Hujan.. 
Semua pasti pernah mengalaminya..
Ada banyak cerita dibalik hujan, ada cerita bahagia dan tidak sedikit juga yang menggambarkan hujan sebagai cerita sedih..
Hujan..
Yang pasti adalah sesuatu yang menyebalkan..
Tapi arti sesungguhnya dari hujan adalah anugerah TUHAN
HUJAN DI REL KERETA ini adalah sebagian kecil cerita dari yang terjadi dibalik hujan..
Hujan yang awalnya membawa bahagia…
Tapi hujan juga yang merenggut kebahagiaan itu..
Akankah hujan mengembalikan kebahagiaan yang pernah direnggutnya?
Sebuah kisah sederhana, berlatar belakang di sebuah desa terpencil, dengan kehidupan pedesaan pada umumnya.
Semoga bisa menambah pengalaman membaca dan menemani waktu teman-teman semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Toekidjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Pertemuan
Sayup-sayup terdengar orang sedang mengobrol di ruang belakang, sehingga Eris memberanikan diri bertanya
“Di belakang Bibi ngobrol sama siapa?”
“Oh itu tetangga, rumahnya depan itu” jawab Alfiah sambil menunjuk ke rumah didepan yang berhadapan
“Dia dari kecil ikut orang tuanya di kota, dan sekarang akan menetap disini” ucap Alfiah
“Hemmm” jawab Eris. Belum sempat melanjutkan kata-kata
Dari ruang belakang keluar Bibi diikuti seorang gadis, seumuran dengan Alfiah
“Berdua seru amat ngobrolnya, Bibi gak diajak ngobrolnya?” Tanya Bibi sambil tersenyum
“Ah nggak juga bi, lagi ngobrolin anu.. eh..” jawab Eris sambil terbata-bata
“Pasti ngobrolin, cewek ini ya” tanya Bibi menggoda
“Iya tuh ma, mas Eris penasaran mamah ngobrol ama siapa dibelakang” ucap Alfiah sembari perlahan menarik tangan cewek yang barusan keluar dari ruang belakang untuk duduk disampingnya.
“Kenalin ini Fatia” kata Alfiah sambil menyodorkan tangan Fatia ke arah Eris.
Reflex tangan Eris maju kedepan dan menyambut uluran tangan fatia yang masih dipegang Alfiah
“Eh aku Eris, salam kenal” sambil berjabat tangan, sedikit gemetar tertahan
“Iya, salam kenal juga ya” jawab Fatia dengan suara lembut
Buat semua orang diruangan itu, mungkin suara itu biasa saja. Tapi buat Eris itu adalah suara yang paling merdu yang pernah dia dengar, bak nyanyian seribu syair yang menyentuh ke dalam lubuk hati paling dalam.
Membuatnya merasa damai, seolah berdiri di hamparan padang rumput yang luas dengan angin bertiup menghempas wajahnya.
“ehhmmm” ucap Alfiah saat sudah cukup lama Eris dan Fatia masih bersalaman
Dengan gugup Eris melepaskan genggaman tangan, jantungnya berdetak kencang, menendang-nendang di dada kirinya seolah-olah ingin menerobos sela-sela tulang rusuknya.
Dengan susah payah Eris mencoba mengatur irama nafasnya, meleraikan pertikaian detak di dada.
Dengan sungging di bibir yang terlihat dipaksakan kemudian merapikan posisi duduk sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ayu, eh anu.. “ terbata-bata Eris tidak mampu melanjutkan kata-katanya seolah mulutnya tersumpal sesuatu,
Hanya satu hal yang terpikir oleh Eris yaitu meraih gelas dan meneguk semua sisa minuman yang ada didalamnya.
“Glek-glek”
“Kenapa cantik? Cantikan mana sama aku” tanya Alfiah
“Cantikan kamu lah al, dikit. yang banyaknya buat Fatia” jawab Eris
“Hahaha” jawaban Eris membuat semua orang yang ada di ruangan itu tertawa
Dimata Eris, Fatia memanglah sangat cantik rambutnya lurus sebahu di ujungnya ikal alami, kulit sawo matang, tubuhnya ramping padat, wajahnya tirus dagu runcing ditambah gigi gingsul di bagian kiri semakin menambah pesonanya.
“Kenapa, suka?” tanya Bibi sambil menggoda
“Enggak berani lah Bi” jawab Eris dengan sedikit keraguan
“Emang kenapa kalau suka, coba tanya saja langsung sama orangnya boleh gak kalau suka” seru Bibi sambil menoleh ke arah Fatia.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Bibi, Fatia hanya tersenyum
“Alamak, senyumnya… mau pingsan ini jadinya” dalam hati Eris berteriak sekeras-kerasnya, saking kerasnya tidak ada seorangpun yang mendengar..
“Kalian ngobrol dulu, Bibi mau nyamperin pamanmu katanya keluar sebentar tapi kok lama” kata bibi sambil melangkah keluar rumah
“Iya bi” jawab Eris sambil mengarahkan pandangan mengikuti arah Bibi berlalu
Suasana hening sejenak tapi tidak berlangsung lama. Alfiah beranjak dari duduknya kemudian meraih gelas minum Eris yang sudah kosong.
“Aku buatin minum lagi ya, sama buatin minum buat Fatia juga” Alfiah berkata sambil berlalu ke ruang belakang
“Ndak usah al, aku ambil sendiri kalau pengen nanti” sahut Fatia.
“Udah nggak apa, kamu duduk aja disitu” jawab Alfiah
Eris dan Fatia hanya saling pandang, sama-sama tidak tahu harus memulai obrolan dari mana.
Sesekali saling senyum, dan lagi dan lagi yang dilakukan Eris hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tapi justru karena hal itu akhirnya kata-kata yang bisa memulai obrolan itu terjadi.
