NovelToon NovelToon
A Night With Mr. Ex-Husband

A Night With Mr. Ex-Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Selingkuh
Popularitas:146.5k
Nilai: 5
Nama Author: Demar

Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Couvade Syndrome

Lampu ruang tamu menyala lembut, tapi kehangatan yang biasanya terasa setiap kali mereka pulang kini menguap entah ke mana. Eleanor menutup pintu perlahan, mendengar langkah Elio yang masuk lebih dulu, tanpa bicara dan menatapnya.

“Elio…” suara Eleanor pelan, sedikit gugup.

Tak ada jawaban. Elio hanya meletakkan jaketnya di sandaran sofa, lalu berdiri memunggunginya tanpa menoleh.

“Are you okay?” tanya Eleanor, mencoba mengukur napasnya sendiri yang terasa sesak.

Masih tidak ada jawaban, sampai akhirnya Elio berbalik perlahan dengan wajah datar dan mata merah.

“Mum.” Satu kata itu saja membuat Eleanor terpaku. Lalu pertanyaan itu keluar, tajam tapi lirih, seolah ia takut mendengar jawabannya sendiri. “Pria itu Nicholas Armand, right?”

Eleanor tak bisa langsung menjawab. Napasnya tercekat di tenggorokan. “Elio, dengar…”

“Tolong, jangan mengelak.” Suaranya gemetar tapi tegas. “Aku butuh penjelasan, Mum. Aku sudah cukup besar untuk tahu.”

Keheningan panjang menyelimuti ruang tamu. Eleanor menatap putranya lekat, “Elio, semuanya tidak sesederhana itu,” bisiknya akhirnya.

Elio menatapnya lama, kemudian mendekat. “Kalau karena kontrak itu, aku bisa bantu. Aku bisa bekerja lebih banyak setelah ini. Motorku bisa dijual, aku tidak perlu kuliah dulu kalau itu bisa membuat hidupmu tenang.” Nada suaranya tegas, tapi matanya basah. “Aku hanya tidak mau kau tersakiti lagi karena pria itu.”

Kata-kata Elio menghantam hati Eleanor lebih keras dari apa pun. Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya. “Jangan bicara seperti itu, Boy… Aku tidak ingin kau mengorbankan hidupmu untuk kesalahanku.”

“Ini bukan pengorbanan,” jawab Elio cepat, suaranya mulai pecah. “You’re my mother. Kau sudah cukup lama menanggung semuanya sendirian.”

Eleanor menatapnya… dan di sana, di mata anak itu ia melihat luka dan frustasi. Gagal, ia gagal menjadi seorang ibu untuk Elio. Sebuah kebenaran yang selama bertahun-tahun ia sembunyikan mulai mengetuk dinding pikirannya lagi.

“Elio…” suaranya serak hampir tidak keluar, lalu menarik napas panjang. “Ya, dia pria itu.”

Elio menatap kosong untuk beberapa detik. Tak ada teriakan, tak ada kemarahan besar, hanya hening yang menyesakkan. “So what do you want, Mum? You want him?” Tangannya mengepal, bola matanya berair.

“No,” jawab Eleanor cepat.

Kata-kata Elio berikutnya lebih lembut, tapi getir. “Kalau begitu jangan bertemu dengannya lagi, Mum! Tolong dengarkan aku sekali ini saja.”

Eleanor menutup matanya. Melihat tatapan Elio membuat sesuatu di sudut pikirannya bergetar pelan.

Bagaimana jika Elio tahu kebenaran mengenai dirinya juga? Apakah putraku akan bahagia atau justru hancur.

Bagaimana jika ia tahu bahwa pria yang ia benci setengah mati itu… adalah ayahnya sendiri?

Membayangkannya saja membuat Eleanor tak sanggup bernapas. Ia hanya bisa menatap Elio yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya, punggungnya tegak tapi pundaknya bergetar halus.

“Good night, Mum,” katanya pelan.

Eleanor tidak menjawab. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak tahu apakah masih pantas mendengar panggilan itu.

Hujan baru saja berhenti di atas langit Paris. Air masih menetes dari tepian gedung tinggi, menimbulkan bunyi lembut yang berpadu dengan deru lalu lintas jauh di bawah sana. Nicholas Armand berdiri sendiri dengan pipi yang lebam keunguan. Di sudut bibirnya ada bekas darah yang sudah kering. Wajahnya masih tampan, tapi kali ini kehilangan ketenangan yang biasa digantikan kelelahan yang sulit disembunyikan.

Ia baru saja menolak makan malam yang Pierre antarkan dua jam lalu. Piring masih utuh dan sup itu sudah dingin. Rasa logam memenuhi lidahnya, membuat setiap tegukan air pun terasa memuakkan Ia berjalan menuju bar kecil di ruang tamu. Tangan kirinya gemetar saat menuangkan whisky ke gelas. Tapi begitu meneguknya, rasa panas itu malah memicu sensasi mual yang lebih parah. Tubuhnya menolak alkohol. Nicholas memegang tepi meja, wajahnya pucat sekali. Sekali, dua kali ia menarik napas dalam-dalam. Tapi tidak ada gunanya. Cairan pahit naik ke tenggorokan, dan beberapa detik kemudian ia terhuyung menuju wastafel.

Suara muntah menggema di ruang dapur yang terlalu sunyi. Ia memegangi sisi wastafel dengan satu tangan, keringat menetes di pelipis dan napasnya mulai terengah. Muntah karena mencium aroma muntahan Eleanor adalah hal yang wajar tapi ini… Apa ini? Lagi? pikirnya singkat. Kepalanya berdenyut keras.

Nicholas mengusap wajahnya dengan air dingin, mencoba menetralkan rasa mual yang terus datang bergelombang. Tapi setiap kali ia menatap pantulan dirinya di cermin satu nama terus muncul di benaknya, Eleanor.

Sial.

Ia beranjak pelan, membuka kancing kemeja satu per satu lalu memejamkan mata, menghitung napas perlahan. Ia menolak untuk terlihat lemah. Ia menolak untuk kehilangan kendali. Namun tubuhnya tidak bekerja sama. Gelombang mual kembali datang, disertai nyeri di perut bagian atas. Beberapa menit berlalu sebelum Pierre menemukan dirinya dalam keadaan seperti itu.

“Tuan Anda baik-baik saja?” suara Pierre penuh panik.

“Pergi panggil dokter!” jawab Nicholas pelan tanpa membuka mata. Ia tidak meninggikan suara, tapi cukup untuk membuat Pierre langsung menunduk dan berlari keluar ruangan.

Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya masuk dengan jas putihnya yang berkilau. Ia meletakkan tas medis di meja, memeriksa detak jantung, tekanan darah, lalu menatap Nicholas sejenak dengan ekspresi ragu.

“Secara medis semuanya normal, Monsieur Armand,” katanya hati-hati. “Tapi gejala yang Anda sebutkan mual, kehilangan selera makan, perubahan mood mendadak bisa terjadi pada pria yang…”

“Yang apa?” suara Nicholas datar.

“Yang pasangannya sedang hamil. Ini disebut Couvade Syndrome, gejala kehamilan simpatik. Kadang tubuh pria meniru…”

“Keluar!”

Dokter itu terdiam sejenak, mengira ia salah dengar. Tapi pandangan Nicholas tajam, seperti pisau yang berdiri di bawah sinar lampu, tajam dan menyilaukan.

“Saya bilang keluar! Apa kau tuli?” ulangnya pelan.

Pierre buru-buru menuntun dokter itu keluar, hampir tersandung di ambang pintu. Nicholas tetap berdiri di tempat, menatap pantulan dirinya di jendela. Ia menekan pelipisnya keras, berusaha mengusir kata-kata dokter yang terus bergema di kepalanya.

“…Pasangannya sedang hamil”

Sial, Eleanor.

Rasa mualnya mendadak berubah jadi sesuatu yang lain. Semacam panas di dada, campuran marah dan cemas. Ia meraih ponselnya dengan cepat.

“Pierre.”

“Tuan, saya akan panggilkan dokter yang lain jika Anda tidak…”

“Kau terlalu banyak bicara. Aku tidak minta dokter lain tapi aku minta laporan.”

“Laporan…?”

“PIERRE! Gunakan otakmu, bodoh...” makinya tajam. Tangannya mencengkram ponsel lebih erat.

Nada dinginnya seketika membuat Pierre tercekat, hampir lupa bernapas. “Baik, Tuan. Saya akan segera mengirimkan laporannya.” jawabnya cepat.

Begitu sambungan terputus, Nicholas menutup matanya. Sekali lagi, rasa mual itu datang. Ia menunduk, menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan diri. Namun semakin ia berusaha, semakin jelas satu hal di kepalanya. Jika dokter itu benar… jika tubuhnya merespons sesuatu yang tak ingin ia percayai… maka hanya ada satu kemungkinan.

Dan kemungkinan itu membuat seluruh tubuhnya bergejolak hebat.

1
Felycia R. Fernandez
Nick telah kehilangan masa masa pertumbuhan Elio,dan sekarang harapan nya untuk Elia pun tak terwujud ...
kesian banget 😭
Felycia R. Fernandez
kk Thor kira2 udah berapa bulan kandungan Eleanor saat keguguran ini??
Felycia R. Fernandez
percepat Daddy dan mommy mu rujuk,biar kamu juga cepat punya little sister
Euis Maryam
luar biasa 💪💪
mbu ne
lupa....
Zao Ming yg mana?🤔
Mundri Astuti
alurnya melebar ini ya
Nurhasanah
karya mu bagus bngett thor 😍😍😍
Jambul Junior
sedih sekali 😭😭😭
buk epi
mungkinkah nich ingin anak zhao ming merasakan pahitnya hidup tanpa didampingi sosok ayah seperti yg elio rasakan selama ini
Titin Rosediana
seeruuuuuuuu❤️❤️❤️❤️
Grace Putri
aaaaa sedih puoll, tp berharap mereka bertiga bisa memulai kehidupan yg baru yaaa
Neni Abu Triana
keeeeeren👍
Ais
sedih sumpah thor😭😭😭😭
"ariani's eomoni"
😭😭
Mundri Astuti
next thor...mudah"an Lea dan elio bisa terima Nic lagi
Felycia R. Fernandez
siapa nih nama adik Elio apakah Elva??
Felycia R. Fernandez
😭😭😭😭😭😭
Jengendah Aja Dech
❤️
Nita Nita
/Cry//Cry//Cry/
Titin Rosediana
❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!