Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 31 ] Nyenyak dalam Pelukan
Olivia terbangun karena merasa tenggorokannya kering. Matanya masih berat, namun tubuhnya enggan melepaskan diri dari pelukan hangat yang membungkusnya sejak semalam. Lengan kokoh Maalik tetap melingkar erat di tubuh mungilnya, seolah tak ingin melepas barang sedetik pun. Olivia mendusel manja di dada bidang suaminya, meresapi aroma khas Maalik yang entah mengapa begitu candu baginya.
Ia sempat bingung dengan dirinya sendiri. Sebelum menikah, Olivia sangat terbiasa tidur sendirian. Kalaupun ia ingin dimanja, barulah ia tidur bersama mami atau papinya. Tapi kini, semuanya berbeda. Ia justru baru bisa terlelap ketika berada dalam dekapan Maalik. Semua bermula malam itu—hujan deras yang disertai kilatan petir menggelegar. Olivia menangis ketakutan hingga tubuhnya gemetar. Saat itu Maalik langsung datang, memeluknya erat, dan menenangkan dengan bacaan doa hingga fajar menyingsing. Sejak saat itu, Olivia seperti menemukan tempat paling aman di dunia, dan ia tak bisa tidur nyenyak tanpa pelukan suaminya.
Perlahan, Olivia mendongak. Matanya menatap wajah teduh di hadapannya. Rahang kokoh, alis tegas, dan sorot mata yang meski kini terpejam tetap memancarkan wibawa. Wajah itu, sebulan lebih terakhir ini, menjadi wajah pertama yang ia lihat setiap bangun tidur dan wajah terakhir sebelum ia memejamkan mata. Ironis, dulu ia sama sekali tak mengenal lelaki ini. Tak pernah bersinggungan, apalagi dekat. Tiba-tiba saja ia dijodohkan oleh eyangnya dan dipaksa menerima. Olivia sempat memberontak, bahkan sempat kabur. Namun pada akhirnya, ia kembali. Ia terlalu terbiasa hidup nyaman, manja, dan tidak bisa hidup jauh dari orang tuanya.
Awalnya, Olivia benar-benar ragu. Ia waswas karena Maalik yang jauh lebih tua delapan tahun darinya. Olivia baru 21 tahun, sedangkan Maalik sudah matang di usia 29. Terlebih, Maalik seorang kepala desa. Olivia merasa mereka berdua pasti akan kontras, dunia mereka terlalu berbeda. Tapi kenyataan berkata lain. Selama sebulan lebih ini, ia melihat sendiri bagaimana Maalik selalu berusaha mengayominya. Ia sabar menghadapi sifat manja dan keras kepalanya, bahkan menuruti banyak keinginannya meski konyol sekalipun.
Olivia masih belum berani memberi nama pada perasaannya. Cinta? Belum. Tapi satu hal yang pasti, ia nyaman. Ia merasa aman.
Tangannya perlahan terangkat, jari-jarinya yang mungil menyusuri garis pipi tegas suaminya. Sentuhan itu lembut, ragu-ragu, namun penuh rasa ingin tahu. Seakan Olivia tengah memastikan bahwa sosok di hadapannya nyata, bukan sekadar mimpi.
Maalik mengerjap perlahan, membuka mata dengan senyum tipis. Suaranya serak karena baru bangun, namun tetap hangat. Ia sempat melirik jam di bawah lampu tidur, jarumnya baru menunjukkan pukul 02.48 dini hari. “Kok bangun, hmm?” tanyanya pelan, nada suaranya penuh kelembutan.
Olivia tersentak kecil, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat nakal. Ia buru-buru menarik tangannya dari pipi suaminya, lalu menunduk kikuk. “Ehh… emmm, gue cuma mau minum,” jawabnya terbata, sementara wajahnya memanas, merona malu.
Maalik tersenyum samar melihat tingkah istrinya. Ia langsung bangkit setengah, meraih botol air mineral yang memang selalu disiapkan di atas nakas. Dengan sabar ia menyerahkannya pada Olivia.
“Minum dulu,” ucapnya pelan.
Olivia duduk perlahan, menerima botol itu dengan kedua tangannya. Ia meneguk sedikit demi sedikit, seolah sengaja memperlambat, hanya untuk menutupi rasa gugupnya. Setelah puas, ia menyerahkan kembali botol itu kepada Maalik.
“Udah?” tanya Maalik, masih dengan nada lembutnya.
Olivia mengangguk singkat. “Udah.”
Maalik meletakkan kembali botol ke atas nakas, lalu menatap istrinya dengan senyum yang dalam. “Kalau begitu, tidur lagi.”
Olivia menurut. Ia kembali merebahkan tubuhnya, dan Maalik segera melingkarkan lengannya, menarik Olivia ke dalam dekapannya. Tanpa menunggu lama, Olivia pun langsung mendusel manja ke dada bidang suaminya, mencari rasa aman yang selalu ia rindukan.
Maalik menunduk sedikit, mengecup pucuk kepala istrinya. “Kalau begini, saya juga ikut nyenyak tidurnya,” bisiknya.
Olivia hanya mendengus pelan, pipinya semakin merona. Namun, senyuman kecil tak bisa ia tahan. Di dalam pelukan hangat itu, ia akhirnya menutup mata kembali, dengan hati yang terasa lebih tenang daripada sebelumnya.
aku nungguin terus kelanjutan ceritanya
udah GX sabar bgt..
beberapa bab cuma ngomong gitu doang