"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 27 - Terluka
Game terakhir dimulai tepat pukul 10.00 WIB. Ada 30 tim yang ikut berperan serta. Setiap tim memiliki warna bandana berbeda. Panitia mengatur waktu keberangkatan yang berbeda untuk menghindari persaingan antar tim.
Setiap tim dibekali dengan satu peta sederhana untuk menghindari tersesat. Kami menjadi tim ke 13 yang berangkat. Panitia melepas kami di hutan. Tugas kami hanya mencari berbagai sandi yang telah disebar panitia di berbagai titik sebanyak-banyaknya.
"Target kita adalah menang. Kamu harus ikuti semua perintahku. Aku lebih pengalaman dalam hal seperti ini dibanding kamu." Arkan berjalan di depanku sembari menyibak semak-semak belukar yang menghalangi jalan.
"Aku tidak menerima kekalahan. Aku tercipta sebagai pemenang. Aku juga tidak mentolerir kesalahan. Jadi kamu harus mengikuti semua perintahku agar tim ini bisa menang. Oke?"
Aku salah menilai Arkan. Dibalik wajah ramah dan penuh senyum itu, tersimpan jiwa kompetitif yang begitu kuat. Pembawaan luarnya sungguh menipu. Dia bukan tipe pria yang bisa menerima kekalahan. Baginya, semua hal adalah pertarungan. Semua orang harus tunduk pada perintahnya. Dengan kata lain, dia seorang diktator.
"Rencana pertama yang harus dilakukan adalah, kita harus berpencar."
"Y-ya?"
"Ke sini Arsha." Arkan menarik lenganku dan membawaku ke tempat yang cukup lapang. "Mana petanya?" tanyanya. Aku mengeluarkan peta.
"Panitia mengatakan, ada 100 sandi yang disebar di seluruh penjuru titik ini. Itu artinya 30 tim memperebutkan 100 sandi. Bila dipukul rata, kemungkinan satu tim akan mendapatkan 3 sampai 4 sandi. Itu perhitungan normal. Tapi, aku bukan tipe orang yang mau menerima pembagian rata seperti itu. Aku harus lebih dari yang lain. Tim ini harus menang."
"Untuk itu, aku punya rencana." Arkan berhenti sejenak. Dia menatapku. Feelingku menjadi tidak enak. "Kita akan berpencar. Kita akan mengumpulkan sandi sebanyak-banyaknya. Kita akan berkumpul di sini, tepat pukul tiga sore. Mengerti?"
"Apa? Jadi maksud Bapak, saya disuruh mencari sandi sampai jam tiga? Empat jam mencari sandi di hutan ini?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Meskipun hutan itu sudah terjamah manusia dan acapkali dijadikan tempat untuk outbound, namun ada beberapa bagian yang dibiarkan tumbuh dengan liar sehingga kesan menakutkannya masih ada.
"Bukan kamu saja. Aku juga. Kamu lihat pohon beringin itu? Kita akan bertemu di bawah pohon itu tepat pukul tiga. Sekarang, berpencar. Aku ke arah sini, kamu ke sana." Arkan berbalik dan mulai melangkah ke arah yang dituju.
"Tapi Pak, bukankah tujuan game ini adalah team work? Bagaimana akan jadi team work kalau kita pergi sendiri-sendiri?!" seruku. Berharap Arkan mendengar suaraku. Berbalik dan merubah pikirannya yang aneh. Arkan memang berbalik, tapi tanpa menghentikan langkah.
"Team work memang penting. Tapi bila target bisa dicapai dengan lebih cepat dengan sendiri-sendiri, why not?! Sudah jangan manja. Kita akan ketemu di sini tepat pukul tiga." Arkan melambaikan tangan dan kembali melanjutkan langkah.
Argh!! Rasanya aku ingin melontarkan kata-kata kasar. Ternyata ada ya tipe pria seperti Arkan ini. Pria egois yang mementingkan kepentingannya sendiri! Kalau seperti ini, lebih baik Pak Armand kemana-mana. Meskipun sikapnya dingin dan datar, setidaknya Pak Armand akan bersikap gentle. Tidak akan membiarkan wanita pergi sendiri seperti ini.
Dia bilang apa tadi?! Aku manja?! Dasar menyebalkan!! Akan aku tunjukkan seberapa mandirinya gadis kampung sepertiku ini!
