Olivia Wijaya, anak kedua Adam Wijaya Utama pemilik perusahaan Garda Utama, karena kesalahpahaman dengan sang Ayah, membuat dirinya harus meninggalkan rumah dan kemewahan yang ia miliki.
Ia harus tetap melanjutkan hidup dengan bekerja di Perusahaan yang Kevin Sanjaya pimpin sebagai bos nya.
Bagaiman selanjutnya kisah Oliv dan Kevin.. ??
Hanya di Novel " My Perfect Boss "
Follow Me :
IG : author.ayuni
TT : author.ayuni
🌹🌹🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayuni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Olivia dan teman-teman magang nya sudah mulai terbiasa dengan ritme pekerjaan di divisi desain kreatif, walaupun penuh dengan tekanan, namun tidak membuat semangat Olivia dan teman-temannya surut. Rachel sebagai kepala divisi selalu siap membantu dan memberikan pengarahan kepada mereka.
Olivia baru saja tiba di kantor, membawa laptop dan buku sketsanya. Ia memilih duduk di pojok ruangan divisi kreatif, berusaha menghindari tatapan siapa pun. Setelah kejadian di pantry kemarin, ia merasa canggung setiap kali mengingat suara Kevin dan cara tatapannya menembus pertahanannya.
Namun takdir seolah tak pernah kehabisan cara untuk mempertemukan mereka. Menjelang siang, pesan singkat dari Rey muncul di layar ponselnya.
"Oliv, Pak Kevin mau ketemu kamu di ruang kerja. Katanya ada sesuatu yang ingin di bicarakan"
Hati Olivia langsung berdetak cepat.
"Hah.. Apa nih? Kesana.. Enggak.. Kesana.. Engga.." batinnya berkecamuk.
Akhirnya ia menarik napas panjang, memberanikan diri menuju lantai sembilan.
Sesampainya di lantai sembilan, ia berjalan melewati meja Cassandra, Cassandra terlihat sibuk dengan laptop di hadapannya.
"Permisi Mbak Cas" ucap Olivia.
Cassandra mendongakkan wajahnya.
"Oliv..! kamu magang ya disini? Jadi kamu resign karena mau lanjut kuliah?"
Olivia hanya tersenyum.
"Aku tahu dari Rey, katanya anak magang yang di desain kreatif itu salah satu nya ada kamu"
Cassandra tidak begitu mengetahui kejadian yang menimpa Olivia beberapa bulan lalu, karena prinsip Cassandra jika bukan ranah nya ia tidak akan mau ikut campur dan tidak ingin tahu.
Namun jika ia mendengar desas-desus yang mencurigakan ia selalu meminta jawaban kepada Rey.
"Iya Mbak" balas Olivia tersenyum kecil.
"Oya? Kamu mau kemana? Biasanya anak magang jarang ada yang kesini"
"Saya diminta ke ruang Pak Presdir, Mbak"
"Ya udah kamu masuk aja, Pak Kev ada kok di ruangannya"
"Makasih ya, Mbak"
"Oke"
Olivia kembali berjalan menuju ruang Kevin, sesampainya di depan pintu ruangan Kevin, Olivia menghentikan langkahnya, perasaannya kembali tidak karuan.
Ia mengangkat tangan untuk mengetuk pintu.
Namun, belum juga ia mengetuk pintu, sudah samar terdengar suara dari dalam ruangan.
"Masuk"
Olivia membuka pintu, perlahan masuk lalu menutupnya lagi.
Ruang kerja Kevin seperti biasa, rapi, dingin, dan beraroma kopi hitam yang khas. Kevin sedang berdiri di dekat jendela besar, jasnya dilepas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku.
“Silakan duduk, Liv" katanya tanpa menoleh.
Olivia menelan ludah. Dia memanggilku ‘Liv’ lagi…
Ia duduk perlahan, menjaga jarak aman di ujung kursi.
Beberapa detik berlalu dalam diam sebelum Kevin akhirnya berbalik menatapnya.
Tatapan itu tidak setegas biasanya, kali ini ada ragu, ada sesuatu yang lebih manusiawi.
“Aku mau bicara, tapi bukan sebagai atasan" ucapnya perlahan.
Olivia menatapnya bingung. “Maksud Bapak…?”
Kevin tersenyum kecil.
"Kamu masih panggil aku bapak?" ucap Kevin berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di depannya.
“Kalau cuma kita berdua, tolong… jangan panggil aku begitu lagi.”
Olivia terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia menatap Kevin, berusaha memastikan apakah ini hanya candaan atau sungguh-sungguh.
“Kenapa?” suaranya nyaris berbisik.
Kevin membetulkan posisi duduknya, suaranya rendah dan jujur.
"Karena aku nggak mau jarak antara kita terus sebesar itu".
Olivia langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas.
“Kak.." ia menyebut nama itu pelan, canggung, ragu, seperti mencoba mengingat rasa yang sudah lama dikubur.
“Tapi… semua ini sudah lewat. Aku di sini cuma magang. Aku nggak mau masalah pribadi mengganggu pekerjaanku.”
Kevin mengangguk perlahan.
“Aku tahu. Dan aku nggak akan ganggu kamu. Aku cuma mau satu hal".
Ia menatapnya dalam-dalam, nada suaranya bergetar lembut.
“Maaf, Liv.. Maaf karena dulu aku terlalu diam.. Karena aku biarin kamu pergi waktu aku seharusnya menahan kamu.”