“Dari tadi garuk-garuk kepala terus, kenapa kepalanya gatal?” tanya Fatia
“Ah enggak kok” jawab Eris lagi-lagi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“Itu rambutnya udah gondrong, kok gak dicukur” tanya Fatia
“Iya sih, uda mau cukur dari kemarin-kemarin, tapi belum sempat” jawab Eris
“Pasti kalau dicukur nanti tambah ganteng” sahut Fatia sambil tersenyum mulutnya ditutup pakai telapak tangan
“Ah bisa aja, ngomong-ngomong masih kuliah atau sudah kerja?” tanya Eris
“Aku kerja di PT. KAI” jawab Fatia sambil merapikan posisi duduknya, sepertinya dia juga sudah agak rileks
“Seriusan?” ucap Eris sedikit terkejut
“Iya, aku dibagian staff akuntansi. Awalnya penempatan dikota, tapi dipindah ke sini” jawab Fatia sambil menundukkan wajah.
Melihat ekspresi Fatia, Eris sedikit penasaran atas apa yang terjadi denganya.
"Kenapa dia bisa dipindahkan ke desa terpencil ini?" ucap Eris dalam hati
Berniat menyelidiki terlebih dahulu, sebelum dia memberitahu bahwa dia juga bekerja di PT.KAI. Tapi niatan itu ia urungkan saat melihat wajah Fatia masih terlihat murung, dengan wajah masih tertunduk
“Emm.. kamu gak apa-apa kan?” tanya Eris bersimpati
“Iya, aku gak apa-apa kok” jawab Fatia
“Apakah pembahasan ini, membuatmu tidak enak hati?” Eris mencoba bertanya penuh ragu dalam hati.
“Beneran gak apa-apa, maaf pasti sikapku pasti membuatmu merasa tidak enak” jawab Fatia
“Kamu pasti penasaran kenapa aku bisa dipindahkan kesini” tanya Fatia
“Emmm, iya sih tapi kalau itu membuatmu menjadi seperti ini. Baiknya kita lanjutkan lain kali saja, masih banyak waktu yang kita miliki” jawab Eris memberi semangat
Fatia terdiam kemudian menganggukan kepala.
“Minuman datang!!” seru Alfiah
“Terima kasih, Al” jawab Eris dan Fatia hampir bersamaan
“Wahhh… kalian sudah kompak ya, sudah sehati. Hehehe” ucap Alfiah sambil tersenyum
"Apaan sih" ucap Fatia sambil menepuk lengan Alfiah
Eris hanya tersenyum melihat tingkah kedua cewek di hadapannya ini
“Ayo, diminum pasti sudah haus lagi” Alfiah berkata sembari bergantian memandangi Eris dan Fatia
“Iya” sekali lagi Eris dan Fatia menjawab hampir bersamaan
“Hahahaha” membuat mereka bertiga tertawa
Karena keasikan ngobrol tertawa dan bercanda tanpa mereka sadari paman dan Bibi sudah berdiri didepan pintu.
“Ngobrolin apa kalian kok kelihatannya seru banget” ucap paman Tasmun yang baru saja datang
“Ini paman, kami ngobrol gak jelas barat ke timur yang ada malah bikin ketawa” jawab Eris masih sambil menahan sisa-sisa tawa
“Oalah, paman tadi ada urusan, pesen bahan jamu titipan bapakmu, katanya hari ini siap tapi nyatanya barang belum ada jadi nungguin dulu” ucap paman
“Oiya paman, itu barang sudah saya taruh situ” ucap Eris sambil menunjuk ke arah kardus yang dia letakan di dekat meja
“Iya, itu yang kemarin harusnya dibawa bapakmu. Tapi karena kebanyakan bawaan jadi paman yang disuruh bawa” jawab paman Tasmun sambil menoleh ke arah kardus di dekat meja
“Oh gitu ya paman" jawab Eris
"Sepertinya sudah siang paman, saya pamit dulu" ucap Eris
“Buru-buru amat baru juga ngobrol” sahut paman Tasmun
"Takut kelamaan paman, nanti nenek nyariin" jawab Eris
"Ya sudah kalau begitu, salam buat nenek Tonah ya" ucap paman Tasmun
“Baik paman, nanti saya sampaikan” jawab Eris sambil menyalami paman, Bibi, Alfiah dan tak lupa juga Fatia
Setelah berpamitan Eris langsung melangkahkan kaki keluar pintu.
Baru beberapa langkah dihalaman suara terdengar sayup-sayup dari dalam rumah
“Cie Fatia, baru sehari disini sudah menemukan pujaan hati” samar terdengar Alfiah menggoda Fatia
“Apaan sih” jawab Fatia
“Gak apa kok, nanti kita bisa jadi sepupu ipar” Alfiah lagi menggoda Fatia
“Apaan sih, enggak gitu kok” jawab Fatia
Sambil tersenyum-senyum sendiri Eris berusaha tidak memperdulikan itu dan tetap melanjutkan perjalanan pulang kerumah.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Eris tersenyum-senyum sendiri, sehingga tidak menyadari berapa kali berpapasan dengan orang dan berapa kali tidak menghiraukan saat disapa.
Kali ini sepertinya Eris dalam masalah besar, mulai detik ini hingga waktu kedepanya Fatia akan selalu terngiang-ngiang dalam pikiran pemuda ini.
Fatia telah masuk kedalam relung ruh terdalam sanubarinya. Fatia… oh.. Fatia…
Jika pernah ada fatwa pujangga yang mengatakan cinta terindah itu adalah pada pandangan pertama, itu adalah nyata, tidak perlu kata, tidak perlu dirangkai dalam bahasa. Itu ada dan dirasa olehnya yang merasakannya.