Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Tristan menuruni anak tangga satu persatu diikuti Teresa. Lalu menjabat tangan suami istri, yakni om dan tante adik mama Amara. Mereka sengaja datang begitu mendapat telepon dari Amara jika Tristan kembali dari UEA.
"Apa kabar kamu Tristan?" Tanya adik ipar mama Amara.
"Alhamdulillah... baik Om" Tristan pun segera bergabung dengan mereka, berbincang-bincang membahas pekerjaan.
"Kapan kamu mau menikah Tristan, kalau belum ada calon, Tante ada anak teman yang seusia sama kamu. Cantik, lulusan s2 lagi" Tante menceritakan anak sahabatnya.
"Tante bisa saja" Tristan hanya tertawa menanggapi ucapkan tante.
"Aku juga pengennya begitu, Dek" mama Amara pun sebenarnya ingin Tristan cepat menikah terus menimang cucu, tapi anak sulungnya itu belum mau. "Ayolah Tristan, nanti keburu dilangkahi dua adik kamu loh" mama Amara melirik anak ketiganya yang sudah sering mengajak pacarnya ke rumah.
"Nggak lah, aku belum mau menikah kalau kedua kakak aku juga belum" Teresa menjawab.
"Teresa saja dulu nikahkan Ma, anak ini mengkhawatirkan sekali" Tristan menoleh adiknya yang duduk di kursi sebelahnya.
"Kak Tristan dulu Ma, dia sebenarnya sudah naksir seseorang" Teresa ingat Dila gadis pengirim makanan itu. Walaupun Tristan berkata gadis itu sudah punya suami, ia tidak percaya.
"Beneran Tris?" Mama Amara menatap mata putranya itu mencari jawaban.
"Sudahlah Ma..." Tristan geleng-geleng kepala. Kenapa keluarganya sibuk mencarikan ia jodoh, padahal umur nya masih tergolong muda, yakni 28 tahun.
"Adik kamu mana, Tristan? Mama telepon dari tadi tapi tidak diangkat" mama Amara pun telepon anak keduanya sekali lagi.
Tristan adalah tiga bersaudara, masing-masing anak mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Anak sulung yang tidak lain Tristan melanjutkan usaha papa yang sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Anak kedua melanjutkan usaha sang mama, dan yang ketiga adalah Teresa masih kuliah semester tujuh.
********
"Humaira... kita makan bareng" seru Imam ketika Dila baru saja tiba dengan wajah lelah.
"Kakak, sudah shalat?" Tanya Dila terburu-buru ingin menjalankan shalat terlebih dahulu sebelum makan.
"Lebih baik makan dulu Dila" kata Imam, pria itu kali ini ceramah. Lebih baik makan dulu jika perut sudah lapar, daripada ketika shalat memikirkan makanan.
"Iya deh, kita makan dulu" Dila pun mengalah, lagi pula adzan di berapa masjid masih terdengar.
Imam tersenyum lalu ambil dua nasi box, yang satu untuknya, dan satu lagi ia berikan kepada Dila.
"Engkau masih gadis, atau sudah janda. Walaupun kau janda tetap kucinta"
Imam bernyanyi dangdut sambil mencuci tangan di wastafel yang tidak jauh dari tempat Dila duduk.
Dila kaget, mendengar nyanyian Imam, pria itu seolah-olah menyindir. "Kak Imam nyindir?" Dila mengangkat kepala menatap Imam ketika pria itu hendak duduk.
"Hahaha... orang lagi nyanyi, kamu bilang nyindir, memang kamu sudah janda?" Imam tertawa lebar.
"Tahu, ah. Kita makan dulu" Dila tidak mau membahas tentang janda yang akan mengingatkan kisah pahitnya.
Beberapa wanita yang makan bersama tidak jauh dari tempat itu, menoleh ke arah Dila ketika mendengar tawa Imam dan bisa seakrab itu dengan kurier.
"Tuh kan kak, orang-orang pada ngeliat kemari" Dila salah tingkah.
"Biar saja, sekarang kita makan."
Mereka membuka box masing-masing. Imam yang tidak begitu menyukai daging, setiap menunya kebetulan daging ia berikan kepada Dila.
"Tuh kan, ini penyebabnya badanku jadi gemuk" Dila sadar jika saat ini berat badannya naik.
"Kata siapa gemuk? Berat badanmu itu ideal, daripada waktu baru masuk kerja kesini gepeng seperti papan penggilesan" jujur Imam.
"Nggak seperti itu juga kali?" Dila protes, yang benar saja ia disamakan papan.
Imam lagi-lagi tertawa, lalu mulai menyantap makan siang tersebut terasa nikmat walaupun hanya lauk tempe dengan sayur, tapi karena makan bersama Dila makanan sederhana itu menjadi istimewa.