Kata-kata itu menghantam hati Oliv seperti ombak. Ia mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Ingatannya seolah diputar mundur, saat ia sedang merasa bahagia bersama Kevin, tiba-tiba ia diminta untuk menjauhi Kevin.
“Kak.. aku nggak marah.. Aku cuma… takut, takut kalau semuanya terulang".
Kevin tersenyum, tapi kali ini ada kesedihan di baliknya.
“Kalau pun terulang, aku janji aku nggak akan biarkan kamu berjalan sendirian lagi".
Suasana hening.
Suara jam dinding terdengar jelas, menandai waktu yang seakan berhenti di ruangan itu.
Olivia akhirnya berdiri, menatap Kevin dengan mata yang masih tergenang air.
“Aku nggak janji apa-apa, Kak... Tapi… aku terima maaf kamu".
Kevin mengangguk pelan. “Itu sudah lebih dari cukup".
"Dan.. Aku juga ingin berterima kasih atas semua, atas kembalinya saham Garda, terima kasih banyak"
Akhirnya kata itu terucap, Kevin memandang Olivia dengan perasaan lega. Ia berharap ini awal yang baru bagi dirinya dan Olivia. Bukan antara atasan dan anak magang, tapi dua hati yang sedang belajar memulai dari nol, sekali lagi.
“Liv…” suaranya pelan, tapi cukup membuat Olivia menoleh.
Kevin menatapnya lama sebelum akhirnya berkata.
“Aku udah tahu sekarang… kenapa waktu itu kamu tiba-tiba menjauh dari aku".
Olivia membeku. Ia bisa merasakan tenggorokannya menegang.
“A…Apa maksudnya Kak?” tanyanya pelan.
Kevin menarik napas panjang, menautkan jemarinya di atas dada.
“Beberapa waktu lalu, Mama akhirnya cerita. Katanya… Mama bilang ke kamu, waktu aku masih sibuk dengan kuliah aku. Mama sendiri yang minta kamu buat jauhin aku kan?"
Olivia menunduk. Tubuhnya terasa dingin, seperti baru saja ditelanjangi dari rahasia yang selama ini ia jaga. Ia berusaha tersenyum, tapi suaranya bergetar.
“Jadi kamu tahu… semuanya.”
Kevin mengangguk pelan.
“Awalnya aku marah.. Aku ngerasa kamu ninggalin aku tanpa alasan, tapi setelah Mama cerita, aku sadar kamu nggak salah.. Kamu cuma berusaha menghormati keluarga aku".
Ia berhenti sejenak, matanya menatap wajah Olivia yang kembali berkaca-kaca.
“Aku nggak bisa bayangin gimana beratnya kamu waktu itu, Liv.. Disuruh ninggalin aku, padahal kita lagi bahagia kan waktu itu, walaupun kita jauh-jauhan, kamu selalu cerita kejadian-kejadian lucu di sekolah, kamu cerita juga kalo sebenernya kamu belum di bolehin punya pacar sama Ayah kamu, tapi kamu tetep nerima aku, terus tiba-tiba kamu diminta buat jauhin aku, tanpa penjelasan, tanpa kesempatan buat ngomong".
Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes pelan di pipi Olivia. Ia menatap Kevin dengan pandangan sendu.
“Waktu itu aku pikir… aku harus nurut. Mama kamu datang baik-baik, bilang kalau kamu sudah dijodohkan dengan orang lain. Aku nggak mau bikin kamu jadi anak durhaka, Kak. Jadi aku pergi.”
Kevin menatapnya tanpa berkedip. Ada perih, tapi juga kehangatan dalam tatapannya. Ia berdiri, berjalan perlahan ke arah Olivia, lalu berhenti di hadapannya.
"Kamu tahu, Liv? Aku marah bukan karena kamu pergi… tapi karena aku nggak ada di sana buat nyegah kamu.”
Ia menunduk sedikit, suaranya menurun menjadi bisikan.
"Aku janji ke diri sendiri… kalau suatu hari aku bisa ketemu kamu lagi, aku nggak akan biarin kamu jalan sendiri kayak waktu itu.”
Olivia terdiam. Matanya basah, tapi ada sesuatu yang melegakan di dadanya. Seolah beban lama yang ia simpan bertahun-tahun akhirnya terangkat.
“Kak…” ia mengucap nama itu pelan, hampir seperti doa.
"Aku gak tau lagi harus bilang apa...."
Kevin tersenyum lembut.
"Bilang aja kamu udah capek jaim.”
Olivia spontan menatapnya dengan wajah kaget dan malu, lalu menunduk sambil tersenyum geli di sela air matanya. Ia mengusap pipinya, setengah kesal setengah hangat.
Kevin terkekeh kecil, lalu menatapnya dengan sorot mata yang jujur.
“Kalau kamu mau, Liv… kita mulai dari awal.. Bukan dari kesalahpahaman, tapi dari kejujuran.”
Olivia menatapnya lama. Kali ini, ia tidak menjawab dengan kata-kata, diam namun dengan penuh arti.
Dan di tengah ruang kerja yang sunyi itu, dua hati yang sempat dipecah oleh restu orang tua kini mulai menemukan jalannya kembali, bukan karena kebetulan, tapi karena keberanian untuk jujur.
🌹🌹🌹
Jangan lupa untuk dukung author dengan vote, like dan komennya ya ❤️