“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Bayang dibalik kehormatan
Kabar perselisihan antara Raden Arya dan Raden Raksa pun sudah sampai ditelinga masing-masing ibunda mereka yaitu selir pertama Dyah Ratnadewi dan selir kedua Ken Suryawati. Siang ini Ken Suryawati datang ke paviliun Raden Raksa dengan langkah tergesa, begitu pintu terbuka dia melihat anaknya tengah membaca laporan dari Sangkara.
“Kalian semua keluar” titah Ken Suryawati tanpa mengalihkan pandangannya pada sang anak. Sangkara dan Jaya Rudra serta abdi dalem langsung keluar sementara Raden Raksa tetap santai dengan laporannya. Setelah semua keluar Ken Suryawati berjalan ke meja Raden Raksa menatapnya nyalang dan tiba-tiba.
BRAK!
Ken Suryawati melempar semua laporan itu menyapunya ke lantai sementara Raden Raksa terdiam tanpa merubah posisinya lalu menatap kearah sang ibu.
“Kau...dimana letak harga dirimu sebagai seorang bangsawan ha...! Kau berseteru dengan Arya hanya masalah dayang rendahan itu, apa kau mau menjatuhkan harga diri ibumu karena dayang rendahan itu haa....jawab Raksa Adityanegara!” kata Ken Suryawati dengan nafas memburu sambil mengarahkan jari telunjuknya kearah anaknya. Sementara Raden Raksa menyandarkan tubuhnya dikursi dengan santai, kedua matanya menatap dingin ibunya yang berdiri di hadapannya. Sekilas, wajahnya tampak tenang, namun jemarinya yang mengepal di atas meja mengisyaratkan sesuatu yang sedang bergejolak di dalam dadanya.
“Dayang rendahan, Ibu bilang?” suaranya datar, tapi setiap katanya terdengar tajam. “Jangan sekali lagi Ibu menyebut Puspa seperti itu di hadapan saya.”
Ken Suryawati menatapnya tak percaya. “Kau... kau membela perempuan itu di hadapan ibumu sendiri?” Raden Raksa bangkit perlahan. Tatapannya tajam, tetapi nadanya tetap terkendali. “Puspa bukan sekadar perempuan, Ibu. Ia memiliki hati yang jauh lebih murni dari kebanyakan orang di istana ini. Ia tidak menginginkan harta, kedudukan, atau pujian. Ia hanya tahu bagaimana menghormati—sesuatu yang bahkan para bangsawan pun kerap lupa.”
Ken Suryawati menggeleng, menahan amarah yang mulai mendidih. “Kau sudah gila, Raksa. Perempuan itu membuatmu lupa diri. Apa kau ingin menodai nama keluarga ini hanya karena rasa kasihanmu pada seorang pelayan?!” Raksa menghela napas panjang, lalu menatap ibunya lekat-lekat. “Nama keluarga ini, Ibu? Atau kebanggaan Ibu sendiri? Bukankah Ibu lebih takut kehilangan kedudukan di mata para selir dan bangsawan daripada kehilangan saya sebagai anak?” Seketika ruangan itu hening. Mata Ken Suryawati membulat, wajahnya menegang.
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku!”
Raksa tersenyum tipis, getir. “Saya hanya berkata apa adanya, Ibu. Kadang saya bertanya-tanya, apa Ibu benar-benar melihat saya sebagai anak, atau hanya sebagai alat untuk mengembalikan kejayaan yang Ibu inginkan.”
PLAK!
Tamparan itu datang cepat, keras, dan tak terduga. Suaranya menggema di ruangan yang kini terasa sesak. Raksa tak bergerak sedikit pun, hanya memalingkan wajahnya perlahan, menatap lantai dengan rahang mengeras.
“Jaga bicaramu, Raksa!” suara Ken Suryawati bergetar, antara marah dan terluka. “Aku berjuang selama ini demi kehormatanmu! Demi tempatmu di istana! Tapi kau malah menentangku karena seorang dayang tak berharga!”