Tidak terasa makan siang pun selesai, mereka lanjut shalat dzuhur, tapi bukan hanya Iman dan Dila saja, para karyawan yang belum shalat pun akhirnya berjamaah.
Deeerrtt... deeerrtt...
Handphone Imam pun bergetar ketika sudah keluar dari mushala. Sambil berjalan, Imam memeriksa siapa yang memanggil. "Mama" Imam segera mengangkat handphone.
"Dila, aku duluan ya..." kata Imam selesai telepon.
"Ada apa, Kak?" Dila memperhatikan Imam yang tergesa-gesa.
"Mama telepon, aku disuruh pulang" Imam mengatakan jika keluarganya ada yang baru pulang dari luar negeri.
Setelah Dila mengangguk pemuda itu pun meninggalkan katering.
"Dila..." seorang wanita yang bernama Dwi mendekati Dila yang masih memandangi Imam.
"Eh, Dwi" Dila tersenyum menatap wanita satu tim dengannya itu.
"Hebat ya, kamu bisa sedekat itu dengan putra pemilik catering" Dwi yang sudah bekerja di tempat ini selama dua tahun belum pernah ditanya.
"Putra bos? Siapa Wi?" Dila tidak mengerti.
Dwi mengatakan jika pria yang barusan itu pemilik catering Eco dan cabangnya bertebaran diseluruh Indonesia.
"Maksudnya Kak Imam?" Dila mengangkat alis mendengar cerita Dwi.
"Dia itu namanya bukan Imam, tapi Tony" papar Dwi. Imam alias Tony itu sebenarnya pria dingin tapi para karyawan heran mengapa bisa cengengesan ketika bersama Dila.
"Oh gitu ya" Dila kaget juga mendengar cerita Dwi, tapi ia tidak peduli siapa Imam. Siapa pun dia, jika bersikap baik dengannya maka open saja.
Dwi bersama Dila menyudahi obrolan lalu melanjutkan mengantar makanan ke beberapa tempat lagi.
Sore hari di dalam kost sederhana, tapi fasilitas kamar mandi di dalam. Dila segera membersihkan tubuhnya yang lengket setelah seharian menyusuri jalan.
Waktu begitu cepat, baru selesai mandi sudah terdengar adzan magrib. Tidak menunda lagi, Dila segera menggelar Sadjadah lanjut memasang mukena di badan.
Rukun islam kedua telah ia laksanakan, kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur, handphone yang menjadi hiburan.
Telepon pak Umar dan ibu Aminah hampir setiap pulang kerja ia lakukan, menanyakan kabar tentunya. Dila tersenyum, doanya ingin bapaknya sembuh dikabulkan. Menurut bu Aminah pak Umar sudah sebulan ini bekerja menjadi supir tapi bukan di perkebunan Ahmad lagi.
"Bapak jangan terlalu capek, kalau nggak kuat kerja jangan dipaksa. Biar aku saja yang mencari uang" pesannya ketika Dila berbicara dengan pak Umar.
"Bapak sudah sembuh sayang, tidak betah kalau nganggur" jawab pak Umar.
Setelah berpesan agar hati-hati, Dila mengakhiri pembicaraan. Kemudian mengecek pesan yang lain. Nomor yang tidak tersimpan mengirim pesan, Dila penasaran lalu klik.
"Assalamualaikum... Dila, saya ganti nomor, karena yang lama keblokir. Saya cuma mau bilang, masalah biaya rumah sakit tidak usah kamu pikirkan, karena saya membantu dengan ikhlas. Alhamdulillah... kamu bisa melewati ujian kamu dengan baik, semoga rumah tangga kamu langgeng. Selamat atas kehamilan kamu, jaga dengan baik semoga sehat hingga tiba saatnya nanti" Begitulah pesan Tristan panjang lebar.
"Hah? Aku disangka hamil?" Gumam Dila seketika membungkuk, menyingkap kaos, memandangi perut.
...~Bersambung~...
lihat aja Silfia jika benar itu kamu.. bersiaplah terima kehancuran mu
Lanjuuuttt thooorrr 👍
Tetap semangaaaattt 💪
silfia kah ??🤔🤔
Pastilah orang mikir kemana2
Apalagi yang memang iri dan punya niat kurang baik.. berasa dikasi asupan..
Bersyukur Tristan orangnya dewasa dan bijak.. bisa mikir positif.. klo laki2nya yang lain bisa jadi runyam..
Makanya Dila.. sebelum melakukan sesuatu mikir dulu.. jan impulsif.. 🤦🏻♀️🤦🏻♀️😤😤