"Oke, baik! Mari kita lihat, siapa yang akan memperoleh sandi lebih banyak! Huh!"
***
Semenjak berpisah dari Arkan, aku melupakan satu hal penting. Peta!! Betapa bodohnya. Mengapa aku membiarkan Arkan memiliki peta itu? Bagaimana caraku membaca arah kalau sudah seperti ini?
Aku mengeluarkan benda pipih yang sedari tadi tersimpan di saku. Aku harus menelepon Arkan dan memintanya untuk memberikan peta itu.
Baterai masih tersisa 70 persen. Sialnya, tidak ada jaringan sama sekali. Terdapat dua tanda silang berwarna merah pada bagian kanan atas ponsel yang memiliki fitur dua simcard itu.
"Hah, tenanglah. Tidak mungkin bisa tersesat di hutan seperti ini. Bila melihat kerimbunannya, bahkan lebih rimbun bukit di dekat rumah. Hutan ini bukan apa-apa." Aku berusaha menenangkan diri dan berpikir jernih. Meyakinkan diri, bahwa pasti ada panitia yang mengawasi.
"Ayo cari sandinya dan segera keluar dari sini!"
Melangkah tanpa peta cukup membuatku kerepotan. Aku menandai setiap jalan yang dilalui untuk menghindar dari tersesat. Kusibak setiap semak yang menghalangi jalan. Mengedarkan pandangan kesana kemari, berharap mendapat sebuah sandi.
Ketika pandanganku mengarah ke atas, ada pemandangan tak biasa yang kulihat. Di sebuah ranting pohon, terdapat pita merah yang terikat. Dari tampilannya, tidak mungkin pita itu terikat begitu saja tanpa ada maksud didalamnya. Mungkinkah itu sandi?
Pohon itu tumbuh tepat di bibir jurang. Tinggi pohon lebih kurang lima meter dengan batang kokoh dan ranting yang rimbun. Pita yang tersemat berada di ranting dengan ketinggian dua meter. Seorang pria dewasa setinggi Pak Armand pasti akan mudah menggapai pita itu tanpa harus memanjatnya. Berhubung aku pendek, aku perlu memanjat untuk meraihnya.
Dilihat dari ketinggian pita, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Kemungkinan untuk jatuh juga sangat kecil. Panitia pasti sudah memikirkan keselamatan peserta. Tidak mungkin panitia meletakkan sandi di tempat-tempat yang berbahaya.
Berhubung aku sendiri, aku hanya perlu mengandalkan diri sendiri. Sejak kecil aku sudah terbiasa memanjat pohon. Jadi memanjat seperti ini, bukan masalah yang besar. Aku hanya perlu fokus melihat peta dan mengabaikan jurang di bawahnya.
Bermodal keyakinan itu, aku mulai bersiap-siap memanjat. Meletakkan tas ransel di tanah. Menggulung lengan baju dan menguatkan cengkraman di batang pohon.
"Yuk, mulai."
Sekarang adalah musim panas. Aku yakin batang pohon cukup kering untuk dipijak sehingga aku tak perlu melepas sepatu, namun ternyata prediksiku salah. Batang pohon itu sangat licin. Sepatu ketsku kehilangan daya cengkram sehingga dalam waktu sepersekian detik, aku tergelincir.
"Akhhh!!" Teriakan spontan yang keluar begitu saja. Aku memejamkan mata. Membiarkan tubuhku jatuh dan terguling-guling. Entah berapa dalam aku terjatuh sebelum akhirnya tubuhku berhenti di bibir sungai.
"Auuuwww!!" Rasa sakit dan nyeri mulai menguasai seluruh tubuh. Berdenyut-denyut menyakitkan. Rasa sakit itu berpusat di betis kanan. Aliran hangat bisa kurasakan. Aku mengintip untuk melihat sumber rasa sakit itu. Dan, pemandangannya cukup mengejutkan.
Celanaku robek sampai paha. Diantara robekan itu, ada bambu berukuran satu meter, berdiameter dua senti dengan ujung runcing, membelah celana sekaligus betis kananku. Robekan melintang sepanjang sepuluh senti lebih serta kucuran darah segar menjadi pemandangan mengerikan yang harus kulihat.
Aku terluka. Berada di bawah jurang dengan ponsel yang tidak ada sinyal. Hanya keajaiban yang bisa menemukanku.
***
Happy Reading 😚