Raden Raksa mengangkat wajahnya perlahan, pandangannya tajam tapi tenang. “Bagi Ibu, mungkin Puspa tak berharga. Tapi bagi saya, ia satu-satunya yang membuat saya merasa menjadi manusia. Ia melihat saya bukan karena darah biru, tapi karena hati. Dan itu... sesuatu yang tak pernah saya temukan di antara istana yang penuh topeng ini.” Ken Suryawati mundur selangkah, matanya bergetar antara kaget dan marah. “Cukup! Aku tidak ingin mendengar lagi omong kosongmu itu. Besok aku akan mengundang seluruh istri bangsawan Samudra Jaya. Mereka akan membawa anak-anak gadis mereka. Kau akan memilih salah satunya menjadi pendampingmu. Titik!” Raden Raksa tertegun, lalu langkahnya cepat maju, suaranya meninggi tanpa bisa ia tahan lagi.
“Tidak, Ibu! Saya tidak akan memilih siapa pun! Sekalipun seluruh gadis bangsawan berbaris di depan saya, hati saya tetap untuk Puspa!”
“Raksa!” bentak Ken Suryawati. “Kau memalukan! Jangan menjerumuskan dirimu ke dalam kehinaan itu!”
“Tapi justru kehinaan adalah ketika kita mengabaikan kebenaran hati sendiri,” balas Raksa tegas. “Dan saya tidak akan hidup dalam kebohongan hanya demi menjaga nama yang sudah terlalu banyak dinodai oleh ambisi!” Ken Suryawati menatap anaknya lama, matanya basah tapi bukan oleh air mata sedih—melainkan oleh amarah yang bercampur luka. Ia tahu, kata-kata itu keluar dari hati Raksa yang tulus, tapi juga keras kepala. Tak ada ruang untuk membantah malam itu.
Dengan langkah cepat, ia mengambil selendang sutra yang tadi terjatuh, merapikan pakaiannya, lalu berbalik menuju pintu.
“Baiklah, Raksa Adityanegara,” katanya lirih namun tegas, “kalau begitu jangan salahkan ibumu bila tak lagi memohon pada Dewata untuk keberuntunganmu. Karena mulai saat ini, kau sendirilah yang menanggung akibat dari pilihanmu.” Raden Raksa tidak menahan. Ia hanya berdiri tegak di tempatnya, menatap punggung ibunya yang menjauh. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, ia berkata pelan namun penuh keteguhan, “Saya tidak takut, Ibu. Karena untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tahu siapa yang pantas saya perjuangkan.” Pintu paviliun tertutup dengan keras. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya terdengar napas berat Raden Raksa yang kini perlahan mereda. Di lantai, laporan-laporan yang berserakan masih tergeletak, seperti saksi bisu dari pertarungan batin antara darah dan cinta.
Dan di luar sana, Ken Suryawati melangkah cepat menyusuri lorong istana, matanya merah menahan amarah dan rasa malu. Dalam hatinya, bukan hanya kebencian yang tumbuh, tapi juga ketakutan—takut bahwa ramalan mbok Sanem benar adanya; bahwa garis Ken Surtaji tak akan terangkat sebelum darah mereka bersatu dengan keturunan Wiratanu. Sementara di paviliun itu, Raden Raksa menatap ke arah jendela yang terbuka, menatap jauh ke taman di mana Puspa sering melintas membawa jamu. Sebuah tekad tumbuh dalam diam. Apa pun yang akan terjadi, ia tidak akan melepaskan Puspa.
Sementara itu apa yang dilakukan Ken Suryawati berbanding terbalik dengan yang dilakukan Dyah Ratnadewi—ibunda Raden Arya, dia memanggil anaknya lalu duduk berdua menatap dengan lembut mata sang anak walau begitu Raden Arya tetap gugup menautkan jari-jari tangannya dan menunduk layaknya seorang anak kecil yang telah berbuat kesalahan. Tiba-tiba sekumpulan dayang datang membawa camilan siang dan diantara dayang-dayang itu ada Puspa, Raden Arya Langsung menegakkan tubuhnya layaknya anak kecil yang antusias mendapat makanan kesukaannya. Dia menatap Puspa hingga tak berkedip dan dari situlah Dyah Ratnadewi Sudah tahu sendiri jawabannya, setelah menata hidangan di meja para dayang itu pun segera menepi. Raden Arya tak kunjung menyentuh makanannya dan masih terus menatap Puspa yang menunduk bersama para dayang yang lain.
“Apa ada masalah anakku?” tanya Ratnadewi dengan lembut walaupun tahu alasannya tapi dia masih pura-pura tidak tahu.
“Tidak ada ibunda,”
Dyah Ratnadewi menyendok sedikit kudapan manis di hadapannya, mengunyah perlahan sembari sesekali menatap putranya yang masih tampak gugup. Raden Arya sama sekali belum menyentuh makanannya, hanya duduk dengan postur kaku dan pandangan yang tak pernah lepas dari sosok dayang yang duduk di sisi meja—Puspa. Senyum samar muncul di bibir Ratnadewi. Ia sudah menduga arah kegelisahan anaknya bahkan sebelum Puspa melangkah masuk membawa nampan perak berisi kue wijen dan minuman hangat. Kini, setelah hidangan tersaji dan para dayang mengambil tempat di sisi ruangan, suasana menjadi tenang. Hanya suara lembut Ratnadewi yang memecah keheningan.
“Cicipilah sedikit, Arya,” katanya lembut sambil mendorong piring ke arah putranya.
Raden Arya menegakkan tubuhnya, berdeham kecil. “Iya, Ibunda.” Ia mengambil sepotong kue, tapi bukannya memakannya, ia hanya menggenggamnya erat, sesekali melirik Puspa yang menunduk sopan sambil menuang minuman ke cangkir-cangkir kecil.
Ratnadewi memandangi anaknya lama, kemudian meletakkan sendoknya perlahan. “Kau tahu, Arya,” katanya lembut, “kadang hati manusia sulit diajak berunding. Ia memilih sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika, dan seringkali... membuat kita takut untuk mengakuinya.” Raden Arya menatap ibunya, seolah mencari arah dari kalimat itu. Ia ingin berbicara, tapi lidahnya kelu.
Ratnadewi tersenyum kecil. “Kau tidak perlu berkata apa-apa, Nak. Ibu sudah tahu.” Tatapannya kemudian beralih pada Puspa yang kini berjongkok sopan di sisi meja, mengatur teko jahe yang mulai mendingin. “Kau... Puspa, bukan?”
Puspa terkejut, lalu segera menunduk lebih dalam. “Iya, Gusti Kanjeng,”
“Terima kasih telah menyiapkan hidangan ini,” ucap Ratnadewi pelan, nada suaranya hangat namun dalam. “Kau melakukannya dengan hati-hati. Tidak banyak orang yang mampu memberikan ketenangan hanya lewat sebuah sajian sederhana.” Puspa terdiam, wajahnya memerah. “Hamba hanya menjalankan tugas, Gusti.”
Ratnadewi tersenyum. “Tugas yang dilakukan dengan hati, tidak pernah sesederhana itu, Nak.” Raden Arya menatap ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran rasa malu, kagum, dan lega. Ia tahu, ibunya telah memahami lebih banyak dari yang ia ungkapkan. Tapi yang membuatnya justru semakin canggung adalah kenyataan bahwa Puspa kini menunduk dalam-dalam, mungkin menyadari bahwa dirinya menjadi bagian dari pembicaraan yang tidak seharusnya ia dengar.
Ratnadewi kembali menatap anaknya. “Arya,” ujarnya dengan nada lembut namun tegas, “kau tahu apa yang paling sulit dilakukan oleh bangsawan?”
“Apa itu, Ibunda?”
“Menemukan kejujuran di tengah segala topeng dan kehormatan palsu,” jawab Ratnadewi tenang. “Dan dari sorot matamu, Ibu tahu—kau telah menemukannya.” Raden Arya terdiam. Ia menunduk, mencoba menahan debar yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Kata-kata ibunya seperti angin sejuk yang menenangkan, tapi di sisi lain juga membebani hatinya dengan kenyataan pahit kejujuran itu akan mempertemukannya dengan jalan yang sama seperti adiknya, Raden Raksa.
Ratnadewi memandang ke luar jendela, napasnya teratur. “Namun,” lanjutnya, “kau juga harus tahu batas antara cinta dan kewajiban. Dunia istana tidak mudah, Arya. Hati yang terlalu jujur terkadang akan dihukum lebih keras daripada lidah yang berdusta.” Puspa menggenggam erat kain bajunya, matanya menunduk. Setiap kata itu seperti menggema dalam dirinya, menimbulkan perasaan yang sulit dijelaskan—antara syukur dan takut.
Raden Arya akhirnya bersuara pelan. “Ibunda… apakah salah jika seseorang seperti saya jatuh hati pada orang yang tidak sepadan dalam darah dan derajat?”
Ratnadewi menatapnya lama, lalu menjawab lirih, “Cinta tidak pernah salah, Nak. Yang salah adalah ketika kita mempermalukannya dengan kepura-puraan.” Ia tersenyum samar. “Tapi kau juga harus siap menanggung konsekuensi dari pilihanmu. Sebab cinta di dalam istana, selalu beriring dengan luka.” Suasana menjadi hening lagi. Puspa beranjak memberi hormat, lalu berjalan perlahan keluar bersama para dayang lainnya. Namun sebelum benar-benar keluar, ia sempat menatap sekilas ke arah Raden Arya—tatapan singkat yang cukup untuk menyalakan api tekad di hati sang pangeran muda.
Begitu pintu paviliun tertutup, Ratnadewi meletakkan cangkirnya. “Arya,” katanya pelan, “besok Ibu akan mengundang para istri bangsawan dan anak-anak gadis mereka ke balairung kecil. Sudah saatnya kau memilih pendamping.”
Raden Arya mendadak menegakkan tubuhnya, matanya membulat. “Besok, Ibunda?”
Ratnadewi mengangguk. “Ya. Ayahandamu menginginkan agar pernikahanmu tidak tertunda.”
“Ibunda,” suara Arya meninggi sedikit, “saya… belum siap.”
Ratnadewi menatapnya tenang. “Kadang, kesiapan datang setelah kewajiban dijalankan, bukan sebelumnya.” Raden Arya menunduk. Hatinya bergolak, pikirannya kacau. Namun di balik kegelisahan itu, tumbuh satu keputusan yang bulat—apapun yang terjadi besok, ia akan menemukan cara untuk menghindari pertemuan itu. Karena di hatinya, hanya ada satu nama yang layak ia perjuangkan, meski harus berhadapan dengan darah dan aturan yang mengikatnya. Dan Dyah Ratnadewi hanya memandangi anaknya yang termenung itu, dengan senyum yang samar. Ia tahu, badai yang lebih besar akan datang—dan cinta, sekali lagi, akan menguji hati kedua putranya.
****
Rupanya kabar perselisihan antara kedua adik tirinya dan desas-desus pertengkaran Raden Raksa dengan ibunya juga begitu cepat sekali menyebar diantara para dayang dan prajurit istana hingga sampai ketelinga Putri Dyah Anindya akhirnya sore itu sang putri pergi menemui Ken Suryawati.
Sang putri, dengan langkah tenang namun penuh tanya, berjalan menyusuri lorong menuju paviliun Ken Suryawati. Tatapannya dalam, matanya menahan campuran rasa prihatin dan penasaran. Ia tahu, setiap amarah Suryawati pasti meninggalkan bekas, bukan hanya bagi yang dimarahinya, tapi juga bagi suasana seluruh istana.
Ken Suryawati tampak berdiri di beranda paviliunnya, menatap jauh ke arah taman yang kini diterpa cahaya senja. Saat langkah lembut sang putri terdengar, ia menoleh perlahan.
“Gusti Putri Dyah,” ucapnya sambil memberi hormat kecil. “Sungguh tak kuduga, kau datang kemari.”
Putri Dyah tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memastikan kabar yang kudengar tidak sebesar seperti yang dibicarakan para abdi.”
“Ah,” Suryawati menegakkan tubuhnya, “kabar itu rupanya cepat sekali sampai, Putri. Memang benar, Raden Raksa dan aku sempat berselisih paham. Tapi itu urusan keluarga, bukan hal yang patut jadi bahan bisik-bisik.” Putri Dyah mendekat perlahan. Suaranya lembut, namun nadanya mengandung makna yang dalam. “Tapi jika bisik-bisik itu membuat hati seorang ibu resah, bukankah lebih baik dibicarakan dengan kepala dingin daripada membiarkannya membara di dalam dada?”
Ken Suryawati menatap sang putri tajam, namun tatapan itu tak menggoyahkan ketenangan Dyah Anindya. “Kau bicara seolah mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang melihat anaknya menentang darah dan derajatnya sendiri,” ucap Suryawati dengan nada menahan diri.
Dyah menunduk pelan, lalu berkata, “Mungkin aku tidak sepenuhnya mengerti. Tapi aku tahu, kadang cinta membuat manusia melakukan hal-hal di luar nalar. Dan terkadang, cinta yang tulus justru lahir dari tempat yang paling rendah.” Kalimat itu membuat Ken Suryawati terdiam sesaat. Matanya beralih ke arah taman, ke langit senja yang kini mulai meredup. Ada sesuatu dalam kata-kata sang putri yang menusuk, seolah menyentuh sisi hatinya yang telah lama ia kunci rapat. Namun ia menepisnya dengan tawa kecil yang terdengar getir.
“Ah, Gusti Putri berbicara seolah seorang pujangga,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Tapi kau lupa satu hal. Di istana ini, cinta tanpa izin adalah aib. Dan aku tidak akan membiarkan anakku terseret dalam aib itu.”
Dyah Anindya memandangnya lama. “Ataukah sebenarnya Ibu takut pada sesuatu yang lebih dari sekadar aib?” tanyanya perlahan. “Takut pada ramalan lama, mungkin?”
Wajah Ken Suryawati menegang. Pandangan matanya berubah tajam. “Hati-hati dengan kata-katamu, Gusti Putri,” ujarnya pelan tapi berisi ancaman halus. “Kau mungkin berdarah ningrat, tapi jangan berpikir aku tidak tahu rahasia apa yang kau simpan.”
Putri Dyah membeku sejenak, napasnya tertahan. “Apa maksud Ibu?” tanyanya hati-hati. Ken Suryawati melangkah mendekat, jarak di antara mereka kini hanya sehelai kain. Suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Tentang malam itu... saat Panglima Aruna menemuimu di taman belakang, di bawah cahaya bulan. Kau pikir tidak ada yang melihat?”
Wajah Putri Dyah seketika memucat. Ia menatap Suryawati, matanya membulat, seolah seluruh udara di sekitarnya lenyap. “Bagaimana... Ibu tahu tentang itu?” Suryawati tersenyum kecil—senyum seorang wanita yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya. “Aku telah lama menjadi bagian dari istana ini, Gusti. Tak ada langkah yang tak terpantau. Bahkan langkah seorang panglima yang terlalu berani menatap putri kerajaan.”
“Jangan bicara sembarangan!” sergah Dyah, suaranya bergetar menahan emosi. Namun Suryawati justru semakin tenang, nadanya berubah lembut namun menusuk. “Oh, aku tidak akan bicara sembarangan. Tapi coba bayangkan... apa yang akan terjadi jika ayahandamu, Sri Baginda Harjaya, tahu bahwa putrinya bersimpuh dalam cinta kepada seorang panglima—seorang prajurit, bukan darah biru?” Putri Dyah menggigit bibirnya, menahan amarah sekaligus takut. Suara detak jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri.
Suryawati melanjutkan, “Bagaimana nasib Panglima Aruna, kira-kira? Ia terlalu terhormat untuk diseret ke pengadilan, tapi terlalu berani untuk dibiarkan hidup dengan rahasia itu. Dan kau, Putri... kau akan kehilangan segalanya sebelum sempat menjadi permaisuri Raden Kusumanegara.”
Kata-kata itu menghantam keras. Wajah Dyah memucat, tubuhnya sedikit bergetar. “Apa maksud Ibu? Apakah ini ancaman?”
“Anggap saja peringatan,” jawab Ken Suryawati datar. “Jangan ikut campur urusan antara aku dan anakku. Karena jika kau melangkah terlalu jauh, rahasiamu bisa saja melangkah lebih cepat ke telinga Raja.” Keheningan panjang menyelimuti halaman itu. Angin senja berhembus pelan, membawa aroma melati yang kini terasa getir. Putri Dyah memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Ketika ia membuka matanya kembali, sorotnya berubah tajam. “Ibu boleh mengancamku, tapi ingatlah, setiap rahasia memiliki bayangannya sendiri. Dan bayangan itu, kadang muncul saat kita paling tak siap.”
Ken Suryawati tersenyum tipis. “Mungkin begitu. Tapi untuk saat ini, bayangan itu masih dalam genggamanku.” Keduanya terdiam, saling menatap tanpa satu pun mundur. Di langit, senja mulai pudar. Hanya sisa cahaya merah yang menandai bahwa malam akan segera turun—malam di mana dua rahasia besar kini sama-sama menggantung di antara dua perempuan istana.