Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31.
Sore itu udara di halaman rumah terasa lembap setelah hujan kecil turun sesaat. Marvin berdiri di depan pagar dengan wajah tegang. Sejak dua jam lalu, ponselnya tak berhenti dipegang. Dia menelepon Nadin berkali-kali, tapi yang menjawab hanya suara sibuk.
Begitu sebuah mobil berhenti di depan rumah, pandangannya langsung tajam. Rani keluar lebih dulu, memberi senyum tenang sambil menepuk lengan menantunya.
“Jangan marah, Vin. Anakmu cuma pengin makan aja kok.” Lalu, kembali masuk mobil dan meninggalkan Marvin dengan wajah cemas.
Namun, nada lembut itu tak cukup menenangkan hati Marvin yang sejak tadi digerogoti rasa cemas.
Begitu Nadin turun dari mobil dengan kantong belanja di tangan, Marvin langsung menghampiri.
“Nadin! Dari pagi kamu ke mana aja? Aku udah bilang jangan keluar lama-lama!” ucapnya setengah meninggi.
Nada khawatir yang terselip di balik omelan itu membuat Nadin menunduk. Dia tahu Marvin bukan marah sebenarnya, tapi khawatir. Tetap saja, melihat wajah suaminya yang tegang seperti itu membuat perutnya terasa melilit.
“Marvin, aku cuma beli makanan...”
“Beli makanan sampai sore begini?” potong Marvin, menatapnya dengan campuran kesal dan panik.
Wajah Marvin yang menegang dan nada suaranya yang keras membuat Nadin spontan menutup mulut. Seketika rasa mual menyerang, tubuhnya bergetar, wajahnya memucat.
“Na ... Nadin?” suara Marvin langsung berubah.
Tanpa menjawab, Nadin berlari kecil masuk ke dalam rumah, menahan mual yang makin menjadi-jadi. Marvin yang semula kesal mendadak panik. Dia segera mengejar istrinya.
“Nadin! Jangan lari! Kamu hamil, denger nggak?! Jangan lari!” serunya panik, nadanya kini berubah menjadi cemas murni.
Langkah Nadin melemah begitu sampai di ruang tamu. Dia sempat bersandar di dinding, menutup mulut, lalu berjongkok sambil berusaha bernapas teratur. Marvin langsung mendekat, menahan bahunya.
“Hey, hey … pelan-pelan. Aku khawatir banget, tahu nggak?” suaranya melembut drastis.
Nadin hanya menatapnya dengan mata berkaca. “Aku cuma … pengin beli rujak dan martabak telur, Marvin. Itu aja…”
Marvin menghela napas, separuh lega, separuh bingung. Ia mengusap pelipisnya, lalu memeluk istrinya perlahan.
“Lain kali bilang aku, ya. Aku yang anter. Aku nggak bisa tenang kalau kamu pergi sendiri.”
Nadin tersenyum lemah, bersandar di dada suaminya.
“Hmm … kalau kamu nggak galak, aku janji bakal bilang duluan.”
Marvin tersenyum tipis, mencium puncak kepala Nadin, lalu menuntunnya menuju kamar. Amarahnya mencair di antara rasa cemas dan cinta yang tak bisa ia sembunyikan.
Dan Nadin tahu, di balik sikap protektif Marvin yang kadang berlebihan, hanya ada satu hal yang menguasai hati pria itu, takut kehilangan dia dan anak yang sedang tumbuh di rahimnya.
Malam mulai turun pelan ketika Nadin sudah berbaring di tempat tidur, perutnya ditutup selimut tipis. Lampu kamar diredupkan, aroma minyak kayu putih samar tercium dari meja nakas. Marvin duduk di tepi ranjang, masih dengan kemeja yang belum sempat ia lepaskan sejak sore. Tatapannya tak lepas dari wajah istrinya yang tampak lelah tapi tetap cantik.
“Masih mual?” tanya Marvin pelan sambil mengelus lembut punggung tangan Nadin.
“Udah agak mendingan,” jawab Nadin, suaranya serak. “Kamu nggak usah khawatir segitunya, aku cuma capek aja.”
Marvin mendesah berat. “Kamu tuh nggak tahu rasanya lihat kamu lari sambil pucat gitu. Jantung ku hampir copot, Din.”
Nadin tersenyum samar, menatap wajah suaminya yang jelas-jelas ketakutan tapi gengsi mengakuinya.
“Aku nggak apa-apa, Marvin. Lagian aku cuma pengen makan sesuatu yang pengen banget. Katanya kalau ngidam harus diturutin.”
“Ngidam sih boleh, tapi jangan bikin aku hampir gila,” gumam Marvin pelan, menatapnya setengah memprotes, setengah manja.
Nadin terkekeh kecil. “Berarti kalau nanti aku pengen makan di tengah malam, kamu siap anterin?”
Marvin mengangkat alis. “Jam berapa pun. Asal kamu bilang dulu, jangan ngilang kayak tadi.”
Nadin menatapnya beberapa detik, matanya melembut. “Kamu berubah banget, Marvin.”
“Berubah gimana?”
“Dulu kamu sibuk banget sama kerjaan, hampir nggak pernah kelihatan cemas begini,” katanya lirih.
Marvin terdiam sejenak, lalu mengusap perut Nadin yang masih datar dengan hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang paling berharga di dunia.
“Sekarang aku punya dua alasan buat berhenti egois,” bisiknya. “Kamu dan anak kita.”
Nadin terdiam, dadanya hangat oleh kata-kata itu. Ia menatap mata Marvin, menemukan kejujuran di sana, bukan hanya cinta, tapi rasa takut, tanggung jawab, dan kebahagiaan yang begitu besar. Tangan mereka saling menggenggam, menaut erat.
Beberapa saat kemudian, Nadin tertidur dengan kepala bersandar di dada Marvin. Pria itu menatap langit-langit kamar, napasnya perlahan tenang. Di antara suara detak jam dan hembusan napas lembut istrinya, ia berjanji dalam hati, tak akan membiarkan siapa pun, termasuk Anita, mengusik kebahagiaan kecil yang baru saja mereka bangun.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah mereka benar-benar terasa hangat.
Keesokan paginya, suasana rumah Alexander kembali ramai. Rani datang membawa keranjang berisi buah dan sayur dari kebunnya, sementara Araya duduk di ruang tamu sambil menatap menantunya yang baru bangun dengan rambut acak-acakan dan wajah kusut.
“Nadin, kamu itu udah mau jadi ibu, tapi bangun masih kayak anak kosan yang habis begadang,” goda Arayalembut.
“Mama, aku cuma mual dikit, nggak bisa tidur nyenyak,” sahut Nadin manja sambil memegangi perutnya yang baru terasa sedikit kembung.
Marvin muncul dari dapur dengan segelas susu hangat di tangan, rambutnya masih sedikit berantakan karena belum sempat menyisir.
“Nih, minum dulu. Aku tambahin madu, katanya bagus buat ibu hamil.”
“Marvin,” sela Araya sambil terkekeh, “kamu sekarang udah kayak bidan keliling, ya.”
Marvin menatap ibunya, lalu mengangkat bahu. “Kalau nggak dijagain, istriku bisa ngidam sambil kabur ke luar kota, Ma.”
Nadin melotot pelan. “Hei, aku nggak separah itu!”
“Yang kemarin sore siapa? Pergi dari pagi, pulang sore, bikin aku panik setengah mati?”
“Kan aku pergi sama ibu,” protes Nadin menunjuk Rani.
Araya mengangkat tangan, mencoba menengahi. “Sudah, sudah. Kalian ini ribut tiap pagi, kayak sinetron. Yang penting Nadin sehat, calon cucu Mama sehat, itu aja.”
Rani langsung menimpali, “Nah, ngomong-ngomong soal cucu, aku sama Jeng Rani udah sepakat.”
Marvin dan Nadin langsung menoleh bersamaan. “Sepakat apa?” tanya mereka hampir bersamaan.
Araya tersenyum lebar. “Kami berdua mau jagain Nadin gantian. Supaya kamu, Marvin, bisa fokus kerja, dan Nadin nggak sendirian di rumah.”
Nadin spontan menatap suaminya dengan tatapan geli sekaligus ngeri. “Tuh kan, akibat kamu terlalu protektif, sekarang aku dijagain dua orang tua sekaligus!”
Araya menepuk bahunya lembut. “Nggak apa-apa, kan? Kita mau pastiin kamu dan cucu kita aman.”
Nadin hanya bisa menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Baiklah … tapi dengan satu syarat.”
“Syarat apa, sayang?” tanya Araya.
“Jangan larang aku kerja dari rumah. Aku janji bakal istirahat, tapi otakku bakal gila kalau nganggur total.”
Araya dan Rani saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. “Deal.”
Marvin menatap istrinya lekat-lekat, antara pasrah dan gemas.
“Kamu memang keras kepala banget ya, Din.”
Nadin tersenyum manis, membalas tatapan itu. “Tapi kamu tetap cinta, kan?”
Marvin menghela napas panjang lalu mengangkat tangannya, menyerah.
“Sialnya … iya.”
Tawa pun pecah di ruangan itu, hangat dan penuh cinta, tanpa mereka sadari, di luar sana Anita tengah memandangi foto mereka dari layar ponselnya, dengan senyum samar dan tatapan yang menyimpan rencana lain.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍 😍 😍
semangat Nadin....halau dan hempaskan pelakor yang masuk ke dalam rumah tangga .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