan segenap jiwa dan raga. “Ayah sayang kalian semua!”
“Kami juga!” teriak Meutia dan kedua anaknya.
Pria yang sudah akan masuk ke dalam Bus besar itu tiba-tiba berbalik menyeret kopernya, kemudian berjongkok di hadapan permata hatinya, merengkuh mereka seraya mengecup perut buncit sang istri yang tengah hamil 5 bulan, mengandung anak ketiga.
Susah payah Meutia berusaha membungkuk, setelah berhasil disematkannya kecupan sayang pada pucuk kepala sang suami yang sedang menciumi putri mereka.
“Abang, tolong lihat Tia!” Pintanya, sambil membingkai wajah Ikram. “Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?”
Tanpa melepaskan rangkulannya, yang mana Intan serta Sabiya memeluk erat pundaknya. Ikram mencium pucuk hidung mancung Meutia Siddiq, wanita yang sudah dinikahinya selama hampir 11 tahun lamanya. “Iya. Abang janji!”
Kata janji itu bagaikan angin penyejuk di musim kemarau, wanita cantik yang sudah genap berumur 31 tahun tersebut tersenyum lembut, dalam hati menyakini bila sang suami tak mungkin mengingkari.
Kembali mereka saling melambaikan tangan, kali ini tidak ada lagi adegan mengharu biru. Ikram benar-benar masuk ke dalam kendaraan yang akan membawanya ke ibukota provinsi – mengikuti seminar ikatan dokter Indonesia.
Meutia menggandeng kedua tangan putrinya, berjalan keluar dari area terminal di kota kabupaten.
Sang sopir bergegas membuka pintu penumpang, setelahnya memutari badan mobil dan masuk ke jok kemudi. “Langsung pulang, Kak?” tanyanya sopan.
"Singgah dulu di taman, Pakcik. Intan dan Sabiya ingin jalan-jalan dan juga sudah memasuki waktunya makan siang, lebih baik kita cari makan di sana," beritahunya.
Mobil pun melaju ke taman tidak terlalu jauh dari terminal bus pusat.
.
.
Dua jam kemudian, mobil yang dikemudikan oleh sopir, sampai di kota kecamatan, tinggal satu jam lagi akan tiba di kampung mereka, wilayah transmigrasi – kampung Jamur Luobok.
Tiba-tiba ponsel Meutia berdering, tapi si empunya seolah tidak mendengar, netranya terus menatap keluar jendela. Entah mengapa sedari keluar area terminal pusat, jantungnya terus berdegup kencang, serta hatinya pun tak tenang.
“Mamak! Ayamnya teriak-teriak itu!” Intan menepuk lembut lengan sang ibu, menunjuk tas yang mana masih terdengar suara nada dering.
Meutia membuka tas, lalu menekan tombol hijau, meletakkan gawai tepat ditelinganya.
“Tia, sudah sampai mana?” pertanyaan nada khawatir sang Abang mampu mengembalikan fokus seorang Meutia.
Sebelum menjawab, Meutia mengedarkan pandangannya. “Ini telah sampai di masjid raya seberang rumah sakit kota kecamatan. Ada apa Bang?”
“Tunggu saja di area masjid! 10 menit lagi Abang sampai situ. Tolong teleponnya berikan kepada Pakcik!” pinta suara tegas diseberang sana, Agam Siddiq.
Pakcik menerima uluran ponsel, entah apa yang dibicarakan, tapi raut sang sopir terlihat pias.
Mobil pun berbelok memasuki halaman masjid raya.
“Apa yang dikatakan oleh bang Agam, Pakcik?” tanya Meutia, keningnya mengernyit berusaha berpikir keras seraya menerka.
“Cuma disuruh menunggu di sini, Kak. Lebih baik kita ke teras masjid saja, disana lebih teduh,” beritahunya tanpa berani menatap, lalu bergegas membuka pintu.
‘Ada apa sebenarnya? Mengapa debar jantung ini tak jua mereda, seolah tengah menerima kabar duka.’
“Astagfirullah.” Meutia beristighfar, memegang dadanya, menggelengkan kepala guna mengenyahkan pikiran yang tidak-tidak, lalu keluar bersama putrinya dan berjalan ke teras masjid.
Setelah sepuluh menit penantian yang mendebarkan, sebuah mobil hardtop memasuki area masjid, turunlah sosok gagah, berwajah khas Indonesia, dirinya tidak sendirian ada sang istri. Mereka melangkah lebar dengan raut tegang bercampur kalut.
“Ada apa Bang? Mengapa kami dipaksa menunggu di sini?” tanya Meutia, dia yang duduk di pinggir teras sedikit tinggi, langsung berdiri.
Lidah Agam keluh, tak mampu merangkai kata, apalagi menatap perut buncit Meutia, dia hanya mampu menatap sendu, lalu memeluk erat adiknya.
“Abang! Cepat katakan ada apa?!”
Dengan berat hati, Agam menyampaikan kabar duka. “Bus yang ditumpangi oleh Ikram, suamimu. Kecelakaan dan masuk jurang, saat ini_”
“TAK MUNGKIN!!” Meutia melerai pelukan mereka.
"Abang bohong 'kan?!" begitu mendapati gelengan, ia kembali histeris, berusaha melepaskan cekalan tangan saudaranya.
"Lepaskan, Bang! Tia mau menyusul Bang Ikram! Hendak menagih janjinya yang mengatakan akan pulang! Lepas, Bang!"
"Meutia tolong tenang, Dek!" Agam tetap menahan tubuh yang berusaha memberontak.
"Macam mana nak tenang? Dia Suamiku! Bapak dari anak-anakku! Bila dirinya tak ada, lalu bagaimana dengan kami?!"
Tubuh Meutia melemas, dirinya tak sadarkan diri dalam dekapan Agam Siddiq.
"Tia! Bangun Dek!"
“MAMAK!!”
.
.
Bersambung.
Setting tahun 2000. Wilayah transmigrasi.