Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa perih setelah malam panas
Matahari pagi menyelinap lewat celah gorden, menerobos ke dalam kamar yang masih diselimuti keheningan. Udara pagi terasa segar, tapi tubuh Reva terasa berat—bukan karena lelah biasa, melainkan karena sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih intim, dan… perih.
"Jam berapa ini ? Sepertinya sudah pagi ." gumam Reva dengan mengerjakan matanya .
"stt...kenapa rasanya seperti ini ? Mana aku kebelet lagi." Reva meringis .
Ia terbangun perlahan, mata masih setengah terpejam. Awalnya, ia hanya merasa hangat—selimut tebal, tubuh Raka yang melingkar di pinggangnya dari belakang, napasnya yang tenang di leher Reva. Tapi seketika, keinginan untuk buang air kecil datang menyerang. Ia berusaha menahannya, berharap bisa kembali tidur. Tapi semakin ia tahan, semakin perih yang ia rasakan—bukan hanya di perut, tapi juga… di bawah.
"Ah, ya. Semalam....Mas Raka sudah mengambil semua milikku ." ia menatap wajah tampan Raka yang masih tertidur lelap disampingnya .
"Ternyata ,rasanya begini ya ...mas Raka memang sungguh luar biasa ."
Wajah Reva langsung memerah hanya dengan mengingatnya. Malam pertama yang tertunda—akhirnya terjadi. Dan Raka… suaminya yang biasanya tenang, ternyata begitu penuh gairah, penuh kasih, dan… sangat memuaskan. Tapi sekarang, tubuhnya membayar lunas.
"Aduh ..aku sudah nggak tahan ,aku kekamar mandi ."
Ia mencoba bergerak perlahan, tapi begitu pinggulnya sedikit bergeser, rasa nyeri menusuk. Ia menahan erangan kecil, lalu menoleh ke arah Raka. Suaminya masih tertidur lelap, wajahnya damai, bibirnya sedikit terbuka. Terlihat jelas—ia kelelahan. Dan pantas saja. Mereka tak hanya sekali semalam. Tiga kali, tepatnya. Dan yang terakhir… hampir menjelang subuh.
"Aku harus membangunkan mas Raka kalau aku tahan begini ,punyaku tambah perih ,dan aku bisa mengompol disini ." ucapnya lirih .
Reva menggigit bibir. Ia benar-benar butuh ke kamar mandi. Tapi bangun sendirian terasa mustahil—tubuhnya lemas, kakinya gemetar, dan… ya Tuhan, kenapa rasanya seperti habis naik turun gunung?
Dengan enggan, ia menyentuh lengan Raka pelan-pelan. “Mas Raka…”
Tak ada respons.
“Mas Raka… bangun…!” bisiknya lebih keras.
Masih diam.
Reva mendesah, lalu mengumpulkan keberanian. Ia mendekatkan bibir ke telinga Raka dan berbisik, “Sayang… aku mau ke belakang… tapi aku nggak bisa jalan kayak habis diseruduk kerbau.”
Mata Raka terbuka perlahan. Awalnya bingung, lalu—perlahan—ia tersenyum. Senyum lelah, tapi penuh kemenangan.
“Diseruduk kerbau?” ulangnya, suaranya serak karena tidur.
“Lebih parah! Aku nggak bisa jalan lurus,dan rasanya ada yang mengganjal didalam !” Reva mendesis pelan, wajahnya memerah.
Raka tertawa kecil, lalu menarik Reva lebih dekat—tapi langsung berhenti saat Reva meringis. “Aduh! Jangan peluk! Aku… sakit di… situ.”
“Di mana?” tanya Raka pura-pura polos, matanya berbinar nakal.
Reva mendorong dadanya pelan. “Mas! Kamu tahu banget di mana! Jangan pura-pura polos! Kamu yang bikin,aku seperti ini !”
Raka tertawa lagi, lalu duduk perlahan. “Maaf, Sayang. Aku… agak kebawa suasana semalam.”
“Kebawa suasana? Kamu kayak nggak pernah lihat perempuan seumur hidup!” Reva mengomel, tapi suaranya tetap pelan agar tak terdengar terlalu galak.
“Karena yang aku lihat cuma kamu,” jawab Raka lembut, lalu meraih tangan Reva. “Tapi serius—kamu baik-baik saja?”
Reva menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Perih… tapi nggak parah. Cuma… aku nggak bisa jalan sendiri. Aku takut jatuh.”
Raka langsung bangkit dari tempat tidur, lalu membungkuk di depan Reva. “Naik ke punggungku.”
“Apa? Nggak usah! Malu!”
“Kamu udah jadi istriku, sayang . Dan semalam… kamu udah kasih aku segalanya. Jadi, nggak usah malu sama aku,” katanya tegas, tapi tetap lembut.
Reva menatapnya sejenak, lalu mengalah. Dengan gerakan hati-hati, ia memeluk leher Raka dari belakang dan membiarkan suaminya menggendongnya seperti pengantin baru.
“Kamu berat,” gurau Raka sambil berjalan pelan ke kamar mandi.
“Dasar! Aku baru aja kasih kamu malam pertama, eh malah bilang aku berat!” Reva mencubit lengannya.
“Beratnya enak,” Raka tertawa, lalu membukakan pintu kamar mandi. “Aku tunggu di luar, ya?”
Reva mengangguk, lalu turun perlahan. Tapi begitu kakinya menyentuh lantai, ia langsung meringis. “Aduh…”
Raka buru-buru menopangnya. “Sini, aku bantu.”
“Nggak usah! Aku bisa sendiri!” Reva bersikeras, tapi wajahnya jelas menahan sakit.
Raka menghela napas, lalu duduk di tepi bathup. “Oke. Tapi kalau kamu jatuh, aku nggak tanggung jawab kalau nanti kamu bilang ke Nisa kalau suamimu nggak romantis.”
Reva mendelik. “Aku nggak akan cerita ke Nisa! Dia pasti ketawa terbahak-bahak dan bilang, ‘Lain kali jangan terlalu semangat sama suamimu!’”
Raka tertawa. “Dia emang galak, tapi jujur.”
Setelah Reva selesai, ia keluar dengan langkah kecil-kecil seperti nenek-nenek. Raka langsung berdiri dan menggendongnya kembali.
“Kamu kayak putri yang baru aja dikutuk jadi kodok,” godanya.
“Dan kamu kayak pangeran yang salah pilih mantra,” balas Reva sambil menempel di dadanya.
Raka menidurkannya kembali di tempat tidur, lalu menarik selimut menutupi tubuhnya. “Istirahat dulu. Aku bikin sarapan.”
“Jangan pergi…” Reva meraih tangannya. “Aku… masih pengin deket kamu.”
Raka tersenyum, lalu berbaring di sampingnya. “Aku di sini. Nggak akan pergi.”
Mereka berdiam sejenak, hanya mendengarkan detak jantung masing-masing.
“Mas Raka…” Reva memecah keheningan.
“Hmm?”
“Semalam… kamu senang, kan?”
Raka menoleh, lalu mencium keningnya. “Senang nggak cukup buat nggambarkan. Aku kayak… akhirnya pulang ke rumah yang sebenarnya.”
Reva tersenyum, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Raka. “Aku juga. Tapi… jangan terlalu sering kayak semalam, ya? Aku belum siap jadi janda muda karena kelelahan.”
Raka tertawa keras kali ini. “Janji. Tapi… kamu juga jangan terlalu manja minta digendong tiap mau ke kamar mandi. Nanti aku jadi supir pribadi.”
“Kalau kamu nggak terlalu ‘semangat’, aku nggak perlu digendong!” Reva membela diri.
“Jadi salahku?” Raka berpura-pura tersinggung. “Padahal kamu yang bilang, ‘jangan berhenti’.”
Reva langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Aku nggak bilang gitu!”
“Bilang! Pas yang kedua kali! Kamu bahkan pegang erat-erat…”
“MAS RAKA!” Reva menjerit malu, lalu melempar bantal ke wajahnya.
Raka menangkap bantal itu, lalu tertawa. “Aku cuma bercanda, Sayang. Tapi… aku senang kamu jujur semalam. Nggak pura-pura, nggak malu-maluin. Kamu jadi dirimu sendiri.”
Reva menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Karena aku percaya kamu. Dan… karena aku cinta kamu.”
Raka menariknya dalam pelukan. “Aku juga cinta kamu. Lebih dari apapun.”
Mereka berpelukan dalam diam yang hangat. Tak ada lagi rasa malu yang mengganjal. Tak ada lagi jarak yang menghalangi. Hanya dua jiwa yang akhirnya benar-benar saling memiliki—dalam suka, dalam sakit, dalam canda, dan dalam cinta yang utuh.
Dan meski tubuh Reva masih terasa perih, hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya.
Karena malam itu, ia bukan hanya kehilangan keperawanannya—
tapi menemukan cinta sejatinya